Puisi Pringadi Abdi di Majalah Bong-Ang, Maret 2014
Aku
Mencoba Menulis Puisi Ini di Twitter
Tetapi
Tak Ada Hujan, Tak Ada Kau
di
lini masa, tak ada hujan, tak ada kau
kata-kata
turun dari langit seperti wahyu
tetapi
siapa mendengar, siapa melihat
kita
terbiasa tertawa untuk hal yang berbeda
tetapi
selalu menangis untuk hal yang sama
berulang-ulang,
berkali-kali, tapi tak bosan
setiap
kesepian yang diwasiatkan para pencinta
yang
kalah atau mati di dalam percintaan
kita
simpan baik-baik seperti kapsul masa depan
tertanam
di dalam tanah, di dekat sebuah pohon
yang
telah dewasa sejak mula Adam
turun
ke dunia dan perjalanan mencari kekasihnya
di
lini masa orang berebut meminta disebut
tetapi
tak ada nama tuhan, tak ada nama kau
aku
seperti semut yang luput dari perhatian
ketika
kupikir aku telah selesai menulis puisi,
ketika
itu pula kusadari kau tak akan cukup
dalam
lingkup 140 karakter yang ditakdirkan
(2013)
Intermezzo, I
ketika aku kembali, kata-kata telah punah
kita mulai lagi berisyarat dengan jari dan air mata
jika suatu hari, ada yang lebih baik dari bahasa bisu
bangunkanlah aku dari tidur panjang bernama hidup
kita mulai lagi berisyarat dengan jari dan air mata
jika suatu hari, ada yang lebih baik dari bahasa bisu
bangunkanlah aku dari tidur panjang bernama hidup
(2013)
Fireflies
tribute to Owl City
mereka
belum punah. satu juta kunang-kunang berumah
di
dua pasang bola mata. kita
kadang-kadang
mereka merindukan malam
bulan,
dan cahaya temaram
bayangan
yang kelelahan, ingin memeluk tiang lampu taman
sepanjang
jalan, tiada siapa pun. daun-daun
memainkan
musik dansa, aku menari
tetapi
sendiri.
kamu
tak ada. telapak kakimu tak ada di atas kakiku;
aku
benci mengucapkan selamat tinggal
(2013)
Tak Ada yang Bertanya
tak ada yang bertanya kenapa ia menengadah
tiap kali pesawat tampak hendak mendarat;
kedua sayap itu tidak mengepak seperti
ketegaran daedalus, seorang ayah tak pernah tega
melihat anaknya meleleh
tapi tak ada yang bertanya kenapa ia sudi
menghidupkan lilin saat malam-malam sendiri
tak ada yang bertanya kenapa ia menulis puisi itu
yang tak nampak sepi-rindunya, kepada siapa: apa.
(2013)
tiap kali pesawat tampak hendak mendarat;
kedua sayap itu tidak mengepak seperti
ketegaran daedalus, seorang ayah tak pernah tega
melihat anaknya meleleh
tapi tak ada yang bertanya kenapa ia sudi
menghidupkan lilin saat malam-malam sendiri
tak ada yang bertanya kenapa ia menulis puisi itu
yang tak nampak sepi-rindunya, kepada siapa: apa.
(2013)
Comments