Dua Beranak Temurun, Benny Arnas
Bada ditinggalkan pinangan hatinya, lelaki paruh baya itu sangat suka mendongeng. Semua dongengannya pun memiliki potongan cerita menarik. Tak heran bila putranya sangat suka menajamkan telinga di sela-sela desauan angin yang memapas kisah dari bibir hitam yang berkerut merut itu.
Entah, yang didongengi pun tak tahu mengapa lelaki yang tampak beberapa tahun lebih tua dari usianya tersebut sangat suka melakukannya. Dalam setiap dongengannya, entah itu melankolis, romantis, atau epik; entah itu surealis atau absurd; entah juga itu tentang gadis, bujang, janda, duda, atau manusia-manusia yang hampir berbau liat; lakon-lakon yang baik-baik sifat, perilaku, dan tutur bahasanya, adalah seseorang bernama Jarun.
”Agar hidupmu tidak menggelambir noktah kelam, Nak.” Itulah yang diucapkan lelaki itu ketika anaknya bertanya mengapa ia sangat sering bercerita.
Wajar bukan kalau putranya tak pernah mengerti alasan mengapa lelaki itu senang mendongeng. Mana cepat mengerti putranya dengan jawabannya itu. Memang sejatinya tak penting bagi sang putra memahami leliku bahasa-bahasa tingkat tinggi yang kerap dibunyikan lelaki itu. Baginya yang utama adalah setelah mendengarkan dongengan sang ayah ia bisa memintal angan dalam mimpi yang terbilik oleh purnama-purnama yang indah.
Yah, ketika angin diam-diam menghembuskan hawa hampanya, manusia-manusia kerap menutup kelopak matanya, maka masing-masing tetiduran pun memekarkan bunga-bunga malamnya. Tak terkecuali untuk seorang bocah delapan tahun yang sangat senang mendengarkan kisah-kisah kehidupan bernuansa merah muda dari ayahnya. Oleh sang putra, semua kerap—dan memang diharapkan—tidak hanya terjelma dalam mimpi belaka, tetapi suatu hari akan menguap menjadi kenyataan yang jelas berupa-rupa.
”Mengapa tidak Jarun saja namaku, Yah?”
”Tak penting nama itu, Nak. Yang penting, segala kebaikan Jarun itu hadir dalam kehidupanmu.”
”Tetapi, aku mau Ayah juga memanggilku seperti itu!”
Lelaki legam itu tak memerhatikan, apalagi memedulikan, permintaan putranya barusan.
”Tidurlah, Nak. Besok kau harus sekolah.”
Putranya mengangguk.
”Jangan lupa berdoa agar tidur berkat, dan sebangun kau darinya pun juga bisa berkat. Dan yang terpenting adalah semoga doa-doa itu turut membantu agar dirimu tidak diboyong ke pusat kota suatu hari.”
Lagi-lagi Jarun tak mengerti kata-kata ayahnya. Lelaki itu memang tak panjang jalan pikirannya. Apa ia kira anaknya itu setua dirinya sampai kata-katanya harus selalu berumpama-umpama dan memilih bahasa-bahasa yang tidak biasa.
Putranya sudah menguap. Tidur. Tidur. Mimpi jadi Jarun….
”Besok tolong Mami ya, Dre? Ambilkan uang yang baru dikirim papimu dari desa.”
Andre hanya mengangguk. Lucu, masak tinggal di kota, tetapi dikirimi uang oleh orang yang tinggal di desa.
”Halooo! Kau dengar, kan?!”
”Eeeh iya, Bu… eh salah, Mi.”
”Sekalian kau belilah perlengkapan keelokan fisikmu. Deodorant, parfum, t-shirt, jeans, dan lainnya. Engkau lebih pahamlah apa yang kiranya serasi untukmu. Setelah itu pergilah nge-gym ke tempat fitness-nya Om Andi, biar kau bisa membantu Mami mencari uang kelak.”
Apa hubungannya?
