Melankolia, Seusai Neruda
I.
Cicak-cicak di dinding
Diam-diam merayap
Saya masih saja menatap ke dinding, ke jam dinding. Menatap jarumnya yang terus bergerak menghitung detiknya sendiri – detik yang entah kapan akan berhenti di kematiannya. Tapi, saya sama sekali tidak sedang memikirkan kematian. Saya malah sedang berpikir bagaimana caranya hidup, caranya bertahan hidup.
Cuma sisa cahaya bulan yang menerangi kamar ini. Ukuran kamar ini cukup kecil, sekitar 2,5 x 3 m. Tidak ada ranjang. Tidak ada lemari. Tidak ada meja. Ada selembar kasur kapuk dan beberapa helai baju yang tergantung di balik pintu. Dan abu rokok yang setia tergeletak di asbaknya.
Kalau kamu melihatnya, dengan matamu sendiri, kamu pasti heran bagaimana saya bisa bertahan hidup di ‘kamar’ ini. Tapi saya bahkan pernah bertahan hidup di dalam hutan selama beberapa hari. Saya tidak bohong. Waktu saya masih sekolah dulu, saya hobi naik gunung. Di suatu liburan, saya memutuskan naik gunung Dempo dengan kelima orang teman. Dan beruntungnya, kami sempat tersesat. Selama beberapa hari saja, kami makan dan minum seadanya. Dari daun, dan dari tanam-tanaman yang kami sangka saja bisa kami makan. Akhirnya setelah dua hari, kami berhasil ditemukan oleh warga setempat. Kenangan yang begitu memikat bukan?
Makanya, di kamar ini saya masih merasa hidup. Saya masih bisa membaringkan tubuh di kasur yang sudah kehilangan kata ‘empuk’. Dan menikmati sisa cahaya bulan yang menerangi kamar. Menyaksikan bagaimana cicak-cicak di dinding diam-diam merayap. Mengendap. Menanti seekor nyamuk bersedia untuk dilahap. Ah, bicara cicak saya jadi ingat kisah bahwa cicak tak bisa bertepuk tangan. Tapi saya tidak yakin. Cicak bukannya tidak bisa bertepuk tangan. Cicak hanya tidak mau bertepuk tangan. Karena itulah saya berjanji dalam hati saya sendiri, suatu saat saya akan membuat cicak bertepuk tangan. Bertepuk tangan atas kesuksesan yang saya raih.
II.
“Kamu mau jadi apa, Di?”
Saya masih ingat pertanyaan itu. Pertanyaan yang sudah berulang kali ditanyakan kepada saya, semenjak saya masih kecil. Saya pernah mengatakan saya mau jadi presiden, saya mau jadi tentara, saya mau jadi pilot, saya mau jadi dokter, dan lain-lain. Tapi sayangnya perkataan saya itu hanya menjadi sebatas kemauan. Kemauan yang nasibnya behenti di sebatas ucapan. Faktanya, sampai kini, saya belum menjadi apa-apa. Saya bukan siapa-siapa.
Dan sekarang saya tidak tahu dimana dia, bagaimana nasibnya. Terakhir kali kami bertemu setelah dua tahun lulus SMA, dalam sebuah reuni sekolah. Dia juga belum menjadi apa-apa saat itu. Sama seperti saya.
“Aku mau ke Jakarta,” kata dia. “Aku tidak mau hidup seperti ini, luntang-lantung tidak karuan, membebani orangtua,” lanjut dia lagi.
Saya masih diam, mencoba mencerna ucapannya. Belum sempat saya mencerna, dia sudah bertanya kepada saya, “kamu mau ikut?”
Saya belum pernah ke Jakarta, ibukotanya Negara Indonesia. Kabarnya ibukota lebih kejam dari ibu tiri. Dan saya jadi ingat dengan ibu tiri saya yang memang suka menyiksa saya sejak kecil. Tapi kini beliau tidak lagi berani menyiksa saya. Sebab saya sudah berani melawannya. Sebab saya sudah lebih perkasa, bisa saja balik menyiksanya. Tapi itu tidak saya lakukan. Saya sangat menyayangi ayah yang mencintai ibu tiri saya itu. Ayah saya sudah tua. Saya tidak tega menyakiti hati ayah yang kadang terlihat begitu tegar dengan bengkel mininya. Saya kadang mangkal di situ, melayani beberapa pelanggan yang hendak mengisi angin atau menampal ban. Dan setiap saya menampal ban saya jadi ingat, dari sinilah saya ‘diberi’ hidup. Makanya kemudian saya menggeleng saat dia mengajak saya ke Jakarta. Saya tidak tega meninggalkan ayah saya sendirian. Saya tidak tega.
