Empat Ratus Tahun Cerita Lelaki
Setelah
memahami, Jakarta diciptakan untuk orang-orang yang sudah bosan hidup, sambil
mengagumi kendaraan yang lalu lalang, asap-asap yang keluar dari knalpot, dan
langit yang tak pernah lebih biru dari lautan, ia akhirnya bertemu Teruna.
Gadis itu keluar
dari taksi, memakai baju terusan rendah di bagian bawah berwarna merah marun,
tersenyum, lalu bertanya, “Sudah menunggu lama?”
Bakda mendarat
di Soetta tadi, ia diminta untuk menemui Teruna. “Naiklah Damri jurusan Lebak
Bulus, lalu turunlah di Slipi Petamburan.” Teruna mengirimkan pesan singkat.
Yang Teruna
tidak ketahui ialah, ia sudah hidup selama lebih dari 400 tahun dan menyepi di
daerah-daerah berpenduduk sedikit, menyaksikan orang lahir dan mati, perang dan
perdamaian, tetapi ia tidak pernah bosan menunggu untuk jatuh cinta, seperti
yang diramalkan Onang Sadino, Pak Tua yang mengaku bisa membaca garis tangan
dan membuka lapaknya di pasar Brang Biji beberapa tahun lalu, “Sebelum waktumu
berakhir Nak, kau pasti akan jatuh cinta, dan laki-laki sejati hanya jatuh
cinta satu kali seumur hidupnya.”
“Apa kamu
lelah?” Teruna mengajukan pertanyaan berikutnya.
“Aku hanya tidak
terbiasa dengan keramaian.” Ia menyandarkan tubuhnya di kursi, menghela
napas, mengeluarkan botol air minum yang
isinya tinggal sedikit, meneguknya, lalu menatap Teruna, “Arsenal pernah punya
kostum berwarna merah marun. Konon, itu warna kehidupan.”
Teruna memegang
tangan lelaki itu dan berkata, “Aku merasa jauh lebih hidup saat kamu ada di
sampingku sekarang ketimbang aku memakai pakaian ini.”
Baru semalam ia
berangkat dari Sumbawa, menyisiri garis pantai sampai Poto Tano. Malam itu,
ombak di selat Alas tidak begitu bersahabat. Barangkali ada seseorang yang
telah meninggalkannya ketika bermain ayunan. Jadi diombang-ambingkannya kapal
laut tua itu, sambil mengingat tragedi kapal tua Munawar yang tenggelam
beberapa bulan sebelumnya. Ia bisa saja berteleportasi. Tapi jangkauan
teleportasinya hanya sekitar 100km. Ia khawatir kemunculannya yang tiba-tiba,
dan kadangkala tidak dapat ia kontrol, akan membuat kehebohan bila mana ada
saksi mata yang menyaksikannya. Toh, ia sudah ingin hidup sebagai manusia
biasa. Kemampuan khususnya ingin ia tenggelamkan.
Gadis itu, meski
ia tak yakin apakah Teruna masih seorang gadis,
bilang telah jatuh cinta kepadanya, tanpa pernah bertemu sebelumnya.
“Bisakah kita merindukan
seseorang yang belum kita temui sebelumnya?” tanya lelaki itu.
Tapi sebelum
kita berlanjut menjawab pertanyaan itu, saya akan membawa kalian ke peristiwa
lain yang inshaallah masih saling
berkaitan, sebagai selingan.
Arsenal baru
kalah dari Bayern Munich malam itu. Ia seorang pencinta Arsenal. Kekalahan itu
membuatnya galau. Hari itu ia pergi ke Tanjung Menangis. Di sana memang lokasi
terbaik untuk memancing.
Saya kebetulan
sedang berkemah di Ai Loang, dan bakda Subuh memutuskan untuk menaiki perahu,
sendirian. Pagi-pagi begini ombak relatif tenang. Pulau Moyo yang tersohor
terlihat dari kejauhan. Dibelai angin yang lembut, saya membayangkan kekasih.
