Enigma
Engkau selalu seolah paham: aku adalah makhluk paling kelam. Kulitku yang hitam legam setidaknya telah menjadi salah satu parametermu dalam menilaiku. Matamu bahkan akan selalu terpicing saat aku dengan pakaianku yang sudah compang-camping ini melewati rumahmu. Padahal aku tak pernah menganggumu. Tak pernah mengusikmu. Tapi selalu saja engkau mengusirku pergi, melemparku dengan kerikil-kerikil dari halaman rumahmu. Sebab katamu, aku adalah makhluk paling kelam. Hanya akan merusak pandangan matamu.
Tapi, tetap saja aku melewati rumahmu setiap hari. Sebab rumahmu adalah salah satu jalan hidupku. Sebab di depan rumahmu ini, aku menemukan banyak hal yang berguna untuk mengisi perutku dan adik-adikku. Sesuatu yang engkau sebut sampah tak berguna, telah menjadi sumber kehidupanku.
Seperti hari ini, aku kembali melewati rumahmu. Kuperhatikan dulu sejenak, barangkali engkau sedang duduk di teras menungguku. Menunggu untuk melempariku lagi dengan kerikil-kerikil itu. Tapi tampaknya engkau sedang tidak ada. Maka aku dengan santai memunguti setiap sampah yang masih kuanggap berguna. Tapi belum beberapa lama, aku sudah mendengar teriakanmu yang sudah tidak asing lagi di telinga. Engkau baru saja pulang sekolah. Seragam putih abu-abu itu buktinya. Sementara aku tidak lagi melanjutkan sekolah. Terhenti di sekolah dasar tahun kedua.
“Itu Si Kelam,” katamu sambil menunjukku. Di belakangmu, tidak kurang dari tiga orang memakai pakaian serupa seragammu.
“Loe barusan ngambil apa di sini?” Bentakmu padaku. Dan aku diam saja. Bukan tak ingin. Tapi tak bisa.
“Loe maling ya?”
Aku menggeleng.
“Udah, ngaku aja!”
Aku masih terus menggeleng, dengan suara sengau tanpa satu pun kata yang terucap dari bibirku. Sementara engkau dan teman-teman sejenismu mulai menarik paksa karung yang masih kupegang erat dengan tangan kiriku. Menggeledah isinya satu per satu.
Aku berontak. Lantas engkau meninjuku tepat di ulu hati. Membuatku meringkuk, sulit bernafas. Engkau bukannya puas malah menginjak tubuhku sambil meludahiku. Aku marah. Aku gerah. Dengan segenap tenaga yang kupunya, aku balik menyerangmu. Mengarahkan benda yang ada di tangan kananku ke arah tubuhmu. Besi (ternyata besi) untukku memulung itu berujung runcing. Menembus perutmu. Darah. Warnanya merah.
Engkau teriak kesakitan memegangi lukamu. Teman-teman sejenismu mulai mengerubunimu, salah satunya berteriak ke dalam rumah, meminta pertolongan. Tak sampai satu menit kukira, sudah belasan orang mengerubuni kita. Salah satunya mendekatiku. Lalu membekukku. Dan engkau, kuperhatikan, digotong ke dalam kendaraan. Lalu hilang.
***
Di ruangan ini, aku tak lebih seorang perindu yang cemas. Pertanyaan orang-orang berseragam tadi tak kujawab. Bukan tak ingin. Tapi tak bisa. Alhasil, mereka yang kebingungan malah memasukkanku ke ruangan ini: sebuah ruang dengan jeruji-jeruji tua, dan gelap.
Aku cemas. Bukan mencemaskan diriku. Tapi mencemaskan kedua adikku yang pasti sedang menungguku hari ini. Aku mulai menangis. Membayangkan bagaimana kedua adikku itu bisa makan hari ini. Sebab kami sudah tak memiliki orangtua. Aku yang menjadi tulang punggung bagi mereka. Tapi, dulu kami punya ibu. Saat usiaku dua belas tahun, ibu menghilang. Tak kembali. Tanpa pernah kutahu apa sebabnya. Saat itulah aku tiba-tiba kehilangan suaraku. Tak lagi bisa bicara.
Sebilah tangan menepuk pundakku, “Dik, kamu lapar?”
Aku baru menyadari keberadaannya. Seorang laki-laki dengan janggut yang lebat ternyata juga berada di ruangan ini. Kutaksir usianya sekitar empat puluhan akhir. Kutebak dari rambutnya yang sudah banyak beruban.
