Nol: Angka---Manusia
I.
Saya sungguh tak pernah berbohong. Tak pernah menyebut satu sebagai dua. Dua sebagai tiga. Atau sebagai lainnya. Sebab saya yakin bahwa satu adalah satu, dua adalah dua. Tak boleh diganti-ganti. Saya juga tak pernah menyebutkan lima tambah lima sama dengan lima kali dua meski sama-sama sepuluh hasilnya. Sebab saya tahu keduanya tak sama: beda struktur aljabarnya. Seperti itulah saya, yang tidak pernah berbohong.
Sejujurnya saya tidak pernah mempercayai angka-angka, kecuali angka nol. Bayangkan, dua kali dua sama dengan dua tambah dua, sementara satu kali satu lebih kecil dari satu tambah satu, dan tiga kali tiga lebih besar dari tiga tambah tiga. Aneh bukan?
II.
Ini hari pertama saya bekerja. Pekerjaan yang saya benci sebenarnya. Sebab setiap hari saya harus berhadapan dengan angka-angka. Dan saya tidak menyukai angka-angka, kecuali angka nol tentunya. Kamu pasti bertanya, mengapa angka nol adalah pengecualian. Sebab angka nol itu istimewa. Ia adalah Tuhannya angka-angka. Kamu pasti tidak tahu, angka nol selalu menyertai angka-angka lainnya di dalam struktur aljabar. Yang umumnya kamu tahu cuma, berapapun angkanya, jika ditambah dengan nol maka akan tetap angka itu sendiri. Dan jika dikalikan dengan nol maka akan menjadi nol. Sebab itulah saya percaya dengan angka nol. Sebab nol sangat jujur, apa adanya. Seperti saya.
Tumpukan kertas itu berisi angka-angka. Harus saya selesaikan secepatnya. Saya tidak pernah memakai kalkulator untuk menghitungnya. Saya tidak percaya pada kalkukator. Sebab kalkulator adalah mesin. Bukan manusia. Tidak patut saya percayai. Seperti angka.
“Sudah selesai?” Tanya atasan saya yang badannya juga serupa angka nol itu. Sebab itulah mungkin saya agak hormat dengannya.
“Sedikit lagi, Pak.”
“Kamu pegawai yang baik,” saya cuma diam mendengarkan, “tapi kamu tidak akan bisa maju kalau kamu tetap seperti ini.”
Saya mengernyitkan dahi, tidak tahu apa maksudnya. Tampaknya beliau tahu kalau saya tidak mengerti yang ia bicarakan. “Kamu memang lugu, Nak.”
“Maksud Bapak?”
“Laporan yang sedang kamu kerjakan sekarang itu adalah laporan perusahaan milik sepupu saya.”
Saya masih diam.
“Sudah kamu hitung berapa pajaknya?”
“Hmm… dua ratus juta lebih, Pak.”
“Hapus saja satu angka nolnya.”
Saya mengernyitkan dahi. Tambah tidak mengerti. “Kalau dihapus satu nolnya, ‘kan jadi dua puluh juta, Pak?”
“Iya, saya tahu itu. Hapus saja. Sepuluh juta untuk kamu.”
Saya tambah bingung. Saya sangat menghargai angka nol, sangat mempercayai angka nol. Jadi, sangat tidak mungkin saya menghapus angka nol walau sebuah. Sebab saya tahu, angka nol begitu berharga.
“Saya tidak mau, Pak.” Jawab saya tegas.
“Kamu mau menentang saya?!” Bentaknya pada saya.
“Bukan begitu, Pak. Saya hanya…”
Belum sempat saya menyelesaikan kalimat saya, beliau sudah menyanggah. “Sebaiknya kamu kemasi barang-barangmu, bersiap untuk pindah dari kantor ini.”
Ternyata benar, satu minggu kemudian saya dipindahkan.
III.
