Pohon Kersen, Linda Christanty
RUMAH kami menghadap pantai. Namun, pantai tak terlihat dari jendela-jendela yang terbuka. Pantai belum juga tampak ketika aku berdiri tegak di halaman pasir dan telapak kakiku yang telanjang bagai diserbu jarum-jarum halus-panas di siang terik itu. Pantai cuma gemuruh laut dan peluit kapal, meski aku bertengger di dahan tertinggi pohon kersen yang menjulang pongah di sudut halaman.
RUMAH kami menghadap pantai. Namun, pantai tak terlihat dari jendela-jendela yang terbuka. Pantai belum juga tampak ketika aku berdiri tegak di halaman pasir dan telapak kakiku yang telanjang bagai diserbu jarum-jarum halus-panas di siang terik itu. Pantai cuma gemuruh laut dan peluit kapal, meski aku bertengger di dahan tertinggi pohon kersen yang menjulang pongah di sudut halaman.
Tebing curam yang dihampari tanaman rambat berduri telah menyembunyikan pantai di bawah sana. Dan sebatang pohon nangka yang kurang subur di pinggir tebing, dengan ranting-ranting tua meranggas, berdiri murung mengawasinya. Menjelang malam, ketika sedikit cahaya memberi siluet pada benda-benda di alam raya, pohon nangka tadi benar-benar menyerupai makhluk asing kesepian merenung di tebing. Hitam. Bisu. Sebatang kara.
Pandanganku yang linglung segera membentur garis pertemuan langit dan tebing. Bukan garis lurus yang terlihat, bukan semacam garis yang dihasilkan mistar dan pensil di atas kertas gambar, melainkan gelombang garis dengan ketinggian puncak dan kedalaman lembah yang berbeda. Semak, pohon, tonggak kayu, tonjolan tanah… telah mencemarinya. Langit yang kulihat pun selalu berubah warna. Biru, abu-abu, hitam, atau putih menyilaukan. Seperti warna-warna bersemburat di benak. Sulur-sulur tumbuhan liar yang menjalar dan menyelimuti tebing selalu terlihat hijau cerah di musim hujan, tapi kering kecoklatan di musim kemarau dan lebih mirip rajutan kawat berkarat ketimbang tumbuhan yang pernah hidup, pernah segar.
Beberapa kali aku diajak kakek pergi ke pantai. Kami terpaksa mengambil jalan memutar. Sudut kemiringan tebing tersebut hampir 90 derajat. Mustahil dituruni.
Begitu kakiku menyentuh pasir, aku segera berbalik menatap tebing. Sungguh tinggi. Pohon nangka tampak sayup.
SAAT aku masih di sekolah dasar, sebagian waktuku habis di atas pohon kersen itu. Bukan sekadar membayangkan pantai yang tersembunyi, melainkan untuk tujuan lain.
Sepulang sekolah dan seusai makan siang, aku memanjat sambil menyandang tas kain berisi buku-buku cerita, kemudian duduk di salah satu dahannya yang kokoh untuk membaca dan menyimak bualan para pendongeng serta terpengaruh oleh kata-kata mereka. Komik Tin Tin, serial detektif Nancy Drew, Kisah dari Lima Benua…
Angin tipis berembus dan memberi sejuk di kulitku, lalu mulai mengusap-usap pelupuk mata. Lama-kelamaan huruf-huruf saling berimpitan atau menggandakan diri mereka.
Aku mulai mengantuk, tapi tak berani lelap. Bukan lantaran ulat-ulat hijau gemuk yang tiba-tiba merayap, menjengkali tubuh sewaktu-waktu, lalu menebar rasa gatal di pori-pori, melainkan lebih pada rasa takut jatuh. Meski angin kencang lebih sering datang pada bulan tertentu, musim tertentu, perasaan takut diterbangkan dan dihempas angin itu memaksaku segera turun saat rasa kantuk mulai menyerang.
Angin kencang memang menakjubkan. Butir-butir pasir terangkat, melayang, dan menyepuh udara. Lantai teras berpasir. Kaca-kaca jendela berdebu. Dinding rumah kami makin kusam. Mak Sol, keponakan kakekku yang tinggal bersama kami, akan sibuk menyapu teras dan mengelapi kaca pintu serta jendela selama berminggu-minggu, lebih sering dari hari-hari biasa. Yu Ani, yang hampir setahun ini membantu memasak dan mencuci pakaian di rumah kami tergopoh-gopoh mengangkat ember dan mengepel lantai. Kadangkala aku memandangi angin kencang dari jendela paviliun, tempat kakek tinggal.
Paviliun itu memiliki jendela-jendela besar. Kusen-kusennya yang dicat putih terbuat dari kayu meranti. Bidang kaca yang luas di kamar kakek membuatku leluasa melihat angin melanda dan meliukkan cabang dan ranting kersen. Daun-daun gugur. Ulat-ulat terpental dan terkapar di pasir seperti korban tabrak lari. Anehnya, musim ulat selalu bersamaan waktunya dengan kedatangan angin kencang.
“Angin Barat sudah sampai,” kata kakek, seraya menyimpan buku belanja di laci mejanya yang bisa menampung seluruh kuitansi pembelian barang, kartu iuran televisi dan radio, surat-surat penting, dan botol-botol bekas obat batuk yang berisi bermacam akar-akaran (dan sebuah botol istimewa berisi koleksi gigi kakek yang tanggal!).