Aku diam. Tak menjawab. Dan laki-laki itu tersenyum sambil menyodorkan sebungkus roti kepadaku.
“Makanlah,” katanya lagi.
Aku pun makan pelan-pelan, sambil memperhatikan sekelilingku. Ruangan ini gelap, Remang-remang. Tapi ada yang berbeda. Tidak seperti citra penjara yang umumnya sering kudengar. Tak ada bau pesing. Tak ada sampah atau kotoran yang berserakan. Semua tertata rapi. Bahkan di ujung sebelah kanan, ada sebuah sajadah. Dan laki-laki itu, sedang memegang sebuah buku. Ah, tidak. Ia memegang Al-Quran. Dan mengaji. Aku tahu karena dulu aku pernah belajar mengaji. Tapi kini sudah tidak lagi. Aku sudah berhenti mengaji saat ditinggal ibuku pergi. Sebab tidak ada gunanya mengaji. Aku tak bisa hidup dengan mengaji. Tak kenyang dengan mengaji. Jadi, lebih baik aku tak mengaji lagi. Lebih memilih untuk bekerja mencari sesuap nasi.
“Dik, kenapa kau di sini?” Tanyanya membuyarkan lamunanku. Ia sudah selesai mengaji.
Aku mengarahkan tanganku ke mulutku, lalu kugoyangkan ke kanan dan ke kiri.
“Kau tak bisa bicara?”
Aku menganggukkan kepalaku. Lalu kuarahkan tangan ke dada, lalu ke telingaku sambil mengacungkan jempolku. Dan ia tersenyum. Mengerti bahwa aku bisa mendengar dengan baik.
Aku masih menatapnya. Ingin bertanya, kenapa dia sampai berada di sini.
“Apa kau bingung, kenapa aku bisa berada di sini?” Tanyanya paham.
Aku menganggukkan kepalaku lagi.
“Aku membunuh.”
Dan ia mulai bercerita. Dulu, ia adalah seorang tukang kebun di rumah seorang pengusaha. Suatu malam katanya, ia menyambangi rumah itu, hendak mencuri. Sebab ia tahu, saat itu, hanya anak majikannya yang berada di rumah. Tapi sayangnya, ia kepergok. Karena panik, tanpa sadar ia pukulkan linggis ke kepala anak itu. Terkapar. Dan tak bernyawa.
Setelah beberapa hari penyelidikan, ia tak bisa mengelak dari tuduhan. Melakukan pengakuan. Hingga ditahan selama dua puluh tahun.
Aku melihat ia menangis. Airmata penyesalan.
“Aku menelantarkan anak dan istriku.”
Dan aku kembali terenyuh, mengingat kedua adikku.
***
“Semoga Allah menerima taubatku, Dik.”
Aku hanya diam. Bukan tak bisa. Tapi tak mengerti.
Aku menggerakkan anggota tubuhku, memberi bahasa isyarat, “Kenapa kau masih percaya Tuhan?”
Ia hanya tersenyum. Aku tambah tak mengerti.
“Shalat itu mencegah perbuatan keji dan munkar,” sementara aku dibiarkannya berpikir sejenak, “dulu aku tidak pernah shalat,” lanjutnya lagi.
Aku masih diam.
“Sesungguhnya bersama kesulitan itu ada kemudahan, Dik. Allah tidak akan memberikan cobaan yang tidak bisa diatasi oleh kita. Seperti sekarang. Aku, di sisi lain, merasa bersyukur dengan dipenjaranya diriku ini. Di sini, aku mengenal Tuhan, Allah. Di sini, aku belajar shalat. Dan dengan shalat lah aku mendapatkan ketenangan hati…”
Ia diam sejenak. “Ini sebuah skenario, Dik. Skenario yang terbaik buat kita. Percaya lah.”
Aku diam. Merenung. Kalau begitu, skenario macam apa yang disiapkan untukku. Membiarkan adik-adikku mati kelaparan? Membiarkan aku yang tak bersalah ini dihukum bertahun-tahun di dalam kurungan?
“Kau hanya harus bisa berpikir positif, Dik. Mengambil hikmah.”
Ia beranjak, meminta izin kepada sipir penjara. Lalu kembali dengan muka basah, berseri-seri. Menunaikan shalat. Entah shalat apa.