Saya tidak mempercayai angka-angka, kecuali angka nol tentunya. Saya juga tidak percaya kalkulator, produk mesin praktis yang merupakan pembodohan publik. Penumpulan kinerja otak. Dan kini, saya menambah daftar ketidakpercayaan saya. Saya juga tidak percaya manusia selain saya. Manusia sama seperti angka. Suka memanipulasi dan dimanipulasi. Mungkin karena itulah, ada manusia yang membuat kalkulator. Sebab ia ingin pintar sendiri. Makanya ia bodohi manusia-manusia lainnya dengan label praktis yang menipu.
Kantor baru saya sangat sepi. Setiap hari saya ditugaskan membuat kopi dan absensi lalu merekapitulasinya. Tapi tetap saja saya bertemu angka-angka pada urutan absensi. Ibu tua yang duduk di sebelah meja kerja saya juga sama. Ia juga membuat kopi dan absensi. Saya ingin bertanya kenapa tetapi saya tidak berani memulai pembicaraan.
“Kenapa kamu menatap saya?” Ibu tua itu tiba-tiba bertanya, seolah tahu apa yang sedang saya pikirkan. “Kamu pasti heran kenapa saya melakukan pekerjaan yang sama seperti kamu.” tambahnya lagi.
Saya malah bertambah heran.
“Saya sama seperti kamu, Nak.”
“Maksud Ibu?”
“Saya juga tidak percaya angka-angka. Saya juga tidak percaya manusia, selain saya.”
Saya termenung sejenak, “Lalu kenapa Ibu mengajak saya bicara? Bukannya Ibu tidak percaya manusia selain Ibu sendiri?”
Beliau tersenyum. “Saya tidak bilang saya mempercayai kamu. Saya cuma tahu, kita bernasib sama. Sama-sama tidak mempercayai angka. Sama-sama tidak lagi mempercayai manusia. Sebab itulah kita di sini, mengerjakan hal yang sama, kopi dan absensi.”
IV.
Semakin hari, Ibu tua itu semakin sering bercerita kepada saya. Saya cuma bisa mendengarkan. Sebab saya tidak suka bercerita. Saya lebih suka diam. Diam dan diam. Sebab diam itu emas. Lagipula tidak ada gunanya lagi saya berbicara, mengaspirasikan pendapat dan keinginan saya. Sebab saya tahu, saya tidak akan didengarkan karena saya bukan apa-apa, dan bukan siapa-siapa.
“Kamu tahu dia?” Ibu tua itu menunjuk seorang laki-laki muda di ruangan sebelah. Dari tampang dan perawakannya, usianya paling jauh terpaut lima tahun dari saya.
“Dulu dia sama seperti kamu, seperti kita.”
“Tidak percaya angka-angka?”
Ibu tua itu mengangguk.
“Lalu kenapa dia berbeda? Tidak seperti kita, membuat kopi dan absensi?”
“Dua tahun yang lalu, dia berubah. Dia mulai berdamai dengan angka-angka.”
Saya perhatikan lagi laki-laki yang dimaksud. Ia masih gagah, sama seperti saya. Hanya saja kemejanya tampak lebih berkelas disbanding yang saya pakai.
“Kamu lihat, baru saja dia memanipulasi dana asuransi kita?”
“Maksudnya?”
“Sekarang dia kedatangan klien baru, dari pihak asuransi. Tahun lalu kita pakai AJB Bumiputera 1912, Tapi tahun ini, dia menggantinya. Kamu tahu kenapa?”
Saya menggeleng.
“Pihak Bumiputera tidak bisa diajak bernegosiasi. Tidak bisa diajak memanipulasi angka-angka.”
Braak!
Tiba-tiba saya menghentak meja. Marah. Pandangan pegawai lainnya beralih ke ruangan saya. Ke saya. Termasuk laki-laki itu yang memandang saya dengan ekspresi mencari tahu. Saya balas pandangannya. Sementara tangan saya sudah terkepal erat, ingin memukulnya. Sebab saya tidak suka pada pengkhianat, yang dengan begitu mudah tergoda angka-angka.
