Catatan Pembacaan Aksara Amananunna, Karya Rio Johan (KPG, 2014)




Amanuensis Satiris

Beberapa waktu lalu, saya menyimak perdebatan di grup Sastra Minggu mengenai keberadaan Licentia Poetica di dalam karya sastra. Sejujurnya, saya tak menyukai perdebatan itu—hal mengenai penulisan “lamat” yang seharusnya “lamat-lamat”, atau “tuhan” yang seharusnya “Tuhan”, juga beberapa kata lain yang diperdebatkan. 

Hal di atas masih membekas di kepala saya karena tepat setelah itu saya membaca entah di mana, kalimat berikut, “Salah satu tugas sastrawan adalah merawat bahasa.” Ini mengingatkan saya pada Kurnia Effendi karena pernah berhasil menyumbangkan kata baru ke dalam KBBI. Menarik garis dari situ, ketimbang mengartikan Licentia Poetica sebagai kebebasan seorang sastrawan untuk menyimpang dari kenyataan, dari bentuk atau aturan konvensional, untuk menghasilkan efek yang dikehendaki—seperti kata Shaw, saya lebih sepakat jika keberadaan Licentia Poetica adalah untuk menggugat kekonvensionalan Pusat Bahasa yang bisa saja keliru dalam menyerap atau membakukan sebuah kata, bukan justru sebagai dalih atas keegoisan penulis yang ingin bertahan pada pendiriannya.

Pun saya lebih suka memandang Licentia Poetica a.k.a Artistic License di dalam karya sastra non-puisi sebagai cara untuk menginterpretasikan kembali suatu kisah atau mencari sudut pandang lain dari sesuatu atau mendistorsikan kejadian yang sudah dianggap lumrah. Hal ini bisa berarti kita menghilangkan atau menambah detil ataupun menyederhanakan atau merumitkan bentuk dari objek yang sudah ada tersebut. Maka, lahirlah film Mirror Mirror, Hansel Gretel, dan banyak judul film lain dengan sudut pandang yang berbeda. Hal seperti ini akan lebih produktif dan bermanfaat ketimbang berkonsentrasi pada aturan kebahasaan.

Ada 12 cerita di Aksara Amananunna. Rio Johan (selanjutnya akan saya sebut Rijon) melakukan hal itu di buku kumpulan ceritanya. Cerita yang menjadi judul ini sangat menarik. Amananunna terdengar karib di telinga saya. Saya menduga, Amananunna ini ada hubungannya dengan Amanuensis, yakni seseorang yang dibayar untuk menulis hal-hal yang orang diktekan. Istilah Amanuensis ini banyak digunakan di bidang akademik (baca: http://en.wikipedia.org/wiki/Amanuensis). Saya jadi membayangkan bila saya berada di posisi amanuensis. Saya hanya bisa menulis yang orang-orang katakan, saya tidak berhak menulis apa pun. Di sini, Rijon seolah ingin mengatakan bahwa setiap orang, setiap penulis pun harus memiliki bahasanya sendiri. Bahasa dengan gaya tutur berbeda akan memiliki daya ungkap yang berbeda. Demikian adanya dengan diri Rijon, gaya tutur Rijon berbeda dari kebanyakan penulis lain di Indonesia, meski bisa kita rasakan ada pengaruh dari beberapa penulis luar di cara berceritanya.

Bahasa lisan saja tidak cukup. Yang selanjutnya dibutuhkan adalah aksara. Bisa kita ingat di film 13th Warrior, Ahmad Ibn Fadlan yang diperankan Antonio Banderas menggambar bahasa di tanah salju. Ia mengenalkan aksara kepada bangsa Viking dan itu disambut kekaguman luar biasa. Pentingnya aksara juga tersirat dalam cerita Riwayat Benjamin. Orang yang mengenal aksara menunjukkan status mereka. Orang miskin tidak berpunya tidak punya kesempatan untuk bisa membaca, apalagi menulis. Di negeri kita, di luar segala kontroversinya, RA Kartini adalah perempuan penulis. Dia menulis surat-surat. Surat-suratnya abadi. Kamu ingin abadi? Menulislah.

