Review Simbiosa Alina oleh Reananda Hidayat
Diambil dari http://reanhidayat.wordpress.com/2014/04/29/review-simbiosa-alina/
Tentang sepasang kekasih yang menikmati sore di bangku taman, tentang kakek nenek yang bergenggaman tangan di Stasiun Lempuyangan, tentang dua orang yang berpelukan dan bertukar puisi di tepi tebing curam, tentang hujan yang merontokkan segenap kerinduan.
Bisa dikatakan, Simbiosa Alina bicara melulu soal cinta dan kenangan. Namun dia tidak membosankan? Hebat bukan?
Ada dua penulis dalam Simbiosa Alina, salah satunya adalah Sungging Raga. Saya pertama kali berkenalan dengannya dalam cerpen manis tentang sepasang kekasih yang duduk menjuntaikan kaki sembari menunggu senja dan kereta dari atas Sungai Serayu. Senja itu sunyi namun menyenangkan, bagi si wanita untuk menggambarkan kekasihnya yang pendiam. Serayu Sepanjang Angin Akan Berembus, juga akan banyak hembusan napas panjang saat membacanya.
Kali ini, dalam sepuluh cerpennya, Sungging Raga menghadirkan rasa sunyi yang beragam.
Senja adalah halusinasi dalam Bangku, Anjing, dan Dua Anak Kecil. Di atas bangku tua di halaman rumah yang juga tua, mereka melihat senja dengan caranya masing-masing. Bangku yang kesepian di masa rapuhnya, anjing rabun senja yang hanya bisa mencium sepotong tulang yang harus selalu dilemparkan majikannya sebelum dimakan, dan obrolan senja milik dua anak kecil yang tidak merasakan apa-apa di sekitar mereka. Sunyi yang mengiris, ketika ternyata mereka saling memegang rahasia satu sama lain, dan tahu bagaimana masing-masing mengartikan senja.
Pada kisah lain, penulis menghadirkan Southampton yang sedang dilanda perang dengan desingan peluru, ledakan, teriakan, dan suara pesawat tempur yang kembali disajikan dalam kesunyian yang berwujud sebuah lukisan. Mungkin gadis itu terlalu melankolis, adalah penjelasan penulis pada bagaimana bisa ada gadis yang hanya duduk di bangku taman melihat gedung yang terbakar. Bahkan kita tidak butuh banyak penjelasan untuk sebuah ironi. Dalam Pelukis dari St. Mary’s, Anda akan mendapat lebih dari sekedar sunyi.
Selanjutnya, keramaian mulai mengambil alih. Pringadi Abdi memadukan cerita cinta yang miris dengan warna-warni budaya lokal di separuh bagian buku selanjutnya.
Dalam Malimbu (cerpen yang bikin saya geleng-geleng kepala), misal. Dialog-dialog cinta putus asa saat seorang wanita memilih prianya berdasarkan jumlah hapalan juz, atau nama belakang yang tidak pantas untuk dipanggil bagi seorang bergelar bangsawan. Cinta menjadi sehitam putih itu di hadapan adat. Tidak seberwarna Malimbu yang memberi kebebasan untuk bersembunyi di rindang pepohonan, dan menawarkan pemandangan senja di tikungan terpanjang bukit. Dan soal paragraf terakhir, saya baru menemukan ternyata ada cara seperti ini untuk mengakhiri sebuah cerpen. Kejutan yang menyenangkan. Call back, kalau dalam istilah stand up comedy. Cara yang sedikit sama juga digunakan Pringadi dalam cerpen Mi Querido dengan kebun teh Malabar-nya.
Namun tidak perlu ending yang aneh-aneh dalam Alina agar menjadikannya kisah cantik. Secantik Alina yang mampu mendorong Aku untuk mendobrak nilai agama dan budaya. Sampai membuat Aku dimaki-maki ayahnya yang benci dengan komunis. Ini bukan materi baru memang, tapi ya itu tadi, penulis menjadikannya tetap kaya dengan elegan. Dengan kisah Tan Bun Ann dengan putri raja Sriwijaya salah satunya. Atau dengan keriuhan Cap Go Meh di Kemaro. Kisah kaya yang serupa juga ada di Dua Kelopak Krisan. Namun kali ini dari Yunani, bukan pribumi. Mulai dari yang sesederhana kisah Sisyphus sampai pada beda kaum Platonis dan Eros.
***
Menurut saya, seni cerpen berbeda dengan novel. Cerpen tidak seperti novel yang memiliki ruang lebar untuk membangun plot dan emosi. Sehingga sisi-sisi lain harus dimaksimalkan.
Permainan diksi yang rapi misal, cerpen yang hanya beberapa lembar tidak membuat pembaca ngos-ngosan menunggu kapan permainan kata tidak menyentuh tanah itu akan berakhir. Atau penggunaan dialog ringkas, yang hanya dengan satu kalimat saja sudah menggambarkan sebuah karakter. Cerpen tidak perlu takut bernarasi, tidak seperti novel yang kebanyakan narasi kadang bikin capek juga. Pada buku ini bahkan kedua penulis melakukan hal vulgar yang rasanya sulit dilakukan pada novel, yaitu mereka bisa tiba-tiba masuk ke dalam ceritanya.
Saya banyak belajar dari Simbiosa Alina.
Baru kali ini saya memberi nilai 4 skala 5 di Goodreads untuk buku kumpulan cerpen. Biasanya di bawah itu. Simbiosa Alina sangat saya rekomendasikan. Terlebih bagi Anda penyuka hujan, senja, dan kotak khusus untuk menyimpan masa lalu. Karena seperti premis buku ini, Aku mencintaimu dengan sepenuh kenangan.
Comments