Perahu pelan-pelan menjauh dari daratan. Sebatang pohon yang tumbuh sendiri
agak jauh dari bibir pantai tampak kesepian.
Ketika menoleh
ke arah sebaliknya, di Tanjung Menangis itu, saya menyaksikan sosok itu, ia,
sedang memancing. Meski cahaya masih sangat sedikit, dan matahari yang biasa
akan terlihat terbit sangat sempurna masih mencoba membukakan mata, saya
katakan dengan pasti, ikan-ikan tampak lompat-melompat di sekitar kailnya.
Pada hari itulah
kami berkenalan, tapi ia tak mau menyebutkan nama.
Baru berjabat
tangan, ia bertanya, “Hal apakah kiranya yang paling tidak kamu percayai di
dunia ini, Kawan?”
“Tuhan. Dan
pemandangan yang baru saja saya lihat. Bagaimana mungkin ikan-ikan itu seperti
minta dipancing?”
“Banyak hal yang
belum kita tahu, dan kita cenderung tidak mempercayai hal yang tidak kita
ketahui.” Ia masih memegangi pancingnya, memandang lurus ke depan lalu kembali
berkata, “Apa kamu akan percaya jika kukatakan aku telah hidup selama lebih
dari 400 tahun di dunia ini?”
Saya terhenyak
mendengar ucapannya. Ikan-ikan melompat lebih tinggi. Cahaya kuning pertama
dari matahari terbit sampai di permukaan lautan. “Tidak mungkin, kecuali engkau
Khidir.” Saya menyangsikan.
“Kau asli Tanah
Samawa?” Ia menanyakan pertanyaan lain.
“Oh, bukan. Saya
baru tiga tahun dimutasikan ke sini.”
“Apa kamu
percaya yang namanya kesetiaan?” Pertanyaannya semakin mendalam
“Apa ini soal
perempuan?” Saya balik bertanya.
Dia pun menarik
pancingnya. Seekor baronang batu yang lebih besar dari telapak tangan tampak
menggeliat di ujung kail. Ikan berwarna hitam itu akan terasa enak bila dibakar
dengan cara yang tepat.
“Dulu, ada
seorang gadis. Dia mengejarku sampai ke tanjung ini. Ah, tidak berhenti sampai
di sini, ia terus mengejarku sampai ke sana,” ucapnya sambil menunjuk lautan.
Matanya berkaca-kaca. Saya tahu dia sedang sedih menceritakan kisah yang tampak
janggal itu. Tapi kalian harus tahu, segala hal yang tak masuk akal, di hadapan
cinta, segala hal itu pula dapat diterima. “Aku tidak tahu kalau dia akan mati
dengan cara seperti itu. Aku bahkan masih mengingat wajahnya yang sendu, yang
meneriakkan namaku ketika perahuku mulai menjauh. Aku pikir, itulah kematian
pertama yang aku saksikan di dunia ini, Kawan.”
“Nama? Engkau
punya nama?”
“Aku tidak punya
nama. Tapi dulu aku dipanggil Daeng Ujung Pandang.”
“Saya seperti
pernah mendengar kisah ini.”
“Kalau kamu asli
tanah Samawa, pasti kisah ini akrab di telingamu.”
Kalimat
terakhirnya tenggelam begitu saja. Saya memang sering tidak mau tahu dengan
cerita-cerita di Sumbawa. Sebab menjadi karib dengan tanah ini, akan membuatmu
semakin betah berada di sini. Saya sendiri ingin cepat-cepat pindah.
Selain tidak
tahu nama, saya juga tidak tahu tempat
tinggal lelaki itu. Tapi setiap kali pergi memancing, di mana pun, di Mamak, di
Batu Bulan, di Empang atau sampai di Teluk Santong sekalian, saya selalu
bertemu dengannya. Sampai kami sedemikian akrab. Sampai saya mau tidak mau
percaya dengan kisah-kisah yang diceritakannya.
