Puisi Pringadi Abdi Surya di Harian Global, 11 April 2010

http://harian-global.com/index.php?option=com_content&view=article&id=34833:puisi-pringadi-abdi-surya&catid=45:kalam&Itemid=69

Puisi-puisi ini ditulis tahun 2008, di masa-masa awal saya berkenalan dengan puisi. Saat itu adalah TS Pinang dan Bernard Batubara yang membikin saya kagum. Saya biasanya mendapatkan nilai 0,1,2,3 oleh TS Pinang di tulisan-tulisan saya (di sebuah situs). Bahkan tak jarang beliau bilang, "Ini bukan puisi" atau "Ini belum puisi". Hal itu justru membuat saya termotivasi. Ode untuk Pendosa adalah puisi dengan nilai tertinggi yang pernah beliau beri, yaitu 5.

Silahkan menikmati masa muda saya.



Gitar Pancing

Bukan dengan senar kupetik nada
dari gitar tuaku;

ini tali pancing yang kucuri dari
orang-orang tua yang ingin pergi ke sungai
memancing kolibri-kolibri yang baru saja turun
dari langit

Aku mainkan lagu rindu, milikku
memanggil mendung
memanggil hujan, agar gelegak di tiap
sungai, melarikan kolibri

melarikan aku.



Ode Untuk Pendosa

Aku butakan matamu dari puisi-puisi yang kusuguhkan. Yang aromanya
pun tak mampu kau baui dengan hidung yang telah kusumbat nafas
dosa dosa mustajab. Cuma telingamu saja yang tak tuli. Yang tiap hari
kubisikkan mantra-mantra kalam semesta. Kuperdengarkan pula puja
puji palsu, jerit pekik wanita dengan desah yang ingin kau raba
pastinya. Jangankan bukan! Kepalamu hanya bergeleng-geleng
nikmati iramanya. Diam-diam aku curi pedangmu yang telah tumpul
berkarat - tak pernah kau asah. Dan bila sudah tiba waktumu, biarkan
izrail puas mencumbui ruhmu tidak dari kepalamu. Hingga erangan
buatmu terkejang mencapai klimaks cinta yang sudah kau dustakan.


Gadis Penjual Tuhan

Gadis di seberang jalan itu sedang berjualan tuhan.
Sebab ia sudah bosan bemain tuhan-tuhanan
Jadi ia jual saja dengan harga satuan, atau
kalau sudah menjelang maghrib ia obral dengan harga kiloan



Gadis itu masih diam di sana, termenung
memikirkan tuhannya yang tak laku-laku

Maka ia buka seluruh baju,
memamerkan tuhannya yang lain.



Elba

Pada mulanya cuma angin, dengan semilir puji. Membawa aroma surga
dengan sungai madu yang mengalir di dalamnya. Dengar cericip burung di
pagi hari, juga lantunkan puja puji. Matamu memejam gumam,
senandungkan nada-nada indah - buatmu sumringah.

Lantas angin menjelma badai. Membuat langkahmu gontai. Gumam tak lagi
terpejam, memancing bibir untuk mencibir dendam. Mata buta pada
cahaya. Hatimu pun gundah pada hidayah. Tak lagi ada kebenaran.
Hanya 'Pembenaran' yang kau bela. Habis riwayatmu! Tak lagi ada
senandung indah. Cuma gundah, seperti saat senja menjelma di pulau Elba.

Comments

Popular Posts