”O ya, nanti kalau ada gadis-gadis itu, jangan sedikit pun kau tergoda. Ingat, kau masih 16 tahun, Dre. Mami tak mau kau justru melampiaskan hasrat birahimu kepada mereka. Kau masih mau bermewah-mewah, bukan? Ha ha ha…,” Mami menutup kalimatnya dengan tawa panjang.
Tak lama berselang, rumah itu dipenuhi para penjual yang barang bawaannya tak kunjung habis. Berkurang tantangan dan rupa kepuasan saja yang membedakannya dari hari ke hari.
Bordir, bordir! Andre menggerutu sebelum meninggalkan rumah yang penuh dengan cekakak-cekikik puluhan pasangan haram itu.
”Aku harus jadi anak baik seperti pesan orangtuaku dulu,” hati kecilnya bertekad.
”Bukankah Mami adalah orangtuamu juga? Lagi pula kalau kau lari, apa kau tak takut dimarahinya?” belahan jiwanya yang lain berujar.
”Mami? Hueekh! Siapa peduli!” hati kecilnya bertahan.
Sebagaimana layaknya hari Kamis, Ahmad harus melakukan persiapan ekstra di An-Nur, masjid yang dia huni. Maklum esok salat Zuhur absen dari ritualitas manusia-manusia masjid. Salat dua rakaat yang bernama sama dengan hari dilaksanakannya ibadah tengah hari tersebut memaksa pemuda 25 tahun itu membentangkan sajadah panjang-panjang hingga memenuhi ruangan masjid; memastikan kotak wakaf berjumlah delapan agar ia tak terlalu lama melewati saf-saf yang kian Jumat kian memendek dan berkurang; mengecek soundsystem tua agar suara Kiai Anam tak memarau dan putus-putus olehnya hingga mengganggu jamaah yang hendak tidur siang selama ia membusa mulut dengan khotbahnya; serta mengamplopkan beberapa puluh ribuan untuk Kiai Anam, Wak Jamil, dan Mang Marlis.
Uh, Mang Marlis. Jumat lalu lelaki yang menderita radang tenggorokan akut itu mencak-mencak di hadapan Ahmad. Perihalnya sepele-pele rumit, sudah beberapa hari belakangan becaknya sepi.
”Orang lebih suka naik ojek, lebih cepat katanya,” jawab dia waktu itu ketika Ahmad bertanya mengapa tiba-tiba ia mengeluhkan, bahkan terkesan menyalahkan dirinya, setelah salat Jumat hari itu.
Yah, wajar kalau Ahmad awalnya bingung dengan tuturan-tuturan Mang Marlis. Baru saja salat Jumat berakhir, lelaki itu langsung menyeracau hingga Ahmad terkejut sejenak sebelum mencoba memahami semuanya.
”Apa hubungannya denganku, Mang?” respons Ahmad saat itu.
”Kau kan garin masjid. Kau sampaikanlah kepada Haji Dullah, ketua pengurus masjid, kalau aku juga pandai berazan. Muazin dapat 25 ribu, kan? Itu lebih besar dari tarikanku sehari. Biar Jumat nanti aku bisa rehat sejenak untuk persiapan enam hari ke depan. Tolong usahakan ya, Mad. Nanti kuberi uang rokok untukmu.”
”Aku tak merokok, Mang,” Ahmad masih belum percaya dengan apa yang dia dengar.
Mang Marlis hanya nyengir kuda sebelum menepuk bahu Ahmad dan berlalu dengan penuh harap.
Sejak saat itu Ahmad tidak pernah melihat Mang Marlis dengan becaknya lagi. Dan dua hari lalu, tiba-tiba saja lelaki 40 tahun-an tersebut tak henti-hentinya mengumbar terima kasih ketika tahu ia diizinkan menjadi muazin salat Jumat esok. Hari itu juga, Ahmad baru tahu becak lelaki itu ditarik juragan Marwan karena ia sudah satu minggu tidak pernah setor.
”Dooor!”
”Eeh… iya.” Ahmad tersentak mendapati tangan yang baru saja menepuk bahunya.
