Angin September
*Termuat dalam buku Kepada Cinta (Gagas Media, 2009)
(Aku ucapkan salam, dari lubuk terdalam)
Langit-langit, lalu langit.
Kautahu, angin September selalu menawarkan cinta; asmara muda berwarna jingga, cumbu anomali pada pancaroba. Bimbang. Nada sumbang. Lebih hampa dari kemarau yang ingin segera hilang; hujan menggempalkan kerinduan.
Dan kita masing-masing berdiri di sini, terenyuh memori. Kautahu, padanya aku pernah mengejar berlarik puisi: derap-derap kaki yang telanjang, langkah lugu malu-malu. Berjingkat di tiap malam, hendak mencuri sebait rindu. “Permisi bu, boleh saya mencuri rindu?” tanyaku lugu. Pukul yang kuraih, bukan restu. Dan kautahu, derap-derap kakiku tak lagi bisu. Lahirkan debu-debu di sepanjang jalan kupulang, dengan kepala tertunduk seolah pungguk yang lepaskan harap kerinduan pada rembulan.
Tidak, aku tak terus menyerah. Aku tak langsung pasrah meski kuaku gundah. Aku malah terus berlari mengejar romantisme yang ingin kusejati. Aku semakin dekat padanya. Kautahu, bahkan aku sudah melihat punggung rindu – tolehkan mukanya kepadaku. Dia berhenti – menatapku. Harap ia tak lagi menjauh. Tapi tangan angkuh itu menggamitnya, senyum sinis padaku. Ia, laki-laki yang mencuri rindu. Menhilangkan harap yang pernah kugantung di langit biru. Hancurkan rasa seorang lugu. Dan akhirnya, rinduku merandu seperti kapas-kapas putih melayang cipta bayang – tak bisa kuraih.
… Ya, itu kisahku dulu. Kau?
Bahkan Tuhan tak mampu mengubah masa lalu bukan?
Kautahu, cinta itu bukan sekedar pemberian. Tetapi juga penerimaan. Kau juga pasti tahu, aku mencintaimu. Begitu bukan? Kabarnya wanita memiliki indra perasa yang lebih sensitive dari kami – para pria. Indra yang kumaksud bukan kulit alat peraba atau lidah pengecap rasa. Kautahu itu dengan jelas kan?
Kau mungkin tersenyum (atau menertawakanku) yang menganggapmu seolah serba tahu. Kautahu(lagi-lagi), aku tak biasa menulis surat semacam ini. Aku lebih memiih untuk mengerjakan integral lipat tiga dibanding mengunkapkan perasaan ini. Tapi cinta bukanlah pilihan. Cinta adalah keinginan, atau … kebutuhan! Bukan berarti aku ingin menggugat Maslow yang tidak memasukkan cinta sebagai kebutuhan dasar manusia di dalam teori hierarki kebutuhannya.
Ah, sebentar … aku ingin menghela nafas sejenak …
Kau masih ingat dengan Distribusi Bernoulli? Atau kau belum/tidak mempelajarinya? Distribusi Bernoulli adalah percobaan acak yang hasilnya hanya dikategorikan dalam dua kategori: ‘sukses’ dan ‘gagal’. Atau, probabilitas yang ada, (p) dan (1-p). Sekarang aku membayangkan, apakah tindakanku menyatakan perasaan kepadamu ini adalah satu dari sekian n percobaan, atau menjadi satu-satunya dengan X(sukses) =1 ?
Kau bingung?
Kalau iya, baguslah. Aku sengaja membuatmu bingung.