Saya langkahkan kaki saya menuju ruangannya. Ibu tua itu tampak memegangi tangan saya, berusaha mencegah. Tapi apa daya, tenaganya yang telah renta tidak sebanding dengan darah muda saya.
Tiba-tiba saya sudah mencengkram kerah bajunya.
“Kamu sudah gila ya?!” Tangannya menepis cengkraman saya. Lalu berganti dia yang mencengkram kerah baju saya.
“Saya ini atasan kamu di sini! Mengerti?!”
“Orang sepertimu, yang dengan begitu mudah tergoda angka-angka, tidak pantas ada di sini!” Saya balas membentaknya.
Plak!
Dia menampar saya. Saya balas meludahinya. Orang-orang mulai tampak melerai kami berdua. Saya masih ingin memukulnya, membalas tamparan yang baru saja dia hadiahkan dengan manis di pipi saya. Tapi tidak bisa. Orang-orang terlalu kuat untuk saya lawan
“Mulai besok kamu tidak akan bekerja lagi di sini. Karirmu sudah berakhir!” Teriak laki-laki itu di sebelah lain dari kerumunan yang melerai kami berdua.
Saya sempat menoleh ke arah ruangan saya. Ke arah ibu tua itu. Dan dia tersenyum. Menyeringai. Seolah menertawakan saya. Seolah menunjukkan kemenangan telah membodohi saya. Saya semakin sadar, ibu tua itu telah memprovokasi saya. Ibu tua itu telah menipu saya!
Dia mengangkat sebuah kertas. Samar terbaca.
“SAYA BEGITU MENCINTAI ANGKA NOL. DAN TELAH BERHASIL ME-NOL-KAN KAMU!”
(Seharusnya saya tetap tidak percaya manusia, selain diri saya sendiri. Sama halnya saya tidak percaya pada angka-angka, kecuali angka nol tentunya)
Saya sungguh tak pernah berbohong. Tak pernah menyebut satu sebagai dua. Dua sebagai tiga. Atau sebagai lainnya. Sebab saya yakin bahwa satu adalah satu, dua adalah dua. Tak boleh diganti-ganti. Saya juga tak pernah menyebutkan lima tambah lima sama dengan lima kali dua meski sama-sama sepuluh hasilnya. Sebab saya tahu keduanya tak sama: beda struktur aljabarnya. Seperti itulah saya, yang tidak pernah berbohong.
Sejujurnya saya tidak pernah mempercayai angka-angka, kecuali angka nol. Bayangkan, dua kali dua sama dengan dua tambah dua, sementara satu kali satu lebih kecil dari satu tambah satu, dan tiga kali tiga lebih besar dari tiga tambah tiga. Aneh bukan?
II.
Ini hari pertama saya bekerja. Pekerjaan yang saya benci sebenarnya. Sebab setiap hari saya harus berhadapan dengan angka-angka. Dan saya tidak menyukai angka-angka, kecuali angka nol tentunya. Kamu pasti bertanya, mengapa angka nol adalah pengecualian. Sebab angka nol itu istimewa. Ia adalah Tuhannya angka-angka. Kamu pasti tidak tahu, angka nol selalu menyertai angka-angka lainnya di dalam struktur aljabar. Yang umumnya kamu tahu cuma, berapapun angkanya, jika ditambah dengan nol maka akan tetap angka itu sendiri. Dan jika dikalikan dengan nol maka akan menjadi nol. Sebab itulah saya percaya dengan angka nol. Sebab nol sangat jujur, apa adanya. Seperti saya.
Tumpukan kertas itu berisi angka-angka. Harus saya selesaikan secepatnya. Saya tidak pernah memakai kalkulator untuk menghitungnya. Saya tidak percaya pada kalkukator. Sebab kalkulator adalah mesin. Bukan manusia. Tidak patut saya percayai. Seperti angka.