***
Hari ke tiga. Masih pukul tiga pagi. Aku terbangun ingin ke kamar mandi. Sipir pasti masih pulas. Aku buang saja di botol yang sudah disiapkan untuk keadaan seperti ini.
Samar terdengar suara, Allah… Allah… Allah
Bukan dari tempat tidur. Ia sedang di atas sajadah, menunaikan shalat malam. Kepalanya tertunduk ke tanah. Aku masih ingat, ini sujud namanya.
Kuperhatikan sesaat, dan ia masih dalam sujud. Dan lebih lama, ia tetap dalam sujud. Maka kudekati ia. Kugoyang-goyangkan tubuhnya.
Ia tak menjawab. Hanya lafadz Allah yang mengalun dari bibirnya.
Aku ikut menunduk, memperhatikan wajahnya. Dan aku tersentak, saat kulihat wajahnya bercahaya. Benar-benar bercahaya. Dan tiba-tiba ia ambruk.
“Dik… Dik…” ia memanggilku dua kali. Aku lebih kaget. Kupikir tadi, ia sudah mati.
Matanya kosong. “Ambilkan aku air…”
Segera kupenuhi permintaannya. Ia minum air itu. Cuma seteguk.
“Dik… sepertinya waktuku akan tiba. Apa Allah menerima taubatku?”
Aku diam. Lalu menganggukkan kepalaku.
Ia tersenyum. Mulai meringis. Lalu perlahan, matanya mulai terkatup. Tidak lagi ada nafas terasa dari hidungnya. Tidak detak jantungnya. Tidak denyut nadinya. Kali ini, ia benar-benar mati. Dan ini, kali pertama dalam hidupku, menyaksikan kematian seseorang, dengan tersenyum pula.
***
Aku masih ingat senyum terakhirnya itu. Membuatku menangis mengingatnya. Bukan karena kesedihan akibat kematian. Lebih kepada kehilangan sosoknya, yang selalu memberikanku ketenangan meski baru beberapa hari kami berkenalan. Aku buka Al-Quran peninggalannya, tak satu pun masih kukenali hurufnya, apalagi artinya. Aku buka buku-buku peninggalannya yang lain: tentang doa, tentang shalat.
Maka pagi itu, aku mengambil wudhu, membasuh tubuhku. Menunaikan shalat meski aku tak hafal bacaannya. Tak paham gerakannya. Aku hanya mencoba shalat. Dengan tanpa kata-kata. Hendak mencari ketenangan yang ia ceritakan. Hendak mencari Tuhan yang ia agung-agungkan.
Tapi, tetap saja aku melewati rumahmu setiap hari. Sebab rumahmu adalah salah satu jalan hidupku. Sebab di depan rumahmu ini, aku menemukan banyak hal yang berguna untuk mengisi perutku dan adik-adikku. Sesuatu yang engkau sebut sampah tak berguna, telah menjadi sumber kehidupanku.
Seperti hari ini, aku kembali melewati rumahmu. Kuperhatikan dulu sejenak, barangkali engkau sedang duduk di teras menungguku. Menunggu untuk melempariku lagi dengan kerikil-kerikil itu. Tapi tampaknya engkau sedang tidak ada. Maka aku dengan santai memunguti setiap sampah yang masih kuanggap berguna. Tapi belum beberapa lama, aku sudah mendengar teriakanmu yang sudah tidak asing lagi di telinga. Engkau baru saja pulang sekolah. Seragam putih abu-abu itu buktinya. Sementara aku tidak lagi melanjutkan sekolah. Terhenti di sekolah dasar tahun kedua.
“Itu Si Kelam,” katamu sambil menunjukku. Di belakangmu, tidak kurang dari tiga orang memakai pakaian serupa seragammu.
“Loe barusan ngambil apa di sini?” Bentakmu padaku. Dan aku diam saja. Bukan tak ingin. Tapi tak bisa.
“Loe maling ya?”
Aku menggeleng.
“Udah, ngaku aja!”
Aku masih terus menggeleng, dengan suara sengau tanpa satu pun kata yang terucap dari bibirku. Sementara engkau dan teman-teman sejenismu mulai menarik paksa karung yang masih kupegang erat dengan tangan kiriku. Menggeledah isinya satu per satu.