”Pagi-pagi udah ngelamun, Mad,” Harun tetangganya, sudah berdiri di belakang. ”Tolong umumkan ini di masjid, biar aku yang beduk.” Harun memberikan kepalan kertas lusuh. Ahmad terkesiap melihat tulisan yang tergores di sana.
”Meninggalnya jam dua subuh tadi.”
Ahmad masih melongo.
”Entah lucu juga kalau kau dengar musabab kematiannya. Kata Bi Anis, istrinya, dari pagi hingga tengah malam, ia seharian di kamar, membuka-buka buku bacaan salat. Berteriak-teriak sendiri di kamar seperti orang melagu-lagu arab tak jelas rupa bunyinya. Lewat tengah malam tenggorokannya tersekat, tak ada air pula dijerang Bi Anis. Akhirnya mati….”
Ahmad menelan air ludah. Ia melangkah menuju mikrofon yang mesti disambungkan dulu kabelnya ke equalizer murahan di balik mimbar.
”Oya aku baru ingat, Mad. Matinya karena belajar berazan….”
Sudah kuduga.
”…ada-ada saja cara Tuhan mencabut nyawa orang…,” lanjut Harun.
Tak lama berselang. Beduk dipukul dengan ritmis sumbang. Penduduk menajamkan telinga.
”Innalillahi wa innalillahi roji’un. Telah berpulang ke Rahmatullah, Marlis bin Ajip Makmun….”
”Mengapa kau bisa sampai di sini?”
”Untuk apa kau tahu?”
”Banyak yang masuk ke sini hanya karena salah tangkap, tak ada uang, salah paham, dan…”
”Apa peduliku? Penjara ya penjara, tempat orang-orang berwatak dan berperi laku bejat dikandangkan.”
”Tidak denganku, anak muda.”
”Maling mana mau mengaku maling!”
Paaak.
”Mengapa kau menamparku?”
Paaak.
”Nah kau puaskan? Sekarang kau yang balas menampar wajahku yang memang sudah remuk ini?”
Beberapa jam kemudian dua lelaki senjang usia tersebut sudah akrab. Entah api dari mana yang mengasapkan kehangatan hubungan mereka. Tiba-tiba saja, tamparan, rasa skeptis, dan caci-maki yang kerap mewarnai awal jumpa mereka di lembaga pemasyarakatan sore tadi mulai berkurang—bukan hilang sama sekali.
”Itulah leliku hidupku, Pak,” lelaki yang lebih muda menutup cerita hidupnya pada malam yang memekat. ”Sekarang giliranmu.”
”Istriku selalu meminta kiriman uang dariku.”
”Wajar, bukan?” sela yang lebih muda.
”Iya. Sebelum semuanya terungkap bahwa ia berprofesi sama dengan ibumu yang baru kau ceritakan tadi. Aku murka setelah mengetahui semuanya. Aku datangi tempatnya, kuacak-acak sarang setan yang dia buat. Ia pun membawa kasus ini ke meja hijau. Aku tak cukup beruang lagi saat itu. Ia menang. Tetapi, aku tak heran. Seorang mucikari seperti dia pasti memiliki bekingan berlapis, tak mengenal profesi, tanggung jawab, dan sumpah jabatan yang menyertainya. Wajahku saja, seperti kaulihat saat ini, lebam mengungu, sampai hampir tak berupa.”
”Jadi?”
”Jadi, ya aku dipenjara,” lelaki tua itu menerawang, ”salahku juga yang belum sempat menceraikannya. Sakit hatinya aku adalah ketika di pengadilan terungkap bahwa ternyata kirimanku selama ini sudah beberapa tahun belakangan tak pernah dia terima. Entah bagaimana itu bisa terjadi. Katanya anak bujang kami yang melarikannya karena memang atas nama ia buku tabungan tersebut ditandatangani. Kalau penegak hukum itu mau adil, seharusnya mereka berlogika, mana tahu aku perkara diterima atau tidaknya uang itu. Lagi pula wanita iblis itu tak pernah mengabariku.”
”Jadi tepatnya, apa pasal hingga Bapak mendekam di sini?”