Kakek kemudian memisahkan uang kertas dari uang logam atau sebaliknya, dengan cekatan. Uang kertas dimasukkan ke amplop coklat bertulis UANG BELANJA BULANAN, sedang uang logam disuapkan ke mulut seekor gajah tembikar yang tengah mendongak seraya mengangkat kedua kaki depannya tinggi-tinggi, celengan hadiah dari keponakan kakek yang bekerja di perusahaan pelayaran. Setelah itu amplop uang disimpan dalam brankas. Celengan gajah digeser kembali ke sudut meja. Diam-diam aku pernah mengorek-orek celengan gajah itu dan berusaha menjatuhkan beberapa keping logam di dalamnya. Jarang berhasil. Tapi suatu kali jumlahnya cukup untuk membeli lima bungkus ham lam, manisan dari sejenis buah yang bentuk bijinya seperti kacang almond dan ukurannya dua kali lipat kacang almond. Rangkaian huruf kanji yang tertera pada kertas pembungkus sama sekali tak kupahami. Tulisan ‘ham lam’ dalam huruf Latin di bawah rangkaian huruf kanji itulah yang kuartikan sebagai nama manisan buah tersebut.
Kukira, kakek mengetahui perbuatanku, mencuri keping-keping logamnya. Suatu hari ia membelikan aku sebuah celengan ayam dari tanah liat dan berkata, “Tabung uang logammu di sini. Nanti pecahkan kalau sudah penuh.” Aku tiba-tiba merasa sedih dan malu.
Kualihkan pandanganku dari bidang kaca, mengamati kakek yang duduk memunggungiku. Sebenarnya, kakeklah yang menjadi pemimpin keluarga kami, bukan ayah. Setiap hari ia memeriksa tetek-bengek keperluan rumah, dari soal garam dapur sampai mendatangi tetangga kami yang mencuri air dari pipa ledeng di belakang rumah.
Kakek juga yang datang ke kantor polisi untuk membebaskan sopir kami yang dituduh menabrak orang. Ayah malah ingin memberi uang sogok pada polisi agar urusan cepat selesai. “Jangan! Kalau benar, kita harus berani sampai mati pun,” katanya, menghardik menantunya yang lemah hati.
Kakek pelan-pelan mengangkat cangkir kopi, lalu meneguk isinya. Kopi robusta, kental. Aku pernah mencicipi kopi kakek, seteguk. Pahit. Kumuntahkan di wastafel. Hitam pekat. Warna yang menakutkan, tapi selalu ada. Kulihat jari-jari kakek bergetar.
“Angin kencang ini membawa penyakit. Kalau bermain, di dalam rumah saja. Lebih aman,” ujar kakek, seraya meletakkan cangkir di atas piring tatakan. Sebentar kemudian ia pun beranjak dari kursi, meletakkan kaca mata baca di atas bufet, lalu berjalan melewati ambang pintu.
KETIKA pandanganku kembali membentur bidang kaca itu, kulihat gumpalan awan hitam berarak pelan di langit. Angin masih menggila. Butir-butir tanah terangkat ke udara, lalu terhempas ke bumi. Laut di bawah tebing sana bergelora. Teman sekolahku, Kang Haw, hilang di laut itu gara-gara ikut mendorong perahu nelayan sampai ke tengah. Mayatnya mengapung setelah dua minggu. Bengkak. Biru. Penuh lubang bekas gigitan. Meski kakek melarang, aku nekad melihat jasadnya yang ditandu orang-orang setelah diangkat dari laut. Begitu rombongan duka menikung di sudut jalan, aku buru-buru memanjat pohon kersen dan terus mengamati mereka membawa Kang Haw. Tiupan angin mendadak kencang. Pori-poriku meremang.
Di malam hari, saat aku terbangun untuk ke kamar mandi, gemuruh angin terdengar lebih keras, serupa geram raksasa yang berulang-ulang. Aku berlari di lorong panjang itu; penghubung kamar mandi di rumah belakang dengan kamarku yang terletak di rumah induk. Kamarku lebih dekat ke kamar mandi di ujung lorong ketimbang ke kamar mandi keluarga di rumah induk.
Lantai semen sedingin es. Aku sering lupa memakai sandal flanel. Telapak kaki seolah beku. Bang Husni, cucu angkat kakek, sudah berdiri tegak di muka kamarnya yang bersebelahan dengan kamar mandi. Ketukan kaki yang lembut dan irama langkah yang ringan telah menyentaknya dari lelap. Rumah yang sunyi membuat bunyi lebih nyaring terdengar. “Seperti dering weker,” ujarnya, menyeringai. Ia mendekat. Jari-jarinya mencengkeram lenganku, “Jangan lari terlalu kencang, nanti jatuh.”
Bang Husni sering meminjamiku buku-buku komik. Ia menyewa buku-buku itu dari kios buku di pasar. “Komik-komik ini boleh dibaca dengan satu syarat,” katanya, suatu hari. Matanya berbinar ganjil.
Angin terus berembus melalui lubang-lubang jendela kawat di sepanjang lorong. Malam menghitam. Angin mendesis, dingin, tajam. Tubuhku menggigil. Daun-daun kersen gemeresak. Ia mematikan lampu lorong.
POHON kersen itu pernah ingin ditebang kakek. “Kalau musim ulat bikin orang jadi jijik. Kau lihat itu… di mana-mana ulat,” gerutu kakek, mengarahkan telunjuknya ke jendela.