III.
Tapi saya sekarang berada di Jakarta. Sudah hampir satu tahun saya di Jakarta. Saya bukannya tega meninggalkan ayah saya. Tapi ayah sayalah yang telah meninggalkan saya lebih dulu, sekitar satu tahun setelah ajakan itu. Saya masih ingat pucat wajahnya. Pucat wajah yang terakhir kali saya lihat dari balik kafan putih sebelum ia dikuburkan.
Nama di nisan dan kenanga di pekuburan menjadi pemandangan terakhir yang saya lihat sebelum saya memutuskan pergi merantau. Merantau. Ke kota asing yang penuh orang-orang asing. Ke kota asing yang kabarnya cuma saya tahu dari televisi, tentang kepadatan dan kemacetan yang menjadi ciri khasnya.
IV.
Saya tidak mengerti apa-apa tentang asuransi. Sama sekali. Tapi tahu-tahu saya menjadi pegawai sebuah perusahaan asuransi. Saya pikir, awalnya, ini adalah pekerjaan yang besar. Suatu saat saya akan jadi orang besar, begitu kata atasan saya yang melambungkan hati saya ke langit ketujuh (meski saya tidak tahu bagaimana langit ketujuh itu).
Tapi memang kenyataan tidak selalu semanis yang diharapkan. Akhirnya saya sadar, saya cuma sales di sebuah perusahaan asuransi kecil tak bernama. Saya diwajibkan keliling-keliling ibukota, naik bus, metromini, sampai bajaj yang rodanya cuma tiga, hanya untuk menawarkan program-program yang ada di perusahaan asuransi ini.
Kebanyakan dari mereka (atau hampir seluruhnya sebenarnya) mengernyitkan dahi ketika membaca nama perusahaan ini.
“Apa?! Asuransi Jiwa Antah Berantah? Saya belum pernah dengar itu. Jangan-jangan kamu penipu ya?”
Tidak terhitung berapa kali ucapan itu masuk tanpa permisi ke telinga saya.
Atau:
“O, maaf. Saya sudah terdaftar di AJB Bumiputera 1912.”
Rata-rata dari mereka mengaku telah menjadi partnernya. Saya jadi penasaran dengan perusahaan asuransi yang satu ini. Saya benar-benar mau tahu seperti apa AJB Bumuputera 1912. Jadi saya datangi kantornya. Saya lihat laki-laki dan wanita keluar – masuk. Dan saya tak jadi masuk.
V.
Pablo Neruda, siapa dia? Tiba-tiba saya tertarik membaca sebuah buku yang tetinggal di sebuah kursi metromini yang baru saya duduki. Saya buka, dan saya tidak mengerti artinya. Tapi kemudian mata saya tertarik, sangat tertarik, pada sebuah judul “Lost in the Forest”. Mungkin karena saya tahu atau tak asing pada kata ‘forest’. Sebab waktu kecil, meski ibu tiri saya sangat kejam, beliau suka membuat black forest setiap ulangtahunnya. Dan saya diberi sepotong. Setiap saya minta nambah, selalu saja beliau beralasan saya tak boleh makan ini banyak-banyak. Nanti sakit perut lah, nanti gigi saya berlubang lah. Dan saya hanya bisa cemberut. Mengurut kening yang saat itu belum berkerut.
Tapi tiba-tiba saja ada seorang laki-laki menaiki metromini ini. Merebut perhatian saya dari buku tadi. Saya sangat mengenali sosoknya meski sudah berbeda penampilannya. Itu dia. Tak salah lagi, itu dia – sahabat saya yang pernah mengajak saya ke Jakarta. Dia begitu rapi dan mengenakan dasi. Pakaiannya tampak mahal, setidaknya lebih mahal dari saya.
“Hei…” saya berusaha memanggilnya.
Dia menatap saya beberapa detik sebelum mengenali saya.
“Adi?”
Saya pun menganggukkan kepala.
…
Setelah dia duduk di samping saya, kami saling becerita.
“Kapan kamu ke sini?”
