Cataluna, Kau dan Aku

#1
Sudah seharusnya, jalanan kota Barcelona itu dipenuhi suara gegap gempita, Kemenangan yang sudah diprediksi dan segala perhitungan ataupun asumsi-asumsi di atas kertas itu terbukti. Siapa yang menyangkal permainan Barcelona di Emirates, pada leg pertama, di babak pertama, adalah yang terbaik di dunia? Peluru-peluru muda yang biasanya memberondong dengan begitu rapi dibuat tak berkutik oleh penguasaan bola klub Catalan itu. Hanya dewi Fortuna sajalah yang membuat dominasi Messi dkk. tidak berujung pada kemenangan.

Khrisna berjalan dengan muka lesu. Ia masih tidak percaya, sampai menit ke-85, kedudukan masih 1-0 untuk keunggulan Barcelona. Siapa lagi kalau bukan Messi yang melewati Clichy sebelum berhadapan satu lawan satu dengan Alumunia dan dengan mudahnya ia menceploskan bola lewat sela-sela kaki. Tetapi, dua menit kemudian, public Nou Camp dibuat terdiam ketika lagi-lagi Walcott bergerak seperti kilat dan mengirim umpan kepada Nasri yang tidak terjaga untuk menyamakan kedudukan. Déjà vu atas leg pertama, ketika sang gudang peluru tertinggal dua angka, dan sayap muda Inggris itu masuk sebagai pemain pengganti member inspirasi bagi timnya untuk menyamakan kedudukan.

Ketika semua penonton berpikir pertandingan ini akan berakhir imbang, petaka itu datang. Rosicky yang masuk menggantikan Nasri di menit ke-89 berhasil mencetak gol spektakuler dari jarak 30 meter. Tendangannya membuat Valdes tidak berkutik sehingga mengubah kedudukan menjadi 2-1 untuk kemenangan gudang peluru. Publik Nou Camp menangis. Khrisna yang berharap tim kebanggaannya mengulang sejarang dibuat tersenyum miris. Jauh-jauh ia datang dari Indonesia meninggalkan wanita yang dicintainya untuk menonton pertandingan ini. Tetapi, hasilnya malah membuat ia kecewa. Tertunduk tak berdaya.


#2

“Kalau Barcelona menang, aku akan melamarmu, Sayang.” Sebelum kepergiannya, Khrisna telah berjanji pada kekasihnya, Rena. Kisah cinta ini memang tidak setermuka Romeo dan Juliet, Layla dan Majnun, ataupun Syamsul Bahri dan Siti Nurbaya. Ini kisah cinta biasa, antara seorang lelaki penggila bola dengan seorang wanita yang bercita-cita jadi ibu rumah tangga.

“Kalau kalah?” Rena balik bertanya. Mukanya berkenyit, marah. Bagaimana mungkin sebuah hubungan dipertaruhkan pada kemenangan tim sepak bola. “Apa benar kau mencintaiku, Khris?” tanyanya lagi dengan nada meninggi.

“Barcelona tidak mungkin kalah. Tidak mungkin. Setidakmungkinnya aku hidup tanpamu, Re,” Khrisna mulai merayu. “Tidak ada yang bisa selamat di Nou Camp. Lapangan di sana lebih lebar dari Emirates. Messi akan lebih bebas berkreasi dan menciptakan tensi yang tinggi. Seorang Clichy tidak akan mungkin menahan kemagisan Sang Messiah. Aku berani jamin itu!” lanjut Khrisna mencoba meyakinkan. Ia memegang bahu Rena dan mengarahkan matanya ke mata Rena. “Lihat mataku, Re. Kau bisa lihat kalau aku benar-benar mencintaimu, kan? Kejadian Rubin Kazan sudah cukup memberi pelajaran. Kali ini pasukan Catalan tidak akan meremehkan lawan. Aku berjanji, Re, akan pulang dengan membawa kabar kemenangan dan setelah itu aku akan melamarmu, Re… Aku janji!” Khrisna menyodorkan kelingking tangan kanannya. Sebuah cara berjanji yang sudah ia praktikkan sejak awal pacaran enam tahun lalu. Saat itu, Khrisna sedang berada di toko olahraga, hendak membeli kaos Barcelona. Di sanalah ia bertemu dengan Rena yang bekerja sebagai pegawai toko. Di kasir itulah, Khrisna jatuh cinta pada Rena. Rena memandangi Khrisna sekali lagi, dengan tatapan yang lebih dalam. “Baiklah, aku akan menunggumu,” jawabnya setengah hati sambil juga menyodorkan kelingking tangan kanannya, untuk saling berkait.