Aku tak setuju. Di atasnya, aku ingin membangun sebuah rumah mungil. Aku ingin punya rumah sendiri. Bukankah ulat-ulat tak berlimpah ruah tiap waktu? Bukankah pohon itu bisa disemprot dengan racun ulat?
“Lebih baik kita tanam pohon rambutan atau jambu, lebih bermanfaat,” bujuk kakek, mengelak berbantahan.
Ayah dan ibu mendukung niat kakek, tapi nasib baik masih berpihak pada pohon tersebut. Perlahan-lahan semua orang lupa pada rencana semula. Hanya ketika angin kencang datang dan merontokkan ulat-ulat, percakapan tentang penebangan pohon muncul lagi. Rencana tersebut berkali-kali batal terlaksana, lenyap di tengah hingar persoalan sehari-hari yang lebih penting. Tentu saja, aku bersyukur.
Aku mulai melihat-lihat papan sisa di belakang rumah. Aku mengamati cara kakek menggergaji, menyugu, dan memaku. Rumah kayu itu memerlukan persiapan yang matang. Ia harus tahan terhadap serbuan angin beliung sekalipun. Aku akan membangunnya sendiri. Tak seorang pun kuberitahu. Aku mulai membuka-buka buku keterampilan pertukangan milik kakek. Tiap memandang pohon kersen, keinginan tinggal di atasnya makin kuat dan berakar dalam hati. Aku berkhayal tidur malam di situ. Dari jendelanya yang mungil kulihat bintang-bintang berkelip. Oh, ya, aku punya keker pemberian ayah. Kamar mandi? Aku bisa buang air dalam kaleng bekas cat. Beres.
Kadangkala aku juga putus asa. Apakah aku sanggup membangun sebuah rumah? Pikiranku tiba-tiba jadi kacau. Kepalaku sakit. Namun, selama rumah impian belum terbangun, aku tetap bisa berlindung di pohon kersen, sejenak bersenang-senang, dan terus mencari akal mewujudkannya kelak. Aku juga bisa mengintai dan mengetahui banyak peristiwa yang berlangsung di rumah kami dari balik daun-daun kersen yang hijau rimbun.
PADA hari Minggu, lelaki tua yang membawa ikan-ikan laut dalam dua keranjang rotan di kanan-kiri sepedanya, selalu berhenti di muka rumah kami. Aku menutup buku ceritaku, sengaja mengamati gerak-geriknya dari atas pohon.
Ia melayangkan pandangannya ke paviliun kakek. Ia tak melihatku. Betis-betisnya yang kurus menyangga sepeda dan muatan yang dibawa.
Kakek tak pergi ke pasar pada hari Minggu. Ia menunggu gerobak sayur atau sepeda ikan lewat di muka rumah.
Si penjual ikan membunyikan bel sepedanya dua kali, lalu berhenti sebentar dan menekan bel dua kali lagi lantaran kakek belum juga muncul. Tak berapa lama kakek membuka pintu paviliun, melangkah di halaman sambil tersenyum, kemudian berteriak pada lelaki itu, “Apakabar, Suk? Ada ikan bagus? Udang ada? Kerang? Ikan pari? Belanak? Selar?”
Lelaki Tionghoa yang berkulit coklat terbakar dan kerut-merut wajahnya bagai guratan-guratan pisau di kulit kayu itu menyambut kakek dengan senyum lebar. “Ada, Pak. Semuanya baru datang. Ikan-ikan kembung ini masih segar. Pari tinggal sedikit,” katanya, bernada riang.
Kakek memilih-milih ikan dalam keranjang. Penjual ikan mengeluarkan dacin. Kakek meletakkan ikan-ikan di mangkuk timbangan. Penjual ikan mulai menggeser anak timbangan, melihat skala berat pada tongkat dacin. Setelah itu kakek mengeluarkan beberapa lembar uang kertas dari saku celana dril-nya. Penjual ikan menganggukkan kepala, memamerkan gigi-gigi yang ompong, lalu mengayuh sepedanya menjauhi rumah kami. Kring-kring… Ia membunyikan bel dua kali sebagai ucapan perpisahan.
Kakek menenteng plastik ikan, menuju paviliun, lalu sejenak menengadah ke arah pohon kersen. “Hati-hati jatuh!” teriaknya padaku. Aku membalas dengan melambaikan tangan dan menjulurkan lidah. Kakek tertawa.
Namun, kakek tak selalu membeli ikan di hari Minggu. Penjual ikan itu melarang kakek membeli ikan-ikannya, meski ia tetap mampir di muka rumah kami seperti biasa, membunyikan bel sepeda, dan menunggu kakek. Ketika kakek muncul, ia berteriak, “Hari ini tak ada ikan bagus, Pak. Nelayan belum pulang dari laut.” Kakek membalas teriakannya, “Ya, ya… tunggu sebentar!” Aku tahu apa yang akan dilakukan kakek. Ia meminta Yu Ani menakar dua liter beras kami dan menuangnya ke kantung plastik untuk diberikan pada si penjual ikan. Selalu, pada hari-hari tak ada ikan segar, kakek mengantar sebuah bungkusan pada lelaki tersebut. Bertahun-tahun aku menyaksikan pagi hari Minggu seperti itu.