“Sudah hampir setahun, sejak…” saya diam sejenak, “sejak ayah meninggal.”
“O, maaf, aku benar-benar menyesal mendengar itu. Kamu kerja di sini?”
Saya mengangguk. “Iya, saya kerja di Asuransi Jiwa Antah Berantah.”
“Asuransi?”
“Pasti kamu tidak mengenal perusahaan ini kan? Saya jadi sales marketing di sini.”
“Nggak, bukan begitu. Kebetulan banget. Aku sedang mencari asuransi.”
“Memangnya kamu kerja dimana?”
“Aku sudah jadi manajer sekarang. Begini, Di… asuransi ini untuk bangunan pertokoan kami. Kami sedang mencari perusahaan asuransi yang tepat. Dan kebetulan aku ketemu kamu. Aku bisa rekomendasikan perusahaanmu tadi itu, apa namanya?”
“Asuransi Jiwa Antah Berantah..”
“Nah, itu dia, untuk jadi partner kerja kami.’
“Beneran? Kamu serius?”
“Ya iyalah, Di. Tapi ini ga main-main, kontaknya ratusan juta. Kamu bisa?”
“Tentu, tentu. Kenapa tidak?”
Kami tertawa bersama. Saya benar-benar bersyukur bisa bertemu dia. Apalagi dengan kontak baru yang besar ini, saya senang sekali.
VI.
Tapi kemudian setiap saya telepon dia, tidak pernah diangkatnya. Saya pikir mungkin dia sedang sibuk. Maklum, dia manajer. Sedangkan saya cuma sales marketing.
Tapi kemudian malah handphone saya yang berdering, dari atasan saya.
“Di, cepat kamu ke kantor. Sekarang!” Nadanya tiba-tiba menghardik.
VII.
Di kamar ini saya masih menatap dinding, dan jam dinding. Baru saja saya berhasil menerjemahkan Pablo Neruda yang saya temukan dulu, dengan berantakan.
Lost in the Forest
Tersesat di Hutan
Lost in the forest, I broke off the dark twig
And lifted its whisper to my thirsty lips:
Maybe it was the voice of rain crying,
A cracked bell, a torn heart
Tersesat di hutan, aku mematahkan ranting
Dan menaikkan bisikannya ke bibir yang haus
Mungkin ini adalah suara tangisan hujan,
Rintihan hantu, desahan hati
Something from far off it seemed
Deep and secret to me, hidden by the earth
A shout muffled by huge autumns
By the moist of half-open darkness of the leaves
Sesuatu dari kejauhan terlihat
Dalam dan tersembunyi untukku, tertutup oleh bumi
Jeritan teredam oleh musim semi yang besar
Oleh lembabnya kegelapan daun-daun
Wakening from the dreaming forest there, the hazel-sprig
Sang under my tongue, its drifting fragrance
Climbed up through my conscious mind
Terbangun dari mimpi hutan di sana,
Menyanyi di bawah lidahku, aroma berkelana
Memanjat ke atas alam sadarku
As if suddenly the roots I left behind
Cried out to me, the land I had lost with my childhood---
And I stopped, wounded by the wandering scent
Seperti tiba-tiba akar-akar yang kutinggalkan
Menangis kepadaku, tanah tempat aku pernah tersesat dengan masa kanak-kanakku
Dan aku berhenti, terluka oleh aroma tak bertuan
VIII.
Datang seekor nyamuk
Lalu ditangkap
Saya bukan seekor cicak. Tapi saya juga bukan seekor nyamuk. Tapi kenapa saya seperti seekor nyamuk yang baru saja ditangkap dan dilahap oleh cicak?
Tersesat di hutan, Neruda itu. Sedangkan saya tersesat di kehidupan. Tapi saya tidak cemas. Saya sudah pernah bilang sama kamu, saya sudah pernah tersesat di hutan dan bertahan hidup selama dua hari. Tapi ini sudah hari keenam sejak saya melihat sisa api yang membakar perkantoran yang baru saja terasuransikan.
Saya pun kembali menatap dinding, jam dinding, dan cicak-cicak di dinding yang seolah tampak tersenyum sinis kepada saya.
Dan mereka bertepuk tangan.
Bertepuk tangan.
Lalu jatuh.
Saya pun tersenyum dan segera menyalakan api dari korek yang tersisa hanya beberapa biji.
Hei cicak, mari saya ajari bagaimana caranya menjadi Ibrahim!