“Sudah selesai?” Tanya atasan saya yang badannya juga serupa angka nol itu. Sebab itulah mungkin saya agak hormat dengannya.
“Sedikit lagi, Pak.”
“Kamu pegawai yang baik,” saya cuma diam mendengarkan, “tapi kamu tidak akan bisa maju kalau kamu tetap seperti ini.”
Saya mengernyitkan dahi, tidak tahu apa maksudnya. Tampaknya beliau tahu kalau saya tidak mengerti yang ia bicarakan. “Kamu memang lugu, Nak.”
“Maksud Bapak?”
“Laporan yang sedang kamu kerjakan sekarang itu adalah laporan perusahaan milik sepupu saya.”
Saya masih diam.
“Sudah kamu hitung berapa pajaknya?”
“Hmm… dua ratus juta lebih, Pak.”
“Hapus saja satu angka nolnya.”
Saya mengernyitkan dahi. Tambah tidak mengerti. “Kalau dihapus satu nolnya, ‘kan jadi dua puluh juta, Pak?”
“Iya, saya tahu itu. Hapus saja. Sepuluh juta untuk kamu.”
Saya tambah bingung. Saya sangat menghargai angka nol, sangat mempercayai angka nol. Jadi, sangat tidak mungkin saya menghapus angka nol walau sebuah. Sebab saya tahu, angka nol begitu berharga.
“Saya tidak mau, Pak.” Jawab saya tegas.
“Kamu mau menentang saya?!” Bentaknya pada saya.
“Bukan begitu, Pak. Saya hanya…”
Belum sempat saya menyelesaikan kalimat saya, beliau sudah menyanggah. “Sebaiknya kamu kemasi barang-barangmu, bersiap untuk pindah dari kantor ini.”
Ternyata benar, satu minggu kemudian saya dipindahkan.
III.
Saya tidak mempercayai angka-angka, kecuali angka nol tentunya. Saya juga tidak percaya kalkulator, produk mesin praktis yang merupakan pembodohan publik. Penumpulan kinerja otak. Dan kini, saya menambah daftar ketidakpercayaan saya. Saya juga tidak percaya manusia selain saya. Manusia sama seperti angka. Suka memanipulasi dan dimanipulasi. Mungkin karena itulah, ada manusia yang membuat kalkulator. Sebab ia ingin pintar sendiri. Makanya ia bodohi manusia-manusia lainnya dengan label praktis yang menipu.
Kantor baru saya sangat sepi. Setiap hari saya ditugaskan membuat kopi dan absensi lalu merekapitulasinya. Tapi tetap saja saya bertemu angka-angka pada urutan absensi. Ibu tua yang duduk di sebelah meja kerja saya juga sama. Ia juga membuat kopi dan absensi. Saya ingin bertanya kenapa tetapi saya tidak berani memulai pembicaraan.
“Kenapa kamu menatap saya?” Ibu tua itu tiba-tiba bertanya, seolah tahu apa yang sedang saya pikirkan. “Kamu pasti heran kenapa saya melakukan pekerjaan yang sama seperti kamu.” tambahnya lagi.
Saya malah bertambah heran.
“Saya sama seperti kamu, Nak.”
“Maksud Ibu?”
“Saya juga tidak percaya angka-angka. Saya juga tidak percaya manusia, selain saya.”
Saya termenung sejenak, “Lalu kenapa Ibu mengajak saya bicara? Bukannya Ibu tidak percaya manusia selain Ibu sendiri?”
Beliau tersenyum. “Saya tidak bilang saya mempercayai kamu. Saya cuma tahu, kita bernasib sama. Sama-sama tidak mempercayai angka. Sama-sama tidak lagi mempercayai manusia. Sebab itulah kita di sini, mengerjakan hal yang sama, kopi dan absensi.”
IV.