Keunikan Rijon yang lain adalah slogan 12 manusia, 12 zaman, 12 cerita benar-benar mengejewantah di dalam buku ini. Tidak mudah mengonstruksi sebuah zaman yang belum pernah ada, apalagi membawa pembaca untuk masuk ke zaman tersebut. Ada beberapa yang kurang mengena, seperti cerita Tidak Ada Air untuk Mikhail, yang menurut saya belum membawa saya untuk bisa mendefinisikan zaman di dalamnya. Nama Boris, Brutus, Benjo, dan Mikhail tidak representatif untuk cerita yang disajikan. 

Konstruksi zaman yang begitu mengena adalah di dalam cerita Undang-Undang Anti Bunuh Diri dan Komunitas. Di sini saya mengingat urutan ramalan Vanga. Ia meramalkan di tahun sekian ribu sekian, sebelum zaman berakhir untuk selama-lamanya, manusia akan menemukan jawaban atas realitas dirinya. Saya menyepakati itu. Hidup ini selesai jika terjadi dua hal. Pertama, kamu menyerah dengan hidupmu. Kedua, kamu telah mendapatkan jawaban atas realitas hidupmu.

Bunuh diri menjadi isu nomor satu di tahun 21xx. Banyak satir yang disajikan Rijon di dalam cerita ini tentang kondisi kekinian masyarakat Indonesia. Misalnya mengenai HAM yang selalu jadi tameng pembenaran, pemerintahan yang hipokrit, dan ketakutan terdasar manusia untuk tidak dapat mempertahankan hidup yang berlebihan. Ketakutan terdasar, yang menjadi antithesis dari hasrat inti, juga pernah menjadi sebab kasus seorang perempuan terpelajar dengan 3 orang anak membunuh ketiga anaknya tersebut karena ia tidak yakin ia dapat menghidupi dan membesarkan anaknya dengan sempurna. Tuntutan menjadi sempurna juga yang dialami si perempuan selama hidupnya, yang ternyata memengaruhi keadaan psikologisnya. Konstruksi itu akan sempurna bila saja Rijon sedikit menambahkan refleksi keadaan parlemen Indonesia yang lambat dalam menghasilkan produk perundang-undangan yang bermutu sehingga dengan penghasilan nomor 4 terbesar di dunia, namun hanya mendapatkan nilai 4 dari skala 10 oleh penilaian beberapa tokoh bangsa. Saya tidak tahu, apakah dengan menggunakan “Perdana Menteri” sebenarnya Rijon sedang menggugat sistem Indonesia yang presidensial, namun kenyataannya bersikap parlementer. Terbukti dengan akrobatik koalisi bakda pemilu legislatif lalu. Partai politik sibuk mencari kemungkinan koalisi padahal koalisi hanya ada di sistem parlementer.

Di Komunitas, ada pertanyaan lain yang diajukan Rijon, “Jika manusia ditugaskan untuk berharap, lalu ia menyadari harapannya jauh panggang dari api, akan menjadi seperti apakah dia?” Saya tanpa ragu akan menjawab, hidupnya sama saja sudah selesai. Maka itu, Ibnu Taimiyah pernah bilang, manusia hidup perlu adanya keseimbangan anara khauf dan raja’, antara ketakutan dan pengharapan. Keduanya ibarat sayap burung yang mengepak di udara bebas. Bila saja salah satunya hilang, kemanusiaanmu akan limbung, Kawan. Namun itu saja tidak cukup, cinta adalah kepala burung. Hidup dengan cinta akan membuat kamu tahu harus kemana kamu akan pergi dan ingat ke mana kamu harus kembali. Kecintaan buta, tanpa sayap khauf dan raja’, akan menjadikanmu seperti Kavalier D’Orange yang mengamini setiap perkataan rajanya. “Bila raja mengkehendaki aku jadi perempuan, aku akan jadi perempuan. Bila raja mengkehendaki aku jadi lelaki, aku akan jadi lelaki.” Seram membayangkan bila Rijon di sini sedang menyindir keberadaan sifat taqlid buta yang kerap dimiliki manusia. Tapi lebih seram lagi, bila Rijon sedang menyindir sebuah hadits qudsi, “Aku adalah apa yang hambaku sangkakan terhadapKu.”

Semoga semua tulisan ini keliru.

Tabik.

Comments