Cicak-cicak di dinding
Diam-diam merayap
Saya masih saja menatap ke dinding, ke jam dinding. Menatap jarumnya yang terus bergerak menghitung detiknya sendiri – detik yang entah kapan akan berhenti di kematiannya. Tapi, saya sama sekali tidak sedang memikirkan kematian. Saya malah sedang berpikir bagaimana caranya hidup, caranya bertahan hidup.
Cuma sisa cahaya bulan yang menerangi kamar ini. Ukuran kamar ini cukup kecil, sekitar 2,5 x 3 m. Tidak ada ranjang. Tidak ada lemari. Tidak ada meja. Ada selembar kasur kapuk dan beberapa helai baju yang tergantung di balik pintu. Dan abu rokok yang setia tergeletak di asbaknya.
Kalau kamu melihatnya, dengan matamu sendiri, kamu pasti heran bagaimana saya bisa bertahan hidup di ‘kamar’ ini. Tapi saya bahkan pernah bertahan hidup di dalam hutan selama beberapa hari. Saya tidak bohong. Waktu saya masih sekolah dulu, saya hobi naik gunung. Di suatu liburan, saya memutuskan naik gunung Dempo dengan kelima orang teman. Dan beruntungnya, kami sempat tersesat. Selama beberapa hari saja, kami makan dan minum seadanya. Dari daun, dan dari tanam-tanaman yang kami sangka saja bisa kami makan. Akhirnya setelah dua hari, kami berhasil ditemukan oleh warga setempat. Kenangan yang begitu memikat bukan?
Makanya, di kamar ini saya masih merasa hidup. Saya masih bisa membaringkan tubuh di kasur yang sudah kehilangan kata ‘empuk’. Dan menikmati sisa cahaya bulan yang menerangi kamar. Menyaksikan bagaimana cicak-cicak di dinding diam-diam merayap. Mengendap. Menanti seekor nyamuk bersedia untuk dilahap. Ah, bicara cicak saya jadi ingat kisah bahwa cicak tak bisa bertepuk tangan. Tapi saya tidak yakin. Cicak bukannya tidak bisa bertepuk tangan. Cicak hanya tidak mau bertepuk tangan. Karena itulah saya berjanji dalam hati saya sendiri, suatu saat saya akan membuat cicak bertepuk tangan. Bertepuk tangan atas kesuksesan yang saya raih.
II.
“Kamu mau jadi apa, Di?”
Saya masih ingat pertanyaan itu. Pertanyaan yang sudah berulang kali ditanyakan kepada saya, semenjak saya masih kecil. Saya pernah mengatakan saya mau jadi presiden, saya mau jadi tentara, saya mau jadi pilot, saya mau jadi dokter, dan lain-lain. Tapi sayangnya perkataan saya itu hanya menjadi sebatas kemauan. Kemauan yang nasibnya behenti di sebatas ucapan. Faktanya, sampai kini, saya belum menjadi apa-apa. Saya bukan siapa-siapa.
Dan sekarang saya tidak tahu dimana dia, bagaimana nasibnya. Terakhir kali kami bertemu setelah dua tahun lulus SMA, dalam sebuah reuni sekolah. Dia juga belum menjadi apa-apa saat itu. Sama seperti saya.
“Aku mau ke Jakarta,” kata dia. “Aku tidak mau hidup seperti ini, luntang-lantung tidak karuan, membebani orangtua,” lanjut dia lagi.
Saya masih diam, mencoba mencerna ucapannya. Belum sempat saya mencerna, dia sudah bertanya kepada saya, “kamu mau ikut?”
Saya belum pernah ke Jakarta, ibukotanya Negara Indonesia. Kabarnya ibukota lebih kejam dari ibu tiri. Dan saya jadi ingat dengan ibu tiri saya yang memang suka menyiksa saya sejak kecil. Tapi kini beliau tidak lagi berani menyiksa saya. Sebab saya sudah berani melawannya. Sebab saya sudah lebih perkasa, bisa saja balik menyiksanya. Tapi itu tidak saya lakukan. Saya sangat menyayangi ayah yang mencintai ibu tiri saya itu. Ayah saya sudah tua. Saya tidak tega menyakiti hati ayah yang kadang terlihat begitu tegar dengan bengkel mininya. Saya kadang mangkal di situ, melayani beberapa pelanggan yang hendak mengisi angin atau menampal ban. Dan setiap saya menampal ban saya jadi ingat, dari sinilah saya ‘diberi’ hidup. Makanya kemudian saya menggeleng saat dia mengajak saya ke Jakarta. Saya tidak tega meninggalkan ayah saya sendirian. Saya tidak tega.