Aku berontak. Lantas engkau meninjuku tepat di ulu hati. Membuatku meringkuk, sulit bernafas. Engkau bukannya puas malah menginjak tubuhku sambil meludahiku. Aku marah. Aku gerah. Dengan segenap tenaga yang kupunya, aku balik menyerangmu. Mengarahkan benda yang ada di tangan kananku ke arah tubuhmu. Besi (ternyata besi) untukku memulung itu berujung runcing. Menembus perutmu. Darah. Warnanya merah.
Engkau teriak kesakitan memegangi lukamu. Teman-teman sejenismu mulai mengerubunimu, salah satunya berteriak ke dalam rumah, meminta pertolongan. Tak sampai satu menit kukira, sudah belasan orang mengerubuni kita. Salah satunya mendekatiku. Lalu membekukku. Dan engkau, kuperhatikan, digotong ke dalam kendaraan. Lalu hilang.
***
Di ruangan ini, aku tak lebih seorang perindu yang cemas. Pertanyaan orang-orang berseragam tadi tak kujawab. Bukan tak ingin. Tapi tak bisa. Alhasil, mereka yang kebingungan malah memasukkanku ke ruangan ini: sebuah ruang dengan jeruji-jeruji tua, dan gelap.
Aku cemas. Bukan mencemaskan diriku. Tapi mencemaskan kedua adikku yang pasti sedang menungguku hari ini. Aku mulai menangis. Membayangkan bagaimana kedua adikku itu bisa makan hari ini. Sebab kami sudah tak memiliki orangtua. Aku yang menjadi tulang punggung bagi mereka. Tapi, dulu kami punya ibu. Saat usiaku dua belas tahun, ibu menghilang. Tak kembali. Tanpa pernah kutahu apa sebabnya. Saat itulah aku tiba-tiba kehilangan suaraku. Tak lagi bisa bicara.
Sebilah tangan menepuk pundakku, “Dik, kamu lapar?”
Aku baru menyadari keberadaannya. Seorang laki-laki dengan janggut yang lebat ternyata juga berada di ruangan ini. Kutaksir usianya sekitar empat puluhan akhir. Kutebak dari rambutnya yang sudah banyak beruban.
Aku diam. Tak menjawab. Dan laki-laki itu tersenyum sambil menyodorkan sebungkus roti kepadaku.
“Makanlah,” katanya lagi.
Aku pun makan pelan-pelan, sambil memperhatikan sekelilingku. Ruangan ini gelap, Remang-remang. Tapi ada yang berbeda. Tidak seperti citra penjara yang umumnya sering kudengar. Tak ada bau pesing. Tak ada sampah atau kotoran yang berserakan. Semua tertata rapi. Bahkan di ujung sebelah kanan, ada sebuah sajadah. Dan laki-laki itu, sedang memegang sebuah buku. Ah, tidak. Ia memegang Al-Quran. Dan mengaji. Aku tahu karena dulu aku pernah belajar mengaji. Tapi kini sudah tidak lagi. Aku sudah berhenti mengaji saat ditinggal ibuku pergi. Sebab tidak ada gunanya mengaji. Aku tak bisa hidup dengan mengaji. Tak kenyang dengan mengaji. Jadi, lebih baik aku tak mengaji lagi. Lebih memilih untuk bekerja mencari sesuap nasi.
“Dik, kenapa kau di sini?” Tanyanya membuyarkan lamunanku. Ia sudah selesai mengaji.
Aku mengarahkan tanganku ke mulutku, lalu kugoyangkan ke kanan dan ke kiri.
“Kau tak bisa bicara?”
Aku menganggukkan kepalaku. Lalu kuarahkan tangan ke dada, lalu ke telingaku sambil mengacungkan jempolku. Dan ia tersenyum. Mengerti bahwa aku bisa mendengar dengan baik.
Aku masih menatapnya. Ingin bertanya, kenapa dia sampai berada di sini.
“Apa kau bingung, kenapa aku bisa berada di sini?” Tanyanya paham.
Aku menganggukkan kepalaku lagi.
“Aku membunuh.”
Dan ia mulai bercerita. Dulu, ia adalah seorang tukang kebun di rumah seorang pengusaha. Suatu malam katanya, ia menyambangi rumah itu, hendak mencuri. Sebab ia tahu, saat itu, hanya anak majikannya yang berada di rumah. Tapi sayangnya, ia kepergok. Karena panik, tanpa sadar ia pukulkan linggis ke kepala anak itu. Terkapar. Dan tak bernyawa.
Setelah beberapa hari penyelidikan, ia tak bisa mengelak dari tuduhan. Melakukan pengakuan. Hingga ditahan selama dua puluh tahun.