Semakin hari, Ibu tua itu semakin sering bercerita kepada saya. Saya cuma bisa mendengarkan. Sebab saya tidak suka bercerita. Saya lebih suka diam. Diam dan diam. Sebab diam itu emas. Lagipula tidak ada gunanya lagi saya berbicara, mengaspirasikan pendapat dan keinginan saya. Sebab saya tahu, saya tidak akan didengarkan karena saya bukan apa-apa, dan bukan siapa-siapa.
“Kamu tahu dia?” Ibu tua itu menunjuk seorang laki-laki muda di ruangan sebelah. Dari tampang dan perawakannya, usianya paling jauh terpaut lima tahun dari saya.
“Dulu dia sama seperti kamu, seperti kita.”
“Tidak percaya angka-angka?”
Ibu tua itu mengangguk.
“Lalu kenapa dia berbeda? Tidak seperti kita, membuat kopi dan absensi?”
“Dua tahun yang lalu, dia berubah. Dia mulai berdamai dengan angka-angka.”
Saya perhatikan lagi laki-laki yang dimaksud. Ia masih gagah, sama seperti saya. Hanya saja kemejanya tampak lebih berkelas disbanding yang saya pakai.
“Kamu lihat, baru saja dia memanipulasi dana asuransi kita?”
“Maksudnya?”
“Sekarang dia kedatangan klien baru, dari pihak asuransi. Tahun lalu kita pakai AJB Bumiputera 1912, Tapi tahun ini, dia menggantinya. Kamu tahu kenapa?”
Saya menggeleng.
“Pihak Bumiputera tidak bisa diajak bernegosiasi. Tidak bisa diajak memanipulasi angka-angka.”
Braak!
Tiba-tiba saya menghentak meja. Marah. Pandangan pegawai lainnya beralih ke ruangan saya. Ke saya. Termasuk laki-laki itu yang memandang saya dengan ekspresi mencari tahu. Saya balas pandangannya. Sementara tangan saya sudah terkepal erat, ingin memukulnya. Sebab saya tidak suka pada pengkhianat, yang dengan begitu mudah tergoda angka-angka.
Saya langkahkan kaki saya menuju ruangannya. Ibu tua itu tampak memegangi tangan saya, berusaha mencegah. Tapi apa daya, tenaganya yang telah renta tidak sebanding dengan darah muda saya.
Tiba-tiba saya sudah mencengkram kerah bajunya.
“Kamu sudah gila ya?!” Tangannya menepis cengkraman saya. Lalu berganti dia yang mencengkram kerah baju saya.
“Saya ini atasan kamu di sini! Mengerti?!”
“Orang sepertimu, yang dengan begitu mudah tergoda angka-angka, tidak pantas ada di sini!” Saya balas membentaknya.
Plak!
Dia menampar saya. Saya balas meludahinya. Orang-orang mulai tampak melerai kami berdua. Saya masih ingin memukulnya, membalas tamparan yang baru saja dia hadiahkan dengan manis di pipi saya. Tapi tidak bisa. Orang-orang terlalu kuat untuk saya lawan
“Mulai besok kamu tidak akan bekerja lagi di sini. Karirmu sudah berakhir!” Teriak laki-laki itu di sebelah lain dari kerumunan yang melerai kami berdua.
Saya sempat menoleh ke arah ruangan saya. Ke arah ibu tua itu. Dan dia tersenyum. Menyeringai. Seolah menertawakan saya. Seolah menunjukkan kemenangan telah membodohi saya. Saya semakin sadar, ibu tua itu telah memprovokasi saya. Ibu tua itu telah menipu saya!
Dia mengangkat sebuah kertas. Samar terbaca.
“SAYA BEGITU MENCINTAI ANGKA NOL. DAN TELAH BERHASIL ME-NOL-KAN KAMU!”
(Seharusnya saya tetap tidak percaya manusia, selain diri saya sendiri. Sama halnya saya tidak percaya pada angka-angka, kecuali angka nol tentunya)
Comments