”Sangkaan terhadapku sangat berlapis. Selain masalah tak pernah menafkahi istri dan anak, juga tindakan anarkis terhadap rumah pelacuran istriku. Tetapi…”
”Tetapi apa, Pak?”
”…aku tak rela ditangkap, maka melarikan dirilah aku ke suatu daerah yang kuyakini bisa menumpang teduh pada adikku. Walaupun aku tak dapat menemukannya dan akhirnya aku tertangkap juga,” lelaki itu menyebut nama suatu tempat.
”Aku sempat tinggal di sana.”
“Hah? Benarkah? Kau kenal adikku?”
”Siapa namanya?” tanya yang lebih muda sok peduli.
”Marlis. Ya hanya Marlis tok! Kau kenal?”
Deg!
Air muka lelaki yang lebih muda memerah. Tetapi, raut itu belum sempat ditangkap mata tua lelaki di hadapannya. Ah, aku tak mau memanjangkan cerita, cukup membosankan juga nanti berbalas omong dengan lelaki tua ini. Paling ia akan menerorku dengan tanya ini-tanya itu perihal Marlis miskin buta agama itu. Kasihan kalian, dua beradik yang tak mujur dua-duanya!
”Kau kenal?” lelaki tua mendesak.
”Huaaap…,” lelaki yang lebih muda menggeleng sambil pura-pura menguap. ”aku ngantuk, Pak. Tidur dulu, ya. Nanti kalau ada sipir yang mengantar makanan, bangunkan aku!”
”Ya sudah kalu begitu. O ya, tadi kau bercerita panjang lebar tentang dirimu, tetapi kau belum menyebutkan namamu?
”Huh! Banyak bacot pula, kau! Baiklah, biarkan aku istirahat setelah kau dengar semuanya!”
Lelaki tua mengangguk ragu. Keder juga dia melihat ekspresi kesal lelaki 27 tahun-an di hadapannya itu.
”Namaku macam-macam. Saat aku dimasukkan ke sini perihal kucuri semua uang wakaf masjid yang telah kutunggui lebih dari lima tahun, namaku Ahmad. Sebelumnya namaku Andre, semasa kecil namaku Amrul.”
”Amrul?” lelaki tua membelalak, serasa tak percaya.
”Iya. Tidak ada pertanyaan lagi, kan?” Ahmad tak memedulikan ekspresi rekan sekamarnya. Ia langsung berbalik, membaringkan tubuhnya
Senyap. Hanya angin penjara yang berseliweran mengisi ekspresi murung, sedih, pedih, dan kacau para penghuninya.
”Semasa kecil, kau sangat suka didongengi, bukan?” suara lelaki tua memecah hening. Ia telah membelakangi Ahmad, menghadap ke jeruji, memegangi bilah-bilah besinya.
Ahmad membuka kelopak matanya yang baru saja menutup.
”Umur delapan tahun kau dibawa ibumu ke kota. Aku baru tahu beberapa tahun lalu, tepat pada usiamu ke-17 kau akan digigolokannya. Untung kau melarikan diri satu tahun sebelumnya.”
Ahmad bangkit dari pembaringannya. Mukanya memerah.
”Jarun… Jarun… kau hanya manusia impian. Percuma saja kisah-kisah rekaan tentangmu kuhembuskan ke telinga putraku. Semua tak membekas. Ia tak jadi jua seperti yang diharapkan.”
”Kau… kau…?” Ahmad terbata-bata.
”Tak usah berharap. Aku sudah lupa dongeng-dongeng tua itu. Aku tak akan mendongeng lagi.” lelaki tua itu menyeringai kecil. ”Lagi pula, pemilik pusat kebugaran itu sudah menjadi papi tirimu.”
Ahmad bangun. Perlahan, mendudukkan tubuhnya yang layu di dinding penjara.
”Mungkin sudah takdirnya pula, dua beranak mati di jeruji ini,” lelaki tua itu membalikkan tubuhnya menghadap Ahmad yang meremas-remas rambut kusutnya.