Suatu hari Minggu penjual ikan tak datang. Hari Minggu berikutnya bunyi bel sepedanya tak terdengar juga. Hari-hari Minggu berlalu tanpa ikan-ikan. Berbulan-bulan kakek mengganti menu ikan dengan daging sapi atau ayam. Percakapan tentang penjual ikan yang menghilang terdengar berkali-kali di meja makan atau di dapur. “Apa sakit tu orang?” gumam kakek. Yu Ani malah menyangka penjual ikan mengalami musibah yang lebih berat. “Mungkin meninggal. Sudah tua, Pak. Anak-anaknya ke mana ya, Pak? Orang sudah tua masih dibiarkan kerja,” ujarnya, cemas. Namun, perlahan-lahan peristiwa tadi terlupakan seiring datangnya peristiwa lain.
TENGAH malam dan selalu tengah malam, aku kembali terbangun dan berlari ke kamar mandi. Bang Husni sudah menunggu di depan pintu kamarnya. “Ada komik baru, dik,” ujarnya, setengah berbisik. Sebenarnya aku enggan melihat komik-komik itu. Aku buru-buru menekan gagang pintu kamar mandi.
Ia menyusulku dan menarik tanganku, “Mahabharata dan Superman.”
Kusentakkan pegangannya.
“Aku sedang malas baca komik,” jawabku, kesal.
“Ayolah,” bujuknya. Aku enggan mematuhi persyaratan.
“Cuma sebentar, setelah itu kau bisa baca semua komik.” Suaranya terdengar manis.
Ia menuntunku ke kamarnya, membaringkan tubuhku seperti boneka di tilam. Tangan-tangannya membekap mulutku.
Keesokan harinya aku sukar buang air kecil. Aku malas berangkat ke sekolah. Kakek menawarkan diri mengantarku ke sekolah. Ayah dan ibu sudah berangkat ke kantor. Kedua adikku naik mobil jemputan.
Tubuhku panas, seperti demam. “Pohon kersen itu jangan ditebang,” pintaku pada kakek. Kakek meraba dahiku. “Kita lihat nanti,” jawabnya, sambil menepuk-nepuk pundakku. Aku menangis.
Apakah kakek mengetahuinya?
“Taruh pispot ini di kamarmu, biar tak usah menahan kencing, nanti anyang-anyangan,” katanya, sepulang dari pasar. Kakek menaruh pispot di bawah tempat tidur.
Tiba-tiba Bang Husni kabur dari rumah kami.
“Tak pandai membalas budi. Disekolahkan, diberi makan, dibelikan kain baju… malah lari,” rutuk Mak Sol, panjang pendek.
Bang Husni sebentar lagi menempuh ujian akhir sekolah menengah atas dan kakek ingin ia menamatkan sekolah. Kepergiannya membuat kakek murung berhari-hari. Di mana dia sekarang? Bagaimana keadaaannya?
RUMAH kayuku akhirnya gagal bertengger di pohon itu, tapi aku tetap menghabiskan sebagian waktuku dengan duduk di salah satu dahan dan membaca buku-buku. Sesekali aku memandang ke arah pantai. Cuma gemuruh laut dan peluit kapal yang menandai keberadaannya. Sekitar 100 meter dari sini, tebing yang dihampari tanaman rambat berduri itu telah menyembunyikan pantai di bawah sana dan sebatang pohon nangka di pinggir tebing curam itu adalah makhluk kesepian yang berdiri murung mengawasi laut di kejauhan. Dan laut sanggup menelan apa saja.
Sekali waktu, tanpa sengaja, aku melihat seseorang berdiri di pinggir tebing. Hari menjelang malam. Adzan maghrib baru usai. Aku hendak menutup tirai jendela paviliun. Kakek sedang pergi ke luar kota, mengunjungi saudara kami yang sakit. Mak Sol ikut bersamanya. Siapa orang yang terpaku di tebing itu? Dan untuk apa?
Jawaban kuperoleh dari ibu. “Yu Ani,” bisiknya, singkat.
Aku penasaran. Apakah Yu Ani berniat terjun dari tebing? Ibu enggan berbicara lebih panjang.
“Yu Ani patah hati. Ah, kau pasti tak paham ‘kan? Yu Ani tu suka sama orang kapal. Nah, sudah sebulan dia pacaran. Eh, si laki ini ternyata sudah berkeluarga. Banyak anak-anak gadis datang ke kapal, terus piknik ke pantai situ… Pasti Yu Ani masih ingat terus,” kisah Mak Sol, prihatin.
Kakek lalu menghiburnya dengan bermain ramalan. “Kau akan dapat jodoh tak lama lagi,” kata kakek.
Yu Ani tersipu-sipu. Pipi-pipinya merah dadu.
“Kalau saya, Man?” tanya Mak Sol, bersemangat.
Kakek memeriksa garis tangannya, mengerutkan dahi, “Ee… agak berat, tapi jodohmu pasti ada. Orang jauh… mungkin orang seberang.”
Mereka bertiga tergelak-gelak. Ha-ha-ha-ha… Aku ikut tertawa.
“Hei, anak kecil, jangan kau mencuri dengar ya… Pergi jauh-jauh sana. Pergi ke pohonmu.” Mak Sol mengusirku.
Aku berlari menghindari cubitannya.
“Dasar hantu pohon kersen!”
“Hantu dapur!”
Ha-ha-ha-ha…
Kenangan-kenangan selalu kembali.
*) Dipublikasikan pertama kali di Koran Tempo, 2005. Versi bahasa Inggris yang berjudul The Kersen Tree dimuat di The Asia Literary Journal, Hongkong, 2006.