~
Kembali ke
Teruna, saya mengenalnya di media sosial. Ia seorang gadis yang tangguh. Saya
pikir semua gadis yang hidup di Jakarta adalah gadis yang tangguh. Siapa yang
bisa tahan bila setiap pagi tak melihat burung-burung bertengger di atas pagar,
embun di atas daun, dan duka-luka yang tertumpuk seharian harus dicoreng-morengi asap kendaraan yang penuh
timbal.
Ia tersentak
ketika melihat profil Teruna di tablet saya.
Gadis mungil berambut panjang itu begitu menarik perhatiannya. “Aku sudah hidup
selama 400 tahun lebih, tapi baru kali ini aku menemukan wajah seseorang yang
mirip dengan wajah sang putri.”
“Max Galuppo
saja pernah menemukan lukisan dirinya, persis dirinya di Philadelpia Museum of
Art tanpa mengakui ia tidak pernah dilukis oleh seorang pun. Menariknya,
lukisan yang diberi judul Portrait of a Nobleman with Dueling Gauntlet
itu dibuat pada tahun 1562 di Italia.”
“Jadi apa
reinkarnasi itu ada?”
“Ada 7 not
dasar. Dari ketujuh not dasar itu, jutaan lagu tercipta. Dari jutaan lagu itu,
kalau ada yang mirip atau nyaris sama persis adalah hal yang mungkin. Baru-baru
ini Katy Perry dibilang menjiplak Nike Ardilla. Saya pikir itu hanya kebetulan.
Genetika juga seperti itu. Entah sudah berapa miliar manusia ada di muka bumi.
Jadi bila ada kesamaan, pengulangan genetika, itu suatu kewajaran.”
“Aku belajar
sesuatu darimu, Kawan. Ternyata kebijaksanaan bisa datang dari mana saja,
termasuk dari manusia seumur jagung.” Ia menjawab lalu tertawa terbahak-bahak.
Saya suka iri
melihat perawakannya yang relatif sempurna. Kulitnya secarah buah pir. Giginya
putih bersih. Rambutnya hitam dan tebal. Hidup lebih dari 400 tahun tak
membuatnya menjadi tambun.
Saya tidak tahu
apa rencananya terhadap Teruna ketika sekitar pukul delapan pagi WITA, ia
mengirimi aku pesan singkat, “Kawan, aku baru mendarat di Soetta. Sebentar lagi
aku akan bertemu Teruna.”
~
Lalu dimulailah
cerita ini. Ia sedang berada di taksi bersama Teruna menuju kawasan Palmerah.
Teruna mengajaknya singgah di kosnya. Saya tidak mau mengajak kalian
membayangkan hal yang akan terjadi di antara laki-laki dan perempuan bila
berada di ruang yang hanya ada tembok dan atap, berdua saja, lalu tirai ditutup
sehingga sulit bagi satuan cahaya terkecil sekali pun untuk mengintip.
Ia tidak
mengabari saya apa pun. Hari itu hari Sabtu. Saya memutuskan memancing di
Kencana. Bila beruntung akan ada anak-anak perempuan mandi di pantai.
Menyegarkan bila Tuhan memberikan kesempatan untuk cuci mata barang sejenak di
sana.
Saya tidak
mengerti makna kesetiaan. Matahari yang terbit dari timur ke barat itu juga
konon akan terbit dari barat ke timur. Bulan yang melayang di langit malam
tidak utuh sepanjang hari. Selamanya—apa ada kata selamanya, dan seberapa jauh?
Baru menjelang
malam hari, ia mengirim pesan, “Malam ini, Chelsea akan menjamu Arsenal. Aku
akan berada di kereta, tolong kabari aku perkembangan skornya ya.”
Kami berdua
sama-sama pencinta Arsenal dan saya tidak penasaran terhadap jawaban yang ia
dapatkan dari pertemuannya dengan Teruna. Siapa yang tahu bila malam itu,
Arsenal harus kalah enam gol tanpa balas dan kereta yang ia naiki berada di
atas rel yang tak memiliki ujung?
Barangkali hanya
kalian saja yang penasaran bagaimana sejatinya kisah ini harus diakhiri dan
saya yang tak mengerti perasaan saya bahkan sejak cerita ini dimulai.
(2014)
Comments