Pemilu, Pengalaman dan Pembelajaran
Pada mulanya saya ingin memilih tidak memilih. Alias Golput. Saya pun
enggan untuk datang ke TPS dikarenakan saya tak mengenal satu pun caleg
yang berada di dapil saya saat ini.
Sebagai pegawai KPPN, dengan pola mutasi yang acak, saya ditempatkan di Sumbawa Besar, jauh dari kampung halaman di Banyuasin, Sumatra Selatan. Pada pemilu 2009 lalu, saya masih berkuliah di Bintaro. Dengan rela dan bersemangat, saya menyempatkan diri untuk pulang dan memberikan suara kepada calon legislatif yang saya kenal betul, dengan mengharapkan adanya perubahanke arah yang lebih baik di kampung halaman. Tapi kali ini, pulang dari Sumbawa ke Sumatra sama saja dengan menghabiskan satu bulan penghasilan.
Meskipun demikian, ada sisi di sudut kecil hati yang ingin memilih. Memilih adalah hak, bukan kewajiban. Sayang sekali rasanya jika sebuah hak tidak dipakai dan disia-siakan. Saya pun sempat mencari tahu prosedur pindah tempat coblos. Petugas satker KPU yang sering datang ke KPPN untuk minta TUP bermilyar-milyar itu mengatakan, awalnya, "Mas tinggal datang saja ke TPS, bawa KTP. Langsung bisa memilih." Tahunya ketika saya berselancar, saya menemukan prosedur formulir A5. Sayangnya, pada tanggal-tanggal yang dipersyaratkan, saya akan sedang berada di luar kota dan tidak bisa mengurus A5 tersebut.
Baru pada tanggal 1 April saya kembali ke Sumbawa, dan petugas satker itu datang ke kantor untuk mengantar SPM. Saya pun berkata, "Mas, bisa tolong mengurus A5. Ini KTP saya..."
Alhamdulillah, dia bersedia dan keesokan harinya dia mengatakan semuanya sudah diproses. Akhirnya saya merasa senang menjadi pegawai KPPN yang selain punya keuntungan kalau bikin SIM dan paspor (nggak perlu antri), ternyata diurus formulir A5 nya juga. Satu hari sebelum pemilu, formulir A5 saya pun diantar oleh petugas KPPS.
Datang ke TPS itu penting. Karena menurut Mahfud MD, dan tersebut di
fakta persidangan, salah satu modus kecurangan dalam pemilu itu ialah
adalah digunakannya kertas suara yang tidak digunakan oleh pemilih yang
tidak datang, dicoblos dengan calon tertentu. Saya sendiri belum
menentukan pilihan dan berniat mencoblos semuanya biar adil.
Pukul 9 pagi saya datang ke TPS dan langsung menuju daftar calon legislatif yang ditempel di luar bilik untuk melihat nama dan wajah-wajah mereka. Kadang-kadang kita bisa menilai seseorang dari garis wajah dan ekspresinya saat difoto, bukan?
Suasana TPS 1 Labuhan Badas pagi itu pun sudah cukup ramai. Mayoritas ibu-ibu. Menyimak mereka berbicara di depan daftar caleg, saya yang belum paham bahasa Sumbawa, mencoba memahami calon mana yang ada di hati mereka. Setidaknya untuk DPD saya kenal satu nama. Tokoh masyarakat setempat. Tokoh ini memang aktif membantu masyarakat bahkan jauh-jauh hari sebelum Pemilu.
Beralih ke DPR RI, ada nama Fachri Hamzah dari PKS. Saya sempat bertemu Fachri di Bandara Praya dua minggu lalu. Di tengah orang-orang yang tidak mengenalinya, pukul setengah 5 pagi itu, saya menyalaminya. Fachri memang putra asli Sumbawa, asal Utan. Sering kami plesetkan kalau Fachri itu Orangutan (baca: orang Utan). Sayangnya, hati saya tak terketuk untuk memilihnya. Dan beralih ke nama lain, mencoba mencari nama yang saya kenal. Alhamdulillah, nggak nyangka, ada satu idola saya bertengger di pojok kiri paling atas pula. Namanya Prof. Kurtubi. Ia salah satu tokoh yang paling vokal menentang kebijakan energi era SBY. Pendapat-pendapatnya logis meski ada beberapa yang out-of-date bila kita pernah menonton diskusinya dengan alm. wamen ESDM.
Berikut suasan TPS 01 Kec. Labuhan Badas pagi itu.