Jeruji besi berbunyi seperti dipukul-pukul. Makanan anjing telah datang. Tampaknya malam itu akan menjadi lebih panjang dari biasa.
Entah, yang didongengi pun tak tahu mengapa lelaki yang tampak beberapa tahun lebih tua dari usianya tersebut sangat suka melakukannya. Dalam setiap dongengannya, entah itu melankolis, romantis, atau epik; entah itu surealis atau absurd; entah juga itu tentang gadis, bujang, janda, duda, atau manusia-manusia yang hampir berbau liat; lakon-lakon yang baik-baik sifat, perilaku, dan tutur bahasanya, adalah seseorang bernama Jarun.
”Agar hidupmu tidak menggelambir noktah kelam, Nak.” Itulah yang diucapkan lelaki itu ketika anaknya bertanya mengapa ia sangat sering bercerita.
Wajar bukan kalau putranya tak pernah mengerti alasan mengapa lelaki itu senang mendongeng. Mana cepat mengerti putranya dengan jawabannya itu. Memang sejatinya tak penting bagi sang putra memahami leliku bahasa-bahasa tingkat tinggi yang kerap dibunyikan lelaki itu. Baginya yang utama adalah setelah mendengarkan dongengan sang ayah ia bisa memintal angan dalam mimpi yang terbilik oleh purnama-purnama yang indah.
Yah, ketika angin diam-diam menghembuskan hawa hampanya, manusia-manusia kerap menutup kelopak matanya, maka masing-masing tetiduran pun memekarkan bunga-bunga malamnya. Tak terkecuali untuk seorang bocah delapan tahun yang sangat senang mendengarkan kisah-kisah kehidupan bernuansa merah muda dari ayahnya. Oleh sang putra, semua kerap—dan memang diharapkan—tidak hanya terjelma dalam mimpi belaka, tetapi suatu hari akan menguap menjadi kenyataan yang jelas berupa-rupa.
”Mengapa tidak Jarun saja namaku, Yah?”
”Tak penting nama itu, Nak. Yang penting, segala kebaikan Jarun itu hadir dalam kehidupanmu.”
”Tetapi, aku mau Ayah juga memanggilku seperti itu!”
Lelaki legam itu tak memerhatikan, apalagi memedulikan, permintaan putranya barusan.
”Tidurlah, Nak. Besok kau harus sekolah.”
Putranya mengangguk.
”Jangan lupa berdoa agar tidur berkat, dan sebangun kau darinya pun juga bisa berkat. Dan yang terpenting adalah semoga doa-doa itu turut membantu agar dirimu tidak diboyong ke pusat kota suatu hari.”
Lagi-lagi Jarun tak mengerti kata-kata ayahnya. Lelaki itu memang tak panjang jalan pikirannya. Apa ia kira anaknya itu setua dirinya sampai kata-katanya harus selalu berumpama-umpama dan memilih bahasa-bahasa yang tidak biasa.
Putranya sudah menguap. Tidur. Tidur. Mimpi jadi Jarun….
”Besok tolong Mami ya, Dre? Ambilkan uang yang baru dikirim papimu dari desa.”
Andre hanya mengangguk. Lucu, masak tinggal di kota, tetapi dikirimi uang oleh orang yang tinggal di desa.
”Halooo! Kau dengar, kan?!”
”Eeeh iya, Bu… eh salah, Mi.”
”Sekalian kau belilah perlengkapan keelokan fisikmu. Deodorant, parfum, t-shirt, jeans, dan lainnya. Engkau lebih pahamlah apa yang kiranya serasi untukmu. Setelah itu pergilah nge-gym ke tempat fitness-nya Om Andi, biar kau bisa membantu Mami mencari uang kelak.”
Apa hubungannya?
”O ya, nanti kalau ada gadis-gadis itu, jangan sedikit pun kau tergoda. Ingat, kau masih 16 tahun, Dre. Mami tak mau kau justru melampiaskan hasrat birahimu kepada mereka. Kau masih mau bermewah-mewah, bukan? Ha ha ha…,” Mami menutup kalimatnya dengan tawa panjang.