RUMAH kami menghadap pantai. Namun, pantai tak terlihat dari jendela-jendela yang terbuka. Pantai belum juga tampak ketika aku berdiri tegak di halaman pasir dan telapak kakiku yang telanjang bagai diserbu jarum-jarum halus-panas di siang terik itu. Pantai cuma gemuruh laut dan peluit kapal, meski aku bertengger di dahan tertinggi pohon kersen yang menjulang pongah di sudut halaman.
Tebing curam yang dihampari tanaman rambat berduri telah menyembunyikan pantai di bawah sana. Dan sebatang pohon nangka yang kurang subur di pinggir tebing, dengan ranting-ranting tua meranggas, berdiri murung mengawasinya. Menjelang malam, ketika sedikit cahaya memberi siluet pada benda-benda di alam raya, pohon nangka tadi benar-benar menyerupai makhluk asing kesepian merenung di tebing. Hitam. Bisu. Sebatang kara.
Pandanganku yang linglung segera membentur garis pertemuan langit dan tebing. Bukan garis lurus yang terlihat, bukan semacam garis yang dihasilkan mistar dan pensil di atas kertas gambar, melainkan gelombang garis dengan ketinggian puncak dan kedalaman lembah yang berbeda. Semak, pohon, tonggak kayu, tonjolan tanah… telah mencemarinya. Langit yang kulihat pun selalu berubah warna. Biru, abu-abu, hitam, atau putih menyilaukan. Seperti warna-warna bersemburat di benak. Sulur-sulur tumbuhan liar yang menjalar dan menyelimuti tebing selalu terlihat hijau cerah di musim hujan, tapi kering kecoklatan di musim kemarau dan lebih mirip rajutan kawat berkarat ketimbang tumbuhan yang pernah hidup, pernah segar.
Beberapa kali aku diajak kakek pergi ke pantai. Kami terpaksa mengambil jalan memutar. Sudut kemiringan tebing tersebut hampir 90 derajat. Mustahil dituruni.
Begitu kakiku menyentuh pasir, aku segera berbalik menatap tebing. Sungguh tinggi. Pohon nangka tampak sayup.
SAAT aku masih di sekolah dasar, sebagian waktuku habis di atas pohon kersen itu. Bukan sekadar membayangkan pantai yang tersembunyi, melainkan untuk tujuan lain.
Sepulang sekolah dan seusai makan siang, aku memanjat sambil menyandang tas kain berisi buku-buku cerita, kemudian duduk di salah satu dahannya yang kokoh untuk membaca dan menyimak bualan para pendongeng serta terpengaruh oleh kata-kata mereka. Komik Tin Tin, serial detektif Nancy Drew, Kisah dari Lima Benua…
Angin tipis berembus dan memberi sejuk di kulitku, lalu mulai mengusap-usap pelupuk mata. Lama-kelamaan huruf-huruf saling berimpitan atau menggandakan diri mereka.
Aku mulai mengantuk, tapi tak berani lelap. Bukan lantaran ulat-ulat hijau gemuk yang tiba-tiba merayap, menjengkali tubuh sewaktu-waktu, lalu menebar rasa gatal di pori-pori, melainkan lebih pada rasa takut jatuh. Meski angin kencang lebih sering datang pada bulan tertentu, musim tertentu, perasaan takut diterbangkan dan dihempas angin itu memaksaku segera turun saat rasa kantuk mulai menyerang.
Angin kencang memang menakjubkan. Butir-butir pasir terangkat, melayang, dan menyepuh udara. Lantai teras berpasir. Kaca-kaca jendela berdebu. Dinding rumah kami makin kusam. Mak Sol, keponakan kakekku yang tinggal bersama kami, akan sibuk menyapu teras dan mengelapi kaca pintu serta jendela selama berminggu-minggu, lebih sering dari hari-hari biasa. Yu Ani, yang hampir setahun ini membantu memasak dan mencuci pakaian di rumah kami tergopoh-gopoh mengangkat ember dan mengepel lantai. Kadangkala aku memandangi angin kencang dari jendela paviliun, tempat kakek tinggal.
Paviliun itu memiliki jendela-jendela besar. Kusen-kusennya yang dicat putih terbuat dari kayu meranti. Bidang kaca yang luas di kamar kakek membuatku leluasa melihat angin melanda dan meliukkan cabang dan ranting kersen. Daun-daun gugur. Ulat-ulat terpental dan terkapar di pasir seperti korban tabrak lari. Anehnya, musim ulat selalu bersamaan waktunya dengan kedatangan angin kencang.
“Angin Barat sudah sampai,” kata kakek, seraya menyimpan buku belanja di laci mejanya yang bisa menampung seluruh kuitansi pembelian barang, kartu iuran televisi dan radio, surat-surat penting, dan botol-botol bekas obat batuk yang berisi bermacam akar-akaran (dan sebuah botol istimewa berisi koleksi gigi kakek yang tanggal!).
