Dimuat di Harian Global 13 Maret 2010

http://harian-global.com/index.php?option=com_content&view=article&id=32824:puisi-pringadi-abdi-surya&catid=45:kalam&Itemid=69


I: ayunan
sebenarnya apa yang kau ayun di balik
kedua bola matamu. ada jarak yang datang
dan pergi. ada langkah yang sedemikian tergesa
kemudian daun-daun jatuh. daun-daun dari pohon
kamboja. ranting-ranting yang patah. tetapi ayunan lain
dari ban-ban pula mengayun rahasia.

senja yang sama yang kau tatap adalah
masa kecil dari ayunan klasik. besi tua dan papan-papan
lapuk. tiga anak lelaki saling beradu suit. siapa yang menang
akan duduk di samping kau. aku tak pernah
menang. aku tak pernah duduk di samping kau. akulah
yang mengayun. akulah yang jadi ayunan.



II: perosotan
begitu sering kita memerosoti diri sendiri. menaiki tangga-tangga
sedemikian tinggi. kubayangkan di sana ada seekor semut
berusaha mendaki. dia pastilah sisyphus tua yang telah
bereinkarnasi. kau

hari itu, tampak di atas perosotan. matamu merah seperti
kerasukan. seperti sedang bertahan dari nyanyian
burung gereja dan ejekan sisiyphus tua yang masih khusyuk

dalam pendakian.


III: kran
hidup pun adalah sebuah ketakutan. selalu
itu yang kau igaukan di malam-malam yang sama
sampai haus. sampai bibirmu kering dan
pecah-pecah. aku jadi kran saja. jadi
kran bagi bibirmu yang menanti basah. jadi
kran yang kerap kau takuti juga kau
rindukan. seperti seberapa lama kran itu
akan hidup. seberapa lama lagi ia akan
mati.


IV: layar tancap
malam. malam sekali, papa berpura-pura meninabobokan
aku. "kita tidur, nak. besok takut kesiangan." tetapi aku
benar-benar tidak bisa tidur malam itu. aku tahu matahari
kemarin telah melupakan aku. aku takut tak ada matahari
di mataku esok hari.

malam. malam sekali, ternyata papa dan mama memainkan
lakon kekasih. aku dapat peran obat nyamuk yang diam
mengemut gula-gula sampai segerombolan lakon lain
mulai bergandengan tangan, menginjak rerumputan yang
sepertinya menangis di lapangan itu.

"Ma, Pa, kenapa kita tidak masuk ke layar lebar itu saja?"

Mama menambah gula-gula di tangan kiriku. "Kamu itu
obat nyamuk. Diam sajalah. Tidak usah tanya-tanya!"


V: obat nyamuk
dulu. dulu sekali, kamu suka jadi teka-teki. "ular apa yang
jalannya mundur?"

tapi kini aku sedih melihatmu yang membakar diri untuk
meracuni paru-paru aku. sebelum nyamuk lain yang
hendak menuntutmu, jatuh satu per satu.


VI: nyamuk

cita-cita mana yang lebih gila, selain aku, yang ingin
jadi nyamuk. biar diam-diam menghisap darahmu itu.

aku pernah penasaran semanis apakah dirimu yang
diam-diam suka tak tidur malam-malam. "kekasih,

boleh aku berhenti jadi vegetarian supaya bisa
kunikmati setiap hisapan yang masih dalam khayalan

ini?"

Comments

jaka said…
terimakasih bos infonya dan sangat menarik
tejo said…
mantap mas artikelnya dan sangat bermanfaat
sarmin said…
makasih gan buat infonya dan salam sukses