Hehehe … (akhirnya aku bisa tertawa)
…
Sabriani Suci Zasneda …
Kadang aku merasa geli sendiri, satu tahun kita bersama dalam satu kelas TPB, tapi dapat dihitung dengan jari berapa kali kita saling bertegur sapa. Kautahu, aku masih selalu mengingat setiap momen dimana kau dan aku bertatap muka. Aku masih ingat bagaimana pertama kali kita bertemu. Bukan pertemuan yang istimewa. Aku tidak langsung jatuh cinta pada pandangan pertama. Tidak begitu (sungguh). Butuh beberapa kali tatapan untuk menyadari kau tidak biasa. Ya, kau istimewa. Setidaknya di mataku begitu …
Kauingat, aku sering duduk tepat di belakangmu, atau kadang di sampingmu.
“Maaf, boleh aku pinjam tip-ex?” begitu kalimat pertama yang kuucapkan padamu. Dan dengan cueknya, kau menyodorkan tip-ex berwarna merah dengan tanpa menatapku. Pandanganmu tetap bersikukuh pada De Gauss, julukan untuk dosen kalkulus kita waktu itu. Padahal aku menanti mataku beradu pandang dengan matamu…
Untuk menantikan kudengar suaramu pun hanya kudapatkan di sebuah presentasi mata kuliah olahraga. Kau maju dengan busana berwana krem (kalau tidak salah). Begitu anggun. Rasanya ingin dunia ini hanya ada kau dan aku (yang lain ngontrak aja). Tadinya kupikir suaramu begitu lembut. Tapi ternyata bisa dibilang cempreng. Hehe… Tapi aku tetap mencintaimu kok …
Begitulah hari-hariku, selalu memperhatikanmu. Sampai kupikir kau menyadari bahwa aku memperhatikanmu. Entah, kau menghindar dariku. Tidak pernah lagi memilih untuk duduk di dekatku. Ketika aku di depan, kau pilih belakang. Begitu sebaliknya. Apa benar firasatku… kautahu perasaanku padamu?
Tanpa sadar satu tahun berlalu. Dan kautahu, aku ingin pergi dari tempatku kini. Institut Terbaik Bangsa … mungkin aku akan merindukannya, juga merindukanmu pastinya (karena mungkin kita takkan lagi saling bertemu). Kau tidak bertanya aku mau ke mana? Hmm, aku mau ke sekolah tempat pencetak para birokrat (katanya), yang kautahu, salahsatu tugasnya mengaudit harta para pejabat. Doakan aku ya …
Sabriani …, ada sebuah puisi dari Ibnu Adam Avicena (kalau tidak salah) :
Kalau engkau bunga, bisakah mekar selamanya ?
Kalau engkau bulan, bisakah bersinar selamanya?
Kalau engkau cinta, bisakah menjaga selamanya?
Kalau tidak bisa, bisakah bisa?
Maksa ya? “Kalau tidak bisa, bisakah bisa?”
Sabriani …
I do … I do really love you…
…
Seperti yang kuungkap di awal, ada sekelumit kisahku dulu. Bukan apa-apa, aku hanya ingin kautahu bahwa aku telah membuka diriku untukmu. Terserah padamu, mau memasukinya atau tidak. Kau sudah kuberikan kuncinya. Kau bisa saja menutup pintu yang sudah kubuka, menguncinya rapat-rapat, lalu melempar kuncinya kembali ke dalam, atau malah membuangnya. Itu terserahmu …
Hah … Kalau saja suaraku merdu, aku ingin menyayikan sebuah lagu untukmu. Kalau saja aku bisa memainkan alat music, aku memilih biola untuk kuperdengarkan kepadamu. Kalau saja aku memiliki harta berlimpah, tentu saja aku akan menabungnya di bank (lho?)
… Apa kau juga tertawa?
Ah, sudah. Lelah jariku mengikuti nafas dan detak jantungku. Malam sudah larut. Cintaku takkan surut. Kalau kita berjodoh, kita akan bertemu lagi …
Salam hangat, dari seorang perindu yang cemas.
prince_math2005@students.itb.ac.id
(sengaja kutuliskan emailku, agar kau mau membalas surat ini. Atau jangan-jangan kau tak tahu namaku karena kita belum pernah berkenalan secara resmi?
