Tiga Puisi Pringadi

FYI, GOOD BYE

Selamat tinggal hati yang sudah kuberikan, aku sudah bukan sahabat baikmu yang mampu menjadi gunung Sinai. Menangislah, menangislah, saat kuganti nomor teleponku dan operator perempuan berpura-pura menjadi partner selingkuhanku. Tekanlah, tekanlah bel rumahku dan gonggong anjing akan menyambutmu. Atas namaku sendiri, aku akan menjadi malam ini, tiba-tiba meredupkan segala nyala bintang di luar jendelamu. Kesepian bukanlah barang langka, bahkan diobral di pasar loak. Tiga seribu dan segala sesuatu menjadi tidak masuk akal. Hatiku mendadak bersinar. Pikiranku meledak. Bom atom Hiroshima kembali. Pergi, pergilah, aku ingin bermeditasi di kolong tempat tidur, meratapi dipan-dipan yang melapuk. Bagaimana bisa bertahun mereka menahan berat tubuhmu, dan tulang-tulangku sendiri menahan hanya sebuah nyawaku? Yang mungkin tidak berharga? Aku tidak ingin merasakan cinta. Ketika di taman, sebuah meteor lewat, dan aku mengepalkan tangan,mengajukan permohonan. FYI, [...]

BTW, KOPI

Tidak semua penyair minum kopi. Bahkan merokok. Aku sudah puas mereguk pahitnya kehidupan apalagi membakar paru-paruku sendiri. Kecemasan barang tentu teronggok di sepanjang jalan, tak laku, dan membusuk. Segerombol mahasiswa meneriakkan reformasi, mengingkari revolusi, menginginkan resolusi. Bebaskan Irian Barat sudah jadi masa lalu. Baret-baret hitam di pipi kini bersembunyi di balik televisi. Penyair duduk di warung-warung, ngedumel, dan membicarakan cinta yang tak pernah selesai. Bagaimana cinta bisa mengenyangkan perut dan menghapus penderitaan rakyat? Penyair miskin. PNS yang kaya. Mahasiswa jadi bulan-bulanan pemerintah. Masing-masing menggelar meja dan berdiri di atasnya. Aku penyair kecil, berkredo kecil, bersajak kecil, tetapi berkemaluan besar. Upss, sensor, hatiku yang besar. BTW, [...]

Malaikat Bernama PLN

Jam delapan malam, lagi-lagi mati lampu.
Harga nyawa sebuah lampu ditentukan oleh PLN.

Comments