Kakek kemudian memisahkan uang kertas dari uang logam atau sebaliknya, dengan cekatan. Uang kertas dimasukkan ke amplop coklat bertulis UANG BELANJA BULANAN, sedang uang logam disuapkan ke mulut seekor gajah tembikar yang tengah mendongak seraya mengangkat kedua kaki depannya tinggi-tinggi, celengan hadiah dari keponakan kakek yang bekerja di perusahaan pelayaran. Setelah itu amplop uang disimpan dalam brankas. Celengan gajah digeser kembali ke sudut meja. Diam-diam aku pernah mengorek-orek celengan gajah itu dan berusaha menjatuhkan beberapa keping logam di dalamnya. Jarang berhasil. Tapi suatu kali jumlahnya cukup untuk membeli lima bungkus ham lam, manisan dari sejenis buah yang bentuk bijinya seperti kacang almond dan ukurannya dua kali lipat kacang almond. Rangkaian huruf kanji yang tertera pada kertas pembungkus sama sekali tak kupahami. Tulisan ‘ham lam’ dalam huruf Latin di bawah rangkaian huruf kanji itulah yang kuartikan sebagai nama manisan buah tersebut.
Kukira, kakek mengetahui perbuatanku, mencuri keping-keping logamnya. Suatu hari ia membelikan aku sebuah celengan ayam dari tanah liat dan berkata, “Tabung uang logammu di sini. Nanti pecahkan kalau sudah penuh.” Aku tiba-tiba merasa sedih dan malu.
Kualihkan pandanganku dari bidang kaca, mengamati kakek yang duduk memunggungiku. Sebenarnya, kakeklah yang menjadi pemimpin keluarga kami, bukan ayah. Setiap hari ia memeriksa tetek-bengek keperluan rumah, dari soal garam dapur sampai mendatangi tetangga kami yang mencuri air dari pipa ledeng di belakang rumah.
Kakek juga yang datang ke kantor polisi untuk membebaskan sopir kami yang dituduh menabrak orang. Ayah malah ingin memberi uang sogok pada polisi agar urusan cepat selesai. “Jangan! Kalau benar, kita harus berani sampai mati pun,” katanya, menghardik menantunya yang lemah hati.
Kakek pelan-pelan mengangkat cangkir kopi, lalu meneguk isinya. Kopi robusta, kental. Aku pernah mencicipi kopi kakek, seteguk. Pahit. Kumuntahkan di wastafel. Hitam pekat. Warna yang menakutkan, tapi selalu ada. Kulihat jari-jari kakek bergetar.
“Angin kencang ini membawa penyakit. Kalau bermain, di dalam rumah saja. Lebih aman,” ujar kakek, seraya meletakkan cangkir di atas piring tatakan. Sebentar kemudian ia pun beranjak dari kursi, meletakkan kaca mata baca di atas bufet, lalu berjalan melewati ambang pintu.
KETIKA pandanganku kembali membentur bidang kaca itu, kulihat gumpalan awan hitam berarak pelan di langit. Angin masih menggila. Butir-butir tanah terangkat ke udara, lalu terhempas ke bumi. Laut di bawah tebing sana bergelora. Teman sekolahku, Kang Haw, hilang di laut itu gara-gara ikut mendorong perahu nelayan sampai ke tengah. Mayatnya mengapung setelah dua minggu. Bengkak. Biru. Penuh lubang bekas gigitan. Meski kakek melarang, aku nekad melihat jasadnya yang ditandu orang-orang setelah diangkat dari laut. Begitu rombongan duka menikung di sudut jalan, aku buru-buru memanjat pohon kersen dan terus mengamati mereka membawa Kang Haw. Tiupan angin mendadak kencang. Pori-poriku meremang.
Di malam hari, saat aku terbangun untuk ke kamar mandi, gemuruh angin terdengar lebih keras, serupa geram raksasa yang berulang-ulang. Aku berlari di lorong panjang itu; penghubung kamar mandi di rumah belakang dengan kamarku yang terletak di rumah induk. Kamarku lebih dekat ke kamar mandi di ujung lorong ketimbang ke kamar mandi keluarga di rumah induk.
Lantai semen sedingin es. Aku sering lupa memakai sandal flanel. Telapak kaki seolah beku. Bang Husni, cucu angkat kakek, sudah berdiri tegak di muka kamarnya yang bersebelahan dengan kamar mandi. Ketukan kaki yang lembut dan irama langkah yang ringan telah menyentaknya dari lelap. Rumah yang sunyi membuat bunyi lebih nyaring terdengar. “Seperti dering weker,” ujarnya, menyeringai. Ia mendekat. Jari-jarinya mencengkeram lenganku, “Jangan lari terlalu kencang, nanti jatuh.”
Bang Husni sering meminjamiku buku-buku komik. Ia menyewa buku-buku itu dari kios buku di pasar. “Komik-komik ini boleh dibaca dengan satu syarat,” katanya, suatu hari. Matanya berbinar ganjil.
Angin terus berembus melalui lubang-lubang jendela kawat di sepanjang lorong. Malam menghitam. Angin mendesis, dingin, tajam. Tubuhku menggigil. Daun-daun kersen gemeresak. Ia mematikan lampu lorong.
POHON kersen itu pernah ingin ditebang kakek. “Kalau musim ulat bikin orang jadi jijik. Kau lihat itu… di mana-mana ulat,” gerutu kakek, mengarahkan telunjuknya ke jendela.
Aku tak setuju. Di atasnya, aku ingin membangun sebuah rumah mungil. Aku ingin punya rumah sendiri. Bukankah ulat-ulat tak berlimpah ruah tiap waktu? Bukankah pohon itu bisa disemprot dengan racun ulat?
“Lebih baik kita tanam pohon rambutan atau jambu, lebih bermanfaat,” bujuk kakek, mengelak berbantahan.