Namaku… Pringadi Abdi Surya… diingat ya!)
(Aku ucapkan salam, dari lubuk terdalam)
Langit-langit, lalu langit.
Kautahu, angin September selalu menawarkan cinta; asmara muda berwarna jingga, cumbu anomali pada pancaroba. Bimbang. Nada sumbang. Lebih hampa dari kemarau yang ingin segera hilang; hujan menggempalkan kerinduan.
Dan kita masing-masing berdiri di sini, terenyuh memori. Kautahu, padanya aku pernah mengejar berlarik puisi: derap-derap kaki yang telanjang, langkah lugu malu-malu. Berjingkat di tiap malam, hendak mencuri sebait rindu. “Permisi bu, boleh saya mencuri rindu?” tanyaku lugu. Pukul yang kuraih, bukan restu. Dan kautahu, derap-derap kakiku tak lagi bisu. Lahirkan debu-debu di sepanjang jalan kupulang, dengan kepala tertunduk seolah pungguk yang lepaskan harap kerinduan pada rembulan.
Tidak, aku tak terus menyerah. Aku tak langsung pasrah meski kuaku gundah. Aku malah terus berlari mengejar romantisme yang ingin kusejati. Aku semakin dekat padanya. Kautahu, bahkan aku sudah melihat punggung rindu – tolehkan mukanya kepadaku. Dia berhenti – menatapku. Harap ia tak lagi menjauh. Tapi tangan angkuh itu menggamitnya, senyum sinis padaku. Ia, laki-laki yang mencuri rindu. Menhilangkan harap yang pernah kugantung di langit biru. Hancurkan rasa seorang lugu. Dan akhirnya, rinduku merandu seperti kapas-kapas putih melayang cipta bayang – tak bisa kuraih.
… Ya, itu kisahku dulu. Kau?
Bahkan Tuhan tak mampu mengubah masa lalu bukan?
Kautahu, cinta itu bukan sekedar pemberian. Tetapi juga penerimaan. Kau juga pasti tahu, aku mencintaimu. Begitu bukan? Kabarnya wanita memiliki indra perasa yang lebih sensitive dari kami – para pria. Indra yang kumaksud bukan kulit alat peraba atau lidah pengecap rasa. Kautahu itu dengan jelas kan?
Kau mungkin tersenyum (atau menertawakanku) yang menganggapmu seolah serba tahu. Kautahu(lagi-lagi), aku tak biasa menulis surat semacam ini. Aku lebih memiih untuk mengerjakan integral lipat tiga dibanding mengunkapkan perasaan ini. Tapi cinta bukanlah pilihan. Cinta adalah keinginan, atau … kebutuhan! Bukan berarti aku ingin menggugat Maslow yang tidak memasukkan cinta sebagai kebutuhan dasar manusia di dalam teori hierarki kebutuhannya.
Ah, sebentar … aku ingin menghela nafas sejenak …
Kau masih ingat dengan Distribusi Bernoulli? Atau kau belum/tidak mempelajarinya? Distribusi Bernoulli adalah percobaan acak yang hasilnya hanya dikategorikan dalam dua kategori: ‘sukses’ dan ‘gagal’. Atau, probabilitas yang ada, (p) dan (1-p). Sekarang aku membayangkan, apakah tindakanku menyatakan perasaan kepadamu ini adalah satu dari sekian n percobaan, atau menjadi satu-satunya dengan X(sukses) =1 ?
Kau bingung?
Kalau iya, baguslah. Aku sengaja membuatmu bingung.
Hehehe … (akhirnya aku bisa tertawa)
…
Sabriani Suci Zasneda …
Kadang aku merasa geli sendiri, satu tahun kita bersama dalam satu kelas TPB, tapi dapat dihitung dengan jari berapa kali kita saling bertegur sapa. Kautahu, aku masih selalu mengingat setiap momen dimana kau dan aku bertatap muka. Aku masih ingat bagaimana pertama kali kita bertemu. Bukan pertemuan yang istimewa. Aku tidak langsung jatuh cinta pada pandangan pertama. Tidak begitu (sungguh). Butuh beberapa kali tatapan untuk menyadari kau tidak biasa. Ya, kau istimewa. Setidaknya di mataku begitu …
Kauingat, aku sering duduk tepat di belakangmu, atau kadang di sampingmu.