III.
Tapi saya sekarang berada di Jakarta. Sudah hampir satu tahun saya di Jakarta. Saya bukannya tega meninggalkan ayah saya. Tapi ayah sayalah yang telah meninggalkan saya lebih dulu, sekitar satu tahun setelah ajakan itu. Saya masih ingat pucat wajahnya. Pucat wajah yang terakhir kali saya lihat dari balik kafan putih sebelum ia dikuburkan.
Nama di nisan dan kenanga di pekuburan menjadi pemandangan terakhir yang saya lihat sebelum saya memutuskan pergi merantau. Merantau. Ke kota asing yang penuh orang-orang asing. Ke kota asing yang kabarnya cuma saya tahu dari televisi, tentang kepadatan dan kemacetan yang menjadi ciri khasnya.
IV.
Saya tidak mengerti apa-apa tentang asuransi. Sama sekali. Tapi tahu-tahu saya menjadi pegawai sebuah perusahaan asuransi. Saya pikir, awalnya, ini adalah pekerjaan yang besar. Suatu saat saya akan jadi orang besar, begitu kata atasan saya yang melambungkan hati saya ke langit ketujuh (meski saya tidak tahu bagaimana langit ketujuh itu).
Tapi memang kenyataan tidak selalu semanis yang diharapkan. Akhirnya saya sadar, saya cuma sales di sebuah perusahaan asuransi kecil tak bernama. Saya diwajibkan keliling-keliling ibukota, naik bus, metromini, sampai bajaj yang rodanya cuma tiga, hanya untuk menawarkan program-program yang ada di perusahaan asuransi ini.
Kebanyakan dari mereka (atau hampir seluruhnya sebenarnya) mengernyitkan dahi ketika membaca nama perusahaan ini.
“Apa?! Asuransi Jiwa Antah Berantah? Saya belum pernah dengar itu. Jangan-jangan kamu penipu ya?”
Tidak terhitung berapa kali ucapan itu masuk tanpa permisi ke telinga saya.
Atau:
“O, maaf. Saya sudah terdaftar di AJB Bumiputera 1912.”
Rata-rata dari mereka mengaku telah menjadi partnernya. Saya jadi penasaran dengan perusahaan asuransi yang satu ini. Saya benar-benar mau tahu seperti apa AJB Bumuputera 1912. Jadi saya datangi kantornya. Saya lihat laki-laki dan wanita keluar – masuk. Dan saya tak jadi masuk.
V.
Pablo Neruda, siapa dia? Tiba-tiba saya tertarik membaca sebuah buku yang tetinggal di sebuah kursi metromini yang baru saya duduki. Saya buka, dan saya tidak mengerti artinya. Tapi kemudian mata saya tertarik, sangat tertarik, pada sebuah judul “Lost in the Forest”. Mungkin karena saya tahu atau tak asing pada kata ‘forest’. Sebab waktu kecil, meski ibu tiri saya sangat kejam, beliau suka membuat black forest setiap ulangtahunnya. Dan saya diberi sepotong. Setiap saya minta nambah, selalu saja beliau beralasan saya tak boleh makan ini banyak-banyak. Nanti sakit perut lah, nanti gigi saya berlubang lah. Dan saya hanya bisa cemberut. Mengurut kening yang saat itu belum berkerut.
Tapi tiba-tiba saja ada seorang laki-laki menaiki metromini ini. Merebut perhatian saya dari buku tadi. Saya sangat mengenali sosoknya meski sudah berbeda penampilannya. Itu dia. Tak salah lagi, itu dia – sahabat saya yang pernah mengajak saya ke Jakarta. Dia begitu rapi dan mengenakan dasi. Pakaiannya tampak mahal, setidaknya lebih mahal dari saya.
“Hei…” saya berusaha memanggilnya.
Dia menatap saya beberapa detik sebelum mengenali saya.
“Adi?”
Saya pun menganggukkan kepala.
…
Setelah dia duduk di samping saya, kami saling becerita.
“Kapan kamu ke sini?”
“Sudah hampir setahun, sejak…” saya diam sejenak, “sejak ayah meninggal.”