Ayah dan ibu mendukung niat kakek, tapi nasib baik masih berpihak pada pohon tersebut. Perlahan-lahan semua orang lupa pada rencana semula. Hanya ketika angin kencang datang dan merontokkan ulat-ulat, percakapan tentang penebangan pohon muncul lagi. Rencana tersebut berkali-kali batal terlaksana, lenyap di tengah hingar persoalan sehari-hari yang lebih penting. Tentu saja, aku bersyukur.
Aku mulai melihat-lihat papan sisa di belakang rumah. Aku mengamati cara kakek menggergaji, menyugu, dan memaku. Rumah kayu itu memerlukan persiapan yang matang. Ia harus tahan terhadap serbuan angin beliung sekalipun. Aku akan membangunnya sendiri. Tak seorang pun kuberitahu. Aku mulai membuka-buka buku keterampilan pertukangan milik kakek. Tiap memandang pohon kersen, keinginan tinggal di atasnya makin kuat dan berakar dalam hati. Aku berkhayal tidur malam di situ. Dari jendelanya yang mungil kulihat bintang-bintang berkelip. Oh, ya, aku punya keker pemberian ayah. Kamar mandi? Aku bisa buang air dalam kaleng bekas cat. Beres.
Kadangkala aku juga putus asa. Apakah aku sanggup membangun sebuah rumah? Pikiranku tiba-tiba jadi kacau. Kepalaku sakit. Namun, selama rumah impian belum terbangun, aku tetap bisa berlindung di pohon kersen, sejenak bersenang-senang, dan terus mencari akal mewujudkannya kelak. Aku juga bisa mengintai dan mengetahui banyak peristiwa yang berlangsung di rumah kami dari balik daun-daun kersen yang hijau rimbun.
PADA hari Minggu, lelaki tua yang membawa ikan-ikan laut dalam dua keranjang rotan di kanan-kiri sepedanya, selalu berhenti di muka rumah kami. Aku menutup buku ceritaku, sengaja mengamati gerak-geriknya dari atas pohon.
Ia melayangkan pandangannya ke paviliun kakek. Ia tak melihatku. Betis-betisnya yang kurus menyangga sepeda dan muatan yang dibawa.
Kakek tak pergi ke pasar pada hari Minggu. Ia menunggu gerobak sayur atau sepeda ikan lewat di muka rumah.
Si penjual ikan membunyikan bel sepedanya dua kali, lalu berhenti sebentar dan menekan bel dua kali lagi lantaran kakek belum juga muncul. Tak berapa lama kakek membuka pintu paviliun, melangkah di halaman sambil tersenyum, kemudian berteriak pada lelaki itu, “Apakabar, Suk? Ada ikan bagus? Udang ada? Kerang? Ikan pari? Belanak? Selar?”
Lelaki Tionghoa yang berkulit coklat terbakar dan kerut-merut wajahnya bagai guratan-guratan pisau di kulit kayu itu menyambut kakek dengan senyum lebar. “Ada, Pak. Semuanya baru datang. Ikan-ikan kembung ini masih segar. Pari tinggal sedikit,” katanya, bernada riang.
Kakek memilih-milih ikan dalam keranjang. Penjual ikan mengeluarkan dacin. Kakek meletakkan ikan-ikan di mangkuk timbangan. Penjual ikan mulai menggeser anak timbangan, melihat skala berat pada tongkat dacin. Setelah itu kakek mengeluarkan beberapa lembar uang kertas dari saku celana dril-nya. Penjual ikan menganggukkan kepala, memamerkan gigi-gigi yang ompong, lalu mengayuh sepedanya menjauhi rumah kami. Kring-kring… Ia membunyikan bel dua kali sebagai ucapan perpisahan.
Kakek menenteng plastik ikan, menuju paviliun, lalu sejenak menengadah ke arah pohon kersen. “Hati-hati jatuh!” teriaknya padaku. Aku membalas dengan melambaikan tangan dan menjulurkan lidah. Kakek tertawa.
Namun, kakek tak selalu membeli ikan di hari Minggu. Penjual ikan itu melarang kakek membeli ikan-ikannya, meski ia tetap mampir di muka rumah kami seperti biasa, membunyikan bel sepeda, dan menunggu kakek. Ketika kakek muncul, ia berteriak, “Hari ini tak ada ikan bagus, Pak. Nelayan belum pulang dari laut.” Kakek membalas teriakannya, “Ya, ya… tunggu sebentar!” Aku tahu apa yang akan dilakukan kakek. Ia meminta Yu Ani menakar dua liter beras kami dan menuangnya ke kantung plastik untuk diberikan pada si penjual ikan. Selalu, pada hari-hari tak ada ikan segar, kakek mengantar sebuah bungkusan pada lelaki tersebut. Bertahun-tahun aku menyaksikan pagi hari Minggu seperti itu.
Suatu hari Minggu penjual ikan tak datang. Hari Minggu berikutnya bunyi bel sepedanya tak terdengar juga. Hari-hari Minggu berlalu tanpa ikan-ikan. Berbulan-bulan kakek mengganti menu ikan dengan daging sapi atau ayam. Percakapan tentang penjual ikan yang menghilang terdengar berkali-kali di meja makan atau di dapur. “Apa sakit tu orang?” gumam kakek. Yu Ani malah menyangka penjual ikan mengalami musibah yang lebih berat. “Mungkin meninggal. Sudah tua, Pak. Anak-anaknya ke mana ya, Pak? Orang sudah tua masih dibiarkan kerja,” ujarnya, cemas. Namun, perlahan-lahan peristiwa tadi terlupakan seiring datangnya peristiwa lain.