Dan ini bukti saya telah mengikuti pemilihan umum 2014, sebagai pemilu kedua saya dengan sukses dan bahagia.
Semoga saja, pemilu kali ini menghadirkan anggota legislatif yang baik, yang bukan seperti sekarang dengan gaji legislatif no. 4 tertinggi di dunia, tapi kinerjanya paling buruk. Amin.
Sebagai pegawai KPPN, dengan pola mutasi yang acak, saya ditempatkan di Sumbawa Besar, jauh dari kampung halaman di Banyuasin, Sumatra Selatan. Pada pemilu 2009 lalu, saya masih berkuliah di Bintaro. Dengan rela dan bersemangat, saya menyempatkan diri untuk pulang dan memberikan suara kepada calon legislatif yang saya kenal betul, dengan mengharapkan adanya perubahanke arah yang lebih baik di kampung halaman. Tapi kali ini, pulang dari Sumbawa ke Sumatra sama saja dengan menghabiskan satu bulan penghasilan.
Meskipun demikian, ada sisi di sudut kecil hati yang ingin memilih. Memilih adalah hak, bukan kewajiban. Sayang sekali rasanya jika sebuah hak tidak dipakai dan disia-siakan. Saya pun sempat mencari tahu prosedur pindah tempat coblos. Petugas satker KPU yang sering datang ke KPPN untuk minta TUP bermilyar-milyar itu mengatakan, awalnya, "Mas tinggal datang saja ke TPS, bawa KTP. Langsung bisa memilih." Tahunya ketika saya berselancar, saya menemukan prosedur formulir A5. Sayangnya, pada tanggal-tanggal yang dipersyaratkan, saya akan sedang berada di luar kota dan tidak bisa mengurus A5 tersebut.
Baru pada tanggal 1 April saya kembali ke Sumbawa, dan petugas satker itu datang ke kantor untuk mengantar SPM. Saya pun berkata, "Mas, bisa tolong mengurus A5. Ini KTP saya..."
Alhamdulillah, dia bersedia dan keesokan harinya dia mengatakan semuanya sudah diproses. Akhirnya saya merasa senang menjadi pegawai KPPN yang selain punya keuntungan kalau bikin SIM dan paspor (nggak perlu antri), ternyata diurus formulir A5 nya juga. Satu hari sebelum pemilu, formulir A5 saya pun diantar oleh petugas KPPS.
Pukul 9 pagi saya datang ke TPS dan langsung menuju daftar calon legislatif yang ditempel di luar bilik untuk melihat nama dan wajah-wajah mereka. Kadang-kadang kita bisa menilai seseorang dari garis wajah dan ekspresinya saat difoto, bukan?
Suasana TPS 1 Labuhan Badas pagi itu pun sudah cukup ramai. Mayoritas ibu-ibu. Menyimak mereka berbicara di depan daftar caleg, saya yang belum paham bahasa Sumbawa, mencoba memahami calon mana yang ada di hati mereka. Setidaknya untuk DPD saya kenal satu nama. Tokoh masyarakat setempat. Tokoh ini memang aktif membantu masyarakat bahkan jauh-jauh hari sebelum Pemilu.
Beralih ke DPR RI, ada nama Fachri Hamzah dari PKS. Saya sempat bertemu Fachri di Bandara Praya dua minggu lalu. Di tengah orang-orang yang tidak mengenalinya, pukul setengah 5 pagi itu, saya menyalaminya. Fachri memang putra asli Sumbawa, asal Utan. Sering kami plesetkan kalau Fachri itu Orangutan (baca: orang Utan). Sayangnya, hati saya tak terketuk untuk memilihnya. Dan beralih ke nama lain, mencoba mencari nama yang saya kenal. Alhamdulillah, nggak nyangka, ada satu idola saya bertengger di pojok kiri paling atas pula. Namanya Prof. Kurtubi. Ia salah satu tokoh yang paling vokal menentang kebijakan energi era SBY. Pendapat-pendapatnya logis meski ada beberapa yang out-of-date bila kita pernah menonton diskusinya dengan alm. wamen ESDM.
Berikut suasan TPS 01 Kec. Labuhan Badas pagi itu.
Dan ini bukti saya telah mengikuti pemilihan umum 2014, sebagai pemilu kedua saya dengan sukses dan bahagia.
Semoga saja, pemilu kali ini menghadirkan anggota legislatif yang baik, yang bukan seperti sekarang dengan gaji legislatif no. 4 tertinggi di dunia, tapi kinerjanya paling buruk. Amin.
Comments