Tak lama berselang, rumah itu dipenuhi para penjual yang barang bawaannya tak kunjung habis. Berkurang tantangan dan rupa kepuasan saja yang membedakannya dari hari ke hari.
Bordir, bordir! Andre menggerutu sebelum meninggalkan rumah yang penuh dengan cekakak-cekikik puluhan pasangan haram itu.
”Aku harus jadi anak baik seperti pesan orangtuaku dulu,” hati kecilnya bertekad.
”Bukankah Mami adalah orangtuamu juga? Lagi pula kalau kau lari, apa kau tak takut dimarahinya?” belahan jiwanya yang lain berujar.
”Mami? Hueekh! Siapa peduli!” hati kecilnya bertahan.
Sebagaimana layaknya hari Kamis, Ahmad harus melakukan persiapan ekstra di An-Nur, masjid yang dia huni. Maklum esok salat Zuhur absen dari ritualitas manusia-manusia masjid. Salat dua rakaat yang bernama sama dengan hari dilaksanakannya ibadah tengah hari tersebut memaksa pemuda 25 tahun itu membentangkan sajadah panjang-panjang hingga memenuhi ruangan masjid; memastikan kotak wakaf berjumlah delapan agar ia tak terlalu lama melewati saf-saf yang kian Jumat kian memendek dan berkurang; mengecek soundsystem tua agar suara Kiai Anam tak memarau dan putus-putus olehnya hingga mengganggu jamaah yang hendak tidur siang selama ia membusa mulut dengan khotbahnya; serta mengamplopkan beberapa puluh ribuan untuk Kiai Anam, Wak Jamil, dan Mang Marlis.
Uh, Mang Marlis. Jumat lalu lelaki yang menderita radang tenggorokan akut itu mencak-mencak di hadapan Ahmad. Perihalnya sepele-pele rumit, sudah beberapa hari belakangan becaknya sepi.
”Orang lebih suka naik ojek, lebih cepat katanya,” jawab dia waktu itu ketika Ahmad bertanya mengapa tiba-tiba ia mengeluhkan, bahkan terkesan menyalahkan dirinya, setelah salat Jumat hari itu.
Yah, wajar kalau Ahmad awalnya bingung dengan tuturan-tuturan Mang Marlis. Baru saja salat Jumat berakhir, lelaki itu langsung menyeracau hingga Ahmad terkejut sejenak sebelum mencoba memahami semuanya.
”Apa hubungannya denganku, Mang?” respons Ahmad saat itu.
”Kau kan garin masjid. Kau sampaikanlah kepada Haji Dullah, ketua pengurus masjid, kalau aku juga pandai berazan. Muazin dapat 25 ribu, kan? Itu lebih besar dari tarikanku sehari. Biar Jumat nanti aku bisa rehat sejenak untuk persiapan enam hari ke depan. Tolong usahakan ya, Mad. Nanti kuberi uang rokok untukmu.”
”Aku tak merokok, Mang,” Ahmad masih belum percaya dengan apa yang dia dengar.
Mang Marlis hanya nyengir kuda sebelum menepuk bahu Ahmad dan berlalu dengan penuh harap.
Sejak saat itu Ahmad tidak pernah melihat Mang Marlis dengan becaknya lagi. Dan dua hari lalu, tiba-tiba saja lelaki 40 tahun-an tersebut tak henti-hentinya mengumbar terima kasih ketika tahu ia diizinkan menjadi muazin salat Jumat esok. Hari itu juga, Ahmad baru tahu becak lelaki itu ditarik juragan Marwan karena ia sudah satu minggu tidak pernah setor.
”Dooor!”
”Eeh… iya.” Ahmad tersentak mendapati tangan yang baru saja menepuk bahunya.
”Pagi-pagi udah ngelamun, Mad,” Harun tetangganya, sudah berdiri di belakang. ”Tolong umumkan ini di masjid, biar aku yang beduk.” Harun memberikan kepalan kertas lusuh. Ahmad terkesiap melihat tulisan yang tergores di sana.