“O, maaf, aku benar-benar menyesal mendengar itu. Kamu kerja di sini?”
Saya mengangguk. “Iya, saya kerja di Asuransi Jiwa Antah Berantah.”
“Asuransi?”
“Pasti kamu tidak mengenal perusahaan ini kan? Saya jadi sales marketing di sini.”
“Nggak, bukan begitu. Kebetulan banget. Aku sedang mencari asuransi.”
“Memangnya kamu kerja dimana?”
“Aku sudah jadi manajer sekarang. Begini, Di… asuransi ini untuk bangunan pertokoan kami. Kami sedang mencari perusahaan asuransi yang tepat. Dan kebetulan aku ketemu kamu. Aku bisa rekomendasikan perusahaanmu tadi itu, apa namanya?”
“Asuransi Jiwa Antah Berantah..”
“Nah, itu dia, untuk jadi partner kerja kami.’
“Beneran? Kamu serius?”
“Ya iyalah, Di. Tapi ini ga main-main, kontaknya ratusan juta. Kamu bisa?”
“Tentu, tentu. Kenapa tidak?”
Kami tertawa bersama. Saya benar-benar bersyukur bisa bertemu dia. Apalagi dengan kontak baru yang besar ini, saya senang sekali.
VI.
Tapi kemudian setiap saya telepon dia, tidak pernah diangkatnya. Saya pikir mungkin dia sedang sibuk. Maklum, dia manajer. Sedangkan saya cuma sales marketing.
Tapi kemudian malah handphone saya yang berdering, dari atasan saya.
“Di, cepat kamu ke kantor. Sekarang!” Nadanya tiba-tiba menghardik.
VII.
Di kamar ini saya masih menatap dinding, dan jam dinding. Baru saja saya berhasil menerjemahkan Pablo Neruda yang saya temukan dulu, dengan berantakan.
Lost in the Forest
Tersesat di Hutan
Lost in the forest, I broke off the dark twig
And lifted its whisper to my thirsty lips:
Maybe it was the voice of rain crying,
A cracked bell, a torn heart
Tersesat di hutan, aku mematahkan ranting
Dan menaikkan bisikannya ke bibir yang haus
Mungkin ini adalah suara tangisan hujan,
Rintihan hantu, desahan hati
Something from far off it seemed
Deep and secret to me, hidden by the earth
A shout muffled by huge autumns
By the moist of half-open darkness of the leaves
Sesuatu dari kejauhan terlihat
Dalam dan tersembunyi untukku, tertutup oleh bumi
Jeritan teredam oleh musim semi yang besar
Oleh lembabnya kegelapan daun-daun
Wakening from the dreaming forest there, the hazel-sprig
Sang under my tongue, its drifting fragrance
Climbed up through my conscious mind
Terbangun dari mimpi hutan di sana,
Menyanyi di bawah lidahku, aroma berkelana
Memanjat ke atas alam sadarku
As if suddenly the roots I left behind
Cried out to me, the land I had lost with my childhood---
And I stopped, wounded by the wandering scent
Seperti tiba-tiba akar-akar yang kutinggalkan
Menangis kepadaku, tanah tempat aku pernah tersesat dengan masa kanak-kanakku
Dan aku berhenti, terluka oleh aroma tak bertuan
VIII.
Datang seekor nyamuk
Lalu ditangkap
Saya bukan seekor cicak. Tapi saya juga bukan seekor nyamuk. Tapi kenapa saya seperti seekor nyamuk yang baru saja ditangkap dan dilahap oleh cicak?
Tersesat di hutan, Neruda itu. Sedangkan saya tersesat di kehidupan. Tapi saya tidak cemas. Saya sudah pernah bilang sama kamu, saya sudah pernah tersesat di hutan dan bertahan hidup selama dua hari. Tapi ini sudah hari keenam sejak saya melihat sisa api yang membakar perkantoran yang baru saja terasuransikan.
Saya pun kembali menatap dinding, jam dinding, dan cicak-cicak di dinding yang seolah tampak tersenyum sinis kepada saya.
Dan mereka bertepuk tangan.
Bertepuk tangan.
Lalu jatuh.
Saya pun tersenyum dan segera menyalakan api dari korek yang tersisa hanya beberapa biji.
Hei cicak, mari saya ajari bagaimana caranya menjadi Ibrahim!
Comments