Aku melihat ia menangis. Airmata penyesalan.
“Aku menelantarkan anak dan istriku.”
Dan aku kembali terenyuh, mengingat kedua adikku.
***
“Semoga Allah menerima taubatku, Dik.”
Aku hanya diam. Bukan tak bisa. Tapi tak mengerti.
Aku menggerakkan anggota tubuhku, memberi bahasa isyarat, “Kenapa kau masih percaya Tuhan?”
Ia hanya tersenyum. Aku tambah tak mengerti.
“Shalat itu mencegah perbuatan keji dan munkar,” sementara aku dibiarkannya berpikir sejenak, “dulu aku tidak pernah shalat,” lanjutnya lagi.
Aku masih diam.
“Sesungguhnya bersama kesulitan itu ada kemudahan, Dik. Allah tidak akan memberikan cobaan yang tidak bisa diatasi oleh kita. Seperti sekarang. Aku, di sisi lain, merasa bersyukur dengan dipenjaranya diriku ini. Di sini, aku mengenal Tuhan, Allah. Di sini, aku belajar shalat. Dan dengan shalat lah aku mendapatkan ketenangan hati…”
Ia diam sejenak. “Ini sebuah skenario, Dik. Skenario yang terbaik buat kita. Percaya lah.”
Aku diam. Merenung. Kalau begitu, skenario macam apa yang disiapkan untukku. Membiarkan adik-adikku mati kelaparan? Membiarkan aku yang tak bersalah ini dihukum bertahun-tahun di dalam kurungan?
“Kau hanya harus bisa berpikir positif, Dik. Mengambil hikmah.”
Ia beranjak, meminta izin kepada sipir penjara. Lalu kembali dengan muka basah, berseri-seri. Menunaikan shalat. Entah shalat apa.
***
Hari ke tiga. Masih pukul tiga pagi. Aku terbangun ingin ke kamar mandi. Sipir pasti masih pulas. Aku buang saja di botol yang sudah disiapkan untuk keadaan seperti ini.
Samar terdengar suara, Allah… Allah… Allah
Bukan dari tempat tidur. Ia sedang di atas sajadah, menunaikan shalat malam. Kepalanya tertunduk ke tanah. Aku masih ingat, ini sujud namanya.
Kuperhatikan sesaat, dan ia masih dalam sujud. Dan lebih lama, ia tetap dalam sujud. Maka kudekati ia. Kugoyang-goyangkan tubuhnya.
Ia tak menjawab. Hanya lafadz Allah yang mengalun dari bibirnya.
Aku ikut menunduk, memperhatikan wajahnya. Dan aku tersentak, saat kulihat wajahnya bercahaya. Benar-benar bercahaya. Dan tiba-tiba ia ambruk.
“Dik… Dik…” ia memanggilku dua kali. Aku lebih kaget. Kupikir tadi, ia sudah mati.
Matanya kosong. “Ambilkan aku air…”
Segera kupenuhi permintaannya. Ia minum air itu. Cuma seteguk.
“Dik… sepertinya waktuku akan tiba. Apa Allah menerima taubatku?”
Aku diam. Lalu menganggukkan kepalaku.
Ia tersenyum. Mulai meringis. Lalu perlahan, matanya mulai terkatup. Tidak lagi ada nafas terasa dari hidungnya. Tidak detak jantungnya. Tidak denyut nadinya. Kali ini, ia benar-benar mati. Dan ini, kali pertama dalam hidupku, menyaksikan kematian seseorang, dengan tersenyum pula.
***
Aku masih ingat senyum terakhirnya itu. Membuatku menangis mengingatnya. Bukan karena kesedihan akibat kematian. Lebih kepada kehilangan sosoknya, yang selalu memberikanku ketenangan meski baru beberapa hari kami berkenalan. Aku buka Al-Quran peninggalannya, tak satu pun masih kukenali hurufnya, apalagi artinya. Aku buka buku-buku peninggalannya yang lain: tentang doa, tentang shalat.
Maka pagi itu, aku mengambil wudhu, membasuh tubuhku. Menunaikan shalat meski aku tak hafal bacaannya. Tak paham gerakannya. Aku hanya mencoba shalat. Dengan tanpa kata-kata. Hendak mencari ketenangan yang ia ceritakan. Hendak mencari Tuhan yang ia agung-agungkan.
Comments