”Meninggalnya jam dua subuh tadi.”
Ahmad masih melongo.
”Entah lucu juga kalau kau dengar musabab kematiannya. Kata Bi Anis, istrinya, dari pagi hingga tengah malam, ia seharian di kamar, membuka-buka buku bacaan salat. Berteriak-teriak sendiri di kamar seperti orang melagu-lagu arab tak jelas rupa bunyinya. Lewat tengah malam tenggorokannya tersekat, tak ada air pula dijerang Bi Anis. Akhirnya mati….”
Ahmad menelan air ludah. Ia melangkah menuju mikrofon yang mesti disambungkan dulu kabelnya ke equalizer murahan di balik mimbar.
”Oya aku baru ingat, Mad. Matinya karena belajar berazan….”
Sudah kuduga.
”…ada-ada saja cara Tuhan mencabut nyawa orang…,” lanjut Harun.
Tak lama berselang. Beduk dipukul dengan ritmis sumbang. Penduduk menajamkan telinga.
”Innalillahi wa innalillahi roji’un. Telah berpulang ke Rahmatullah, Marlis bin Ajip Makmun….”
”Mengapa kau bisa sampai di sini?”
”Untuk apa kau tahu?”
”Banyak yang masuk ke sini hanya karena salah tangkap, tak ada uang, salah paham, dan…”
”Apa peduliku? Penjara ya penjara, tempat orang-orang berwatak dan berperi laku bejat dikandangkan.”
”Tidak denganku, anak muda.”
”Maling mana mau mengaku maling!”
Paaak.
”Mengapa kau menamparku?”
Paaak.
”Nah kau puaskan? Sekarang kau yang balas menampar wajahku yang memang sudah remuk ini?”
Beberapa jam kemudian dua lelaki senjang usia tersebut sudah akrab. Entah api dari mana yang mengasapkan kehangatan hubungan mereka. Tiba-tiba saja, tamparan, rasa skeptis, dan caci-maki yang kerap mewarnai awal jumpa mereka di lembaga pemasyarakatan sore tadi mulai berkurang—bukan hilang sama sekali.
”Itulah leliku hidupku, Pak,” lelaki yang lebih muda menutup cerita hidupnya pada malam yang memekat. ”Sekarang giliranmu.”
”Istriku selalu meminta kiriman uang dariku.”
”Wajar, bukan?” sela yang lebih muda.
”Iya. Sebelum semuanya terungkap bahwa ia berprofesi sama dengan ibumu yang baru kau ceritakan tadi. Aku murka setelah mengetahui semuanya. Aku datangi tempatnya, kuacak-acak sarang setan yang dia buat. Ia pun membawa kasus ini ke meja hijau. Aku tak cukup beruang lagi saat itu. Ia menang. Tetapi, aku tak heran. Seorang mucikari seperti dia pasti memiliki bekingan berlapis, tak mengenal profesi, tanggung jawab, dan sumpah jabatan yang menyertainya. Wajahku saja, seperti kaulihat saat ini, lebam mengungu, sampai hampir tak berupa.”
”Jadi?”
”Jadi, ya aku dipenjara,” lelaki tua itu menerawang, ”salahku juga yang belum sempat menceraikannya. Sakit hatinya aku adalah ketika di pengadilan terungkap bahwa ternyata kirimanku selama ini sudah beberapa tahun belakangan tak pernah dia terima. Entah bagaimana itu bisa terjadi. Katanya anak bujang kami yang melarikannya karena memang atas nama ia buku tabungan tersebut ditandatangani. Kalau penegak hukum itu mau adil, seharusnya mereka berlogika, mana tahu aku perkara diterima atau tidaknya uang itu. Lagi pula wanita iblis itu tak pernah mengabariku.”
”Jadi tepatnya, apa pasal hingga Bapak mendekam di sini?”
”Sangkaan terhadapku sangat berlapis. Selain masalah tak pernah menafkahi istri dan anak, juga tindakan anarkis terhadap rumah pelacuran istriku. Tetapi…”
”Tetapi apa, Pak?”
