Review Simbiosa Alina oleh @adit_adit
Diambil dari http://catatanpunyatia.wordpress.com/2014/04/29/simbiosa-alina/
Pengin merasa melankolis di tengah hidup yang hiruk pikuk? Kumpulan cerita pendek ‘Simbiosa Alina’ ini mungkin adalah jodohmu. Ditulis oleh Sungging Raga dan Pringadi Abdi, cerpen-cerpen di dalam buku ini menyediakan bermacam-macam tragedi.
Ada 20 cerita pendek di dalam buku ini. Memang pendek-pendek sih. Temanya juga ya tentang tragedi. Kematian, cinta yang nggak tersampaikan, cinta yang nggak bisa bersama, dan sebagainya. Diuntai dengan diksi yang cantik serta untaian kalimat-kalimat yang mendayu-dayu. Ini bacaan yang cocok untuk penggemar sastra, cerpen-cerpen koran minggu, dan cerita-cerita surealis.
Dalam satu salah cerpen yang melabeli dirinya sendiri dengan ‘surealis’ bilang kalau apapun bisa terjadi dalam sana.
Memang benar. Apapun bisa terjadi. Sungging Raga dengan kelihaiannya dalam sisi deskripsi dan Pringadi Abdi yang menghidupkan karakter-karakternya lewat interaksi dan dialog–keduanya apik! Iyalah, dua-duanya penyair, udah pernah nerbitin di media juga. Sungging Raga banyak mengangkat setting luar negeri, sementara Pringadi dari satu tempat lokal ke tempat yang lain.
Sungging Raga bercerita dengan berbagai sudut pandang, bukan hanya satu atau tiga. Tapi, juga dari sudut pandang benda mati (ini biasa sih ya untuk cerpen-cerpen sastra, kalau fiksi populer kan jarang). Sementara Pringadi juga melakukan eksplorasi yang sama. Ya pokoknya, ini buku bagus kalau buat yang suka sastra.
Genre cerita di dalam buku ini juga seragam. Hanya saja, keduanya menulis dengan tone cerita yang gitu-gitu aja sepanjang novel. Lebih kerasa ke Pringadi sih. Bahkan, gue suka kelewatan membedakan sudut pandang orang pertama antara laki-laki dan perempuan pada cerpen yang berbeda karena dia menulis dengan style yang serupa.
Beberapa cerpen di dalam sini gue harus baca beberapa kali sampai bisa ngerti maksudnya apa. Memang sih, cerpen kan medium terbatas untuk menyampaikan sebuah cerita. Apalagi mereka kelihatan lebih berusaha fokus ke gimana membangun ceritanya lewat kata-kata, bukan keunikan ceritanya satu dengan yang lain. Kayak misalnya endingnya, mati lagi, mati lagi, mati lagi.
Kemudian, ada beberapa typo. Yeah! Ini kumcer sastra jadi boleh ya ngomentarin typo. Terutama penulisan istilah yang nggak seragam, antara ‘halo’ dengan ‘haloo’, kemudian Pitagoras dan Phitagoras. Eh tunggu, bukannya Phytagoras ya? Atau udah distandarin ke Bahasa Indonesia jadi Phitagoras kali ya. Ada juga beberapa catatan kaki untuk beberapa istilah dan nama yang menurutku nggak perlu. Karena memang si penulis banyak pakai istilah di dalamnya, terutama tentang sastra.
Bahasa cerpen-cerpen dalam buku ini memang indah, tapi buatkunjelimet. Kayak bagian akhir cerpen Mi Querida-nya Pringadi, aku baca sampai ada tujuh kali dan nggak ngerti juga. Akhirnya nanya sih sama penulisnya sih, haha. Juga, ending cerpen Senja di Taman Ewood milik Sungging Raga, aku juga nggak kebayang sama sekali gimana karakternya bisa menjadi senja. Hal ini subjektif ke aku banget sih, karena baca beberapa review kayaknya nggak mengalami hal yang sama denganku. Haha. Mungkin karena aku baca sambil dengerin Melvins dan Wu-Tang Clan, haha.
Ini kumpulan cerpen yang enak dibaca saat senja, sambil dengerin musik instrumental yang menyayat hati, ditemani secangkir kopi. Yang tiap akhir cerpen ditutup dengan gerakan menerawang ke langit sambil bergumam ‘tragisnya’. Atau mungkin malah bikin kamu merasa tragedi itu adalah dirimu sendiri.
Comments
menyusul kemudian hohoho