“Maaf, boleh aku pinjam tip-ex?” begitu kalimat pertama yang kuucapkan padamu. Dan dengan cueknya, kau menyodorkan tip-ex berwarna merah dengan tanpa menatapku. Pandanganmu tetap bersikukuh pada De Gauss, julukan untuk dosen kalkulus kita waktu itu. Padahal aku menanti mataku beradu pandang dengan matamu…
Untuk menantikan kudengar suaramu pun hanya kudapatkan di sebuah presentasi mata kuliah olahraga. Kau maju dengan busana berwana krem (kalau tidak salah). Begitu anggun. Rasanya ingin dunia ini hanya ada kau dan aku (yang lain ngontrak aja). Tadinya kupikir suaramu begitu lembut. Tapi ternyata bisa dibilang cempreng. Hehe… Tapi aku tetap mencintaimu kok …
Begitulah hari-hariku, selalu memperhatikanmu. Sampai kupikir kau menyadari bahwa aku memperhatikanmu. Entah, kau menghindar dariku. Tidak pernah lagi memilih untuk duduk di dekatku. Ketika aku di depan, kau pilih belakang. Begitu sebaliknya. Apa benar firasatku… kautahu perasaanku padamu?
Tanpa sadar satu tahun berlalu. Dan kautahu, aku ingin pergi dari tempatku kini. Institut Terbaik Bangsa … mungkin aku akan merindukannya, juga merindukanmu pastinya (karena mungkin kita takkan lagi saling bertemu). Kau tidak bertanya aku mau ke mana? Hmm, aku mau ke sekolah tempat pencetak para birokrat (katanya), yang kautahu, salahsatu tugasnya mengaudit harta para pejabat. Doakan aku ya …
Sabriani …, ada sebuah puisi dari Ibnu Adam Avicena (kalau tidak salah) :
Kalau engkau bunga, bisakah mekar selamanya ?
Kalau engkau bulan, bisakah bersinar selamanya?
Kalau engkau cinta, bisakah menjaga selamanya?
Kalau tidak bisa, bisakah bisa?
Maksa ya? “Kalau tidak bisa, bisakah bisa?”
Sabriani …
I do … I do really love you…
…
Seperti yang kuungkap di awal, ada sekelumit kisahku dulu. Bukan apa-apa, aku hanya ingin kautahu bahwa aku telah membuka diriku untukmu. Terserah padamu, mau memasukinya atau tidak. Kau sudah kuberikan kuncinya. Kau bisa saja menutup pintu yang sudah kubuka, menguncinya rapat-rapat, lalu melempar kuncinya kembali ke dalam, atau malah membuangnya. Itu terserahmu …
Hah … Kalau saja suaraku merdu, aku ingin menyayikan sebuah lagu untukmu. Kalau saja aku bisa memainkan alat music, aku memilih biola untuk kuperdengarkan kepadamu. Kalau saja aku memiliki harta berlimpah, tentu saja aku akan menabungnya di bank (lho?)
… Apa kau juga tertawa?
Ah, sudah. Lelah jariku mengikuti nafas dan detak jantungku. Malam sudah larut. Cintaku takkan surut. Kalau kita berjodoh, kita akan bertemu lagi …
Salam hangat, dari seorang perindu yang cemas.
prince_math2005@students.itb.ac.id
(sengaja kutuliskan emailku, agar kau mau membalas surat ini. Atau jangan-jangan kau tak tahu namaku karena kita belum pernah berkenalan secara resmi?
Namaku… Pringadi Abdi Surya… diingat ya!)
Comments