”…aku tak rela ditangkap, maka melarikan dirilah aku ke suatu daerah yang kuyakini bisa menumpang teduh pada adikku. Walaupun aku tak dapat menemukannya dan akhirnya aku tertangkap juga,” lelaki itu menyebut nama suatu tempat.
”Aku sempat tinggal di sana.”
“Hah? Benarkah? Kau kenal adikku?”
”Siapa namanya?” tanya yang lebih muda sok peduli.
”Marlis. Ya hanya Marlis tok! Kau kenal?”
Deg!
Air muka lelaki yang lebih muda memerah. Tetapi, raut itu belum sempat ditangkap mata tua lelaki di hadapannya. Ah, aku tak mau memanjangkan cerita, cukup membosankan juga nanti berbalas omong dengan lelaki tua ini. Paling ia akan menerorku dengan tanya ini-tanya itu perihal Marlis miskin buta agama itu. Kasihan kalian, dua beradik yang tak mujur dua-duanya!
”Kau kenal?” lelaki tua mendesak.
”Huaaap…,” lelaki yang lebih muda menggeleng sambil pura-pura menguap. ”aku ngantuk, Pak. Tidur dulu, ya. Nanti kalau ada sipir yang mengantar makanan, bangunkan aku!”
”Ya sudah kalu begitu. O ya, tadi kau bercerita panjang lebar tentang dirimu, tetapi kau belum menyebutkan namamu?
”Huh! Banyak bacot pula, kau! Baiklah, biarkan aku istirahat setelah kau dengar semuanya!”
Lelaki tua mengangguk ragu. Keder juga dia melihat ekspresi kesal lelaki 27 tahun-an di hadapannya itu.
”Namaku macam-macam. Saat aku dimasukkan ke sini perihal kucuri semua uang wakaf masjid yang telah kutunggui lebih dari lima tahun, namaku Ahmad. Sebelumnya namaku Andre, semasa kecil namaku Amrul.”
”Amrul?” lelaki tua membelalak, serasa tak percaya.
”Iya. Tidak ada pertanyaan lagi, kan?” Ahmad tak memedulikan ekspresi rekan sekamarnya. Ia langsung berbalik, membaringkan tubuhnya
Senyap. Hanya angin penjara yang berseliweran mengisi ekspresi murung, sedih, pedih, dan kacau para penghuninya.
”Semasa kecil, kau sangat suka didongengi, bukan?” suara lelaki tua memecah hening. Ia telah membelakangi Ahmad, menghadap ke jeruji, memegangi bilah-bilah besinya.
Ahmad membuka kelopak matanya yang baru saja menutup.
”Umur delapan tahun kau dibawa ibumu ke kota. Aku baru tahu beberapa tahun lalu, tepat pada usiamu ke-17 kau akan digigolokannya. Untung kau melarikan diri satu tahun sebelumnya.”
Ahmad bangkit dari pembaringannya. Mukanya memerah.
”Jarun… Jarun… kau hanya manusia impian. Percuma saja kisah-kisah rekaan tentangmu kuhembuskan ke telinga putraku. Semua tak membekas. Ia tak jadi jua seperti yang diharapkan.”
”Kau… kau…?” Ahmad terbata-bata.
”Tak usah berharap. Aku sudah lupa dongeng-dongeng tua itu. Aku tak akan mendongeng lagi.” lelaki tua itu menyeringai kecil. ”Lagi pula, pemilik pusat kebugaran itu sudah menjadi papi tirimu.”
Ahmad bangun. Perlahan, mendudukkan tubuhnya yang layu di dinding penjara.
”Mungkin sudah takdirnya pula, dua beranak mati di jeruji ini,” lelaki tua itu membalikkan tubuhnya menghadap Ahmad yang meremas-remas rambut kusutnya.
Jeruji besi berbunyi seperti dipukul-pukul. Makanan anjing telah datang. Tampaknya malam itu akan menjadi lebih panjang dari biasa.
Comments