#3

Antara abad ke-5 sampai ke-6, Barcelona berkembang menjadi pusat keagamaan selama pendudukan Visigoth, satu dari dua cabang suku Goth yang terkenal yang menduduki Eropa pada akhir kekuasaan Romawi. Setelah kejatuhan Romawi, Visigoth memegang peran penting di Eropa Barat selama dua setengah abad, termasuk di Barcelona.

Khrisna turun dari bus. Ia sengaja datang lebih cepat untuk dapat menikmati jalan-jalan di Cataluna. Kota ini seperti galeri hidup dengan arsitektur dan dekorasi modern dan Art Nouveau. Kuil-kuil dan bangunan karya arsitek Antoni Gaudí, gereja abad pertengahan, sisa tembok Romawi dan plaza serta tempat orang berjalan-jalan-semuanya terkesan istimewa.

Hampir pukul satu di sini berarti sudah nyaris maghrib di sana. Khrisna melirik-melirik restoran di sepanjang jalan ini. Semua tempat sudah nyaris dipenuhi pelanggan. Ia berjalan menelusuri La Rambla, sampai ia terhenti di sebuah kantin kecil yang agak sepi. L’Avia. Dalam bahasa latin, Avia berarti burung. Burung yang terbang mengepakkan sayap kecilnya ke angkasa. Seperti dirinya, yang tidak pernah menyangka akhirnya ia menapakkan kaki di sini untuk menyaksikan langsung pertandingan penuh tensi, antara Arsenal dan Barcelona.

Nuansa latin khas Amerika Selatan langsung Nampak begitu Khrisna memasuki L’Avia. Di sisi kiri ruangan terdapat vitrine yang berisi berbagai jenis makanan yang dihidangkan dan dapur atau tempat menyiapkan makanan. Di sisi kanan, deretan meja-kursi sudah dipenuhi orang. Di tengah-tengahnya nyaris tak ada tempat untuk berjalan saking kecilnya kantin ini. Semua pengunjung tampak meributkan suatu hal. Dari bahasanya yang samar, mereka sedang membicarakan pertandingan malam ini. Menyebut-nyebut Fabregas yang cedera sampai Puyol yang kena hukuman akibat kartu merah. Khrisna memilih naik ke atas yang memang masih sepi. Ruangan ini mengingatkannya pada warung-warung sederhana di Jakarta, dengan meja-meja dan bangku-bangku plastic dilengkapi kipas angin yang besar di langit-langit. Poster-poster besar menghiasi ruangan ini, mulai dari Xavi, Messi, Iniesta sampai Guardiola.

Khrisna berbicara dalam bahasa Inggris, “Aku tidak mau daging babi. Apapun yang khas di kota ini, Kawan.”

Hidangan berisikan cumi-cumi dan kacang polong bergelimang saus berwana merah (dengan rasa dominan tomat, tetapi agak pedas) dan ikan cod dengan kentang dengan saus serupa. “Ini saus khas Cataluna, Kawan. Kau takkan menemukannya di manapun,” sang pelayan tersenyum kepadanya. Khrisna mulai menatap hidangan itu satu per satu. Ah, andai saja Rena ada di sini, tentu akan jauh lebih romantis, kata Khrisna dalam hati.


#4

Akan tetapi, kursi merah-biru yang tertata rapi di sepanjang Camp Nou, serta L’Avia yang sudah berhasil mengisi perutnya, tetap tidak mampu menjadi penahan kesedihan tatkala Rosicky, si kecil dari Ceko itu, membobol gawang Valdes. Seisi stadion hening, beberapa dari mereka menutup mulutnya dengan tangan, tidak percaya atas apa yang terjadi. Barcelona lagi-lagi menguasai delapan puluh menit pertandingan sebelum anak-anak muda London itu bangkit dan menyengat pemain-pemain Barcelona yang tampak kelelahan.

