Fabel Sebuah Sajak

Aku berpura-pura menulis sajak malam ini. Sajak tentang kucing
terbang menangkap paruh elang yang kembali dari kematian.

Bayangkanlah, ada aku jendela yang terbuka menanti angin
dari lembah masuk kemari, ke dadaku yang kembang kempis
menahan puasa senin-kamis. Kucing tidak pernah mengerti
bagaimana gonggong anjing adalah separuh pergunjingan
ibu-ibu di jam tujuh pagi. Kucing tidak pula tahu ada ikan
tinggal tulang yang tengah belajar berenang di meja kaca.

Ruang pula setengah terbuka, setengah tertutup. Matamu
adalah katup seperti menanti aliran darah dari aorta ke
kantung mata. Televisi dua satu inchi juga seperti lantai ini
pura-puranya wajah tapi pantat gajah. Ke mana lagi tubuh
ini rubuh, selain ke runtuh bibirmu, Kekasih? Sedari dulu saja
kucing-kucing tidaklah pernah bertanya, kenapa tikus bisa
bikin ia gemas sampai ingin meremas-remas dengan cakarnya
yang lemas, dada, Oh, Dada, mungkin pangkal dari pertanyaan
ini. dadamu yang dua, seperti kacamata, skor adil dari pertandingan
sang pengadil, Oh, gabriel, malaikat kematian kah engkau?

Dada tidak pernah jujur seutuhnya. Anjing tidak pernah setia
sepenuhnya. Kucing tidak pernah manja sebenarnya. Dan
kematianlah yang tidak pernah berpura-pura. Oh, aku yang
tiba-tiba ingin menulis sajak ini, kekasih, semata-mata adalah
dadamu yang seksi. Dadamu yang jambu, dadamu yang rimbun
dari banyak penyajak, dari ghaib pewarta yang raib.

Comments