TENGAH malam dan selalu tengah malam, aku kembali terbangun dan berlari ke kamar mandi. Bang Husni sudah menunggu di depan pintu kamarnya. “Ada komik baru, dik,” ujarnya, setengah berbisik. Sebenarnya aku enggan melihat komik-komik itu. Aku buru-buru menekan gagang pintu kamar mandi.
Ia menyusulku dan menarik tanganku, “Mahabharata dan Superman.”
Kusentakkan pegangannya.
“Aku sedang malas baca komik,” jawabku, kesal.
“Ayolah,” bujuknya. Aku enggan mematuhi persyaratan.
“Cuma sebentar, setelah itu kau bisa baca semua komik.” Suaranya terdengar manis.
Ia menuntunku ke kamarnya, membaringkan tubuhku seperti boneka di tilam. Tangan-tangannya membekap mulutku.
Keesokan harinya aku sukar buang air kecil. Aku malas berangkat ke sekolah. Kakek menawarkan diri mengantarku ke sekolah. Ayah dan ibu sudah berangkat ke kantor. Kedua adikku naik mobil jemputan.
Tubuhku panas, seperti demam. “Pohon kersen itu jangan ditebang,” pintaku pada kakek. Kakek meraba dahiku. “Kita lihat nanti,” jawabnya, sambil menepuk-nepuk pundakku. Aku menangis.
Apakah kakek mengetahuinya?
“Taruh pispot ini di kamarmu, biar tak usah menahan kencing, nanti anyang-anyangan,” katanya, sepulang dari pasar. Kakek menaruh pispot di bawah tempat tidur.
Tiba-tiba Bang Husni kabur dari rumah kami.
“Tak pandai membalas budi. Disekolahkan, diberi makan, dibelikan kain baju… malah lari,” rutuk Mak Sol, panjang pendek.
Bang Husni sebentar lagi menempuh ujian akhir sekolah menengah atas dan kakek ingin ia menamatkan sekolah. Kepergiannya membuat kakek murung berhari-hari. Di mana dia sekarang? Bagaimana keadaaannya?
RUMAH kayuku akhirnya gagal bertengger di pohon itu, tapi aku tetap menghabiskan sebagian waktuku dengan duduk di salah satu dahan dan membaca buku-buku. Sesekali aku memandang ke arah pantai. Cuma gemuruh laut dan peluit kapal yang menandai keberadaannya. Sekitar 100 meter dari sini, tebing yang dihampari tanaman rambat berduri itu telah menyembunyikan pantai di bawah sana dan sebatang pohon nangka di pinggir tebing curam itu adalah makhluk kesepian yang berdiri murung mengawasi laut di kejauhan. Dan laut sanggup menelan apa saja.
Sekali waktu, tanpa sengaja, aku melihat seseorang berdiri di pinggir tebing. Hari menjelang malam. Adzan maghrib baru usai. Aku hendak menutup tirai jendela paviliun. Kakek sedang pergi ke luar kota, mengunjungi saudara kami yang sakit. Mak Sol ikut bersamanya. Siapa orang yang terpaku di tebing itu? Dan untuk apa?
Jawaban kuperoleh dari ibu. “Yu Ani,” bisiknya, singkat.
Aku penasaran. Apakah Yu Ani berniat terjun dari tebing? Ibu enggan berbicara lebih panjang.
“Yu Ani patah hati. Ah, kau pasti tak paham ‘kan? Yu Ani tu suka sama orang kapal. Nah, sudah sebulan dia pacaran. Eh, si laki ini ternyata sudah berkeluarga. Banyak anak-anak gadis datang ke kapal, terus piknik ke pantai situ… Pasti Yu Ani masih ingat terus,” kisah Mak Sol, prihatin.
Kakek lalu menghiburnya dengan bermain ramalan. “Kau akan dapat jodoh tak lama lagi,” kata kakek.
Yu Ani tersipu-sipu. Pipi-pipinya merah dadu.
“Kalau saya, Man?” tanya Mak Sol, bersemangat.
Kakek memeriksa garis tangannya, mengerutkan dahi, “Ee… agak berat, tapi jodohmu pasti ada. Orang jauh… mungkin orang seberang.”
Mereka bertiga tergelak-gelak. Ha-ha-ha-ha… Aku ikut tertawa.
“Hei, anak kecil, jangan kau mencuri dengar ya… Pergi jauh-jauh sana. Pergi ke pohonmu.” Mak Sol mengusirku.
Aku berlari menghindari cubitannya.
“Dasar hantu pohon kersen!”
“Hantu dapur!”
Ha-ha-ha-ha…
Kenangan-kenangan selalu kembali.
*) Dipublikasikan pertama kali di Koran Tempo, 2005. Versi bahasa Inggris yang berjudul The Kersen Tree dimuat di The Asia Literary Journal, Hongkong, 2006.
Comments
Apalagi jika daun insulin (daun yakon) dikombinasi dengan herbal sambiloto dan meniran, semua dalam satu kapsul jadi kapsul yakon plus...
untuk info jelasnya... Klik aja >>
http://berkhasiat.web.id/jualan/diabetes-herbal-kapsul-yakon-plus/
Atau langsung pesan ke Ryan 0813-80-262524 (SMS/WhatsApp/Telegram/Line