Kerusuhan tidak dapat dielakkan. Ketidakpuasan sekelompok supporter ekstrimis Barcelona (seperti Holligannya Inggris) berakibat pada pembakaran ban-ban dan bendera di sepanjang jalan sekitar Nou Camp. Polisi anti huru-hara segera bertindak menyemprotkan gas airmata. Khrisna yang terjebak di antaranya terpaksa ikut kena batunya. Ia turut menangis. Bukan hanya karena gas airmata, tetapi juga karena memang ia tak bisa mempercayai tim jagoannya itu kalah di kandang sendiri. Ia tidak lagi memikirkan el classico yang akan digelar minggu depan. Baginya, Liga Champion adalah target utama. Barcelona tidak boleh kalah di sini. Apalagi dengan pemain-pemain muda seperti Arsenal itu.

Tiba-tiba ia ingat Rena. Teringat janjinya dengan Rena. Bagaimana aku bisa punya muka
untuk berhadapannya dengan lagi? Bathin Khrisna bertanya-tanya. Pastilah Rena sudah tahu hasil pertandingan ini. Pastilah Rena di sana sedang menangis memeluk bantal, memikirkan dirinya yang tak akan melamarnya.


#5

Khrisna membuka handphonenya, menatap Rena dengan gelisah. Ia adalah lelaki sejati, harus berani mengungkapkan isi hati, bathinnya lagi.

Telepon tersambung. Berbunyi dua kali sebelum Rena mengangkatnya.

“Apa lagi?” sahut Rena dengan tinggi. Sepertinya ia marah. Sepertinya ia habis menangis. Khrisna sempat terdiam karenanya.

“Re, maaf… aku… aku benar-benar tidak menyangka kalau Barcelona bisa kalah seperti ini,” Khrisna mulai memelas.

“Aku tidak pernah memintamu berjanji seperti itu. Tapi kau telah membuatku marah dengan merendahkan aku di banding Barcelona itu, apa kau benar-benar mencintaiku, Khris?” Rena bertanya dengan nada yang lebih tinggi. Sepertinya ia terisak kini.

“Re, benar… benar aku mencintaimu dengan seluruh hatiku. Tapi kau harus tahu, aku sudah dididik untuk mencintai klub ini sejak kecil. Kakek, ayah, kakak, dan seluruh keluargaku adalah pendukung Barcelona. Bagi kami, Barcelona adalah tradisi. Aku… aku sama sekali tidak bermaksud untuk membanding-bandingkan dengan klub ini. Tidak sama sekali, Re…” jawab Khrisna dengan begitu lirih.

“Lalu kapan kau akan pulang kemari?” Tanya Rena mulai merendah.

“Mungkin besok…” jawab Khrisna.

“Ya sudah, pulanglah, jangan terlalu bersedih. Masih ada aku ‘kan?” kata Rena menghibur.

“Lalu bagaimana tentang lamaran kita?” Tanya Khrisna penasaran.

“Ah, itu urusanmu. Yang jelas aku tidak sebodoh kau yang menggantungkan sebuah hubungan dengan sebuah hasil pertandingan sepakbola!” tegas Rena.

“Benarkah? Terima kasih, Re… aku mencintaimu!”


Khrisna terhibur. Rena memang seorang pelipur lara. Ia tersenyum membayangkan Rena akan memasak sarapan pagi yang lebih lezat dari makan siang di L’Avia.

Sementara itu, Khrisna tidak pernah menyangka, kalau sebenarnya Rena sedang memeluk bantal, tertawa-tawa dan berjingkrak-jingkrak malam itu. Ia menari-nari dalam segala bentuk sambil menciumi kaus berwarna merah marun. Kaus bernomor punggung tujuh milik Thomas Rosicky!

(2010)

Comments

Cahatomic said…
haha!
fani.

menarik ya, cerita bola digabungin begini. sangat kreatif!
kavellania said…
ahak ahak kreatif jadi inget ceritanya kanda khrisna yg menggabungkan kisah cinta dengan bola tp porsinya beda