Catatan Pembacaan Kedai Bianglala, Anggun Prameswari (Grasindo, 2014)
Tahukah kamu Capuccino yang tepat adalah terdiri dari sepertiga espresso, sepertiga susu yang dikukus dan sepertiganya lagi busa susu. Bedanya dengan Latte adalah proporsinya. Latte adalah kopi untuk belia. Rasanya lebih ringan dengan proporsi sepertiga espresso, setengah susu yang dikukus dan seperenam busa susu. Capuccino lazimnya diminum pagi hari bersama sepotong croissant.. Bahkan di Italia, ada larangan meminum capuccino di atas jam 12 siang.
Orang-orang Indonesia tampaknya mengabaikan itu. Termasuk di salah satu cerpen di buku ini, Laron dan Kunang-Kunang, sang tokoh pria memesan bergelas-gelas Cappucino pada malam hari. Aku bukan pencinta kopi, aku bahkan hampir tidak pernah minum kopi. Tapi bakda menonton Coffee Prince yang diperankan Yoon Eun Hyee, aku jadi mengerti, dunia kopi adalah dunia ketepatan dan presisi. Bahkan ada kompetisi barista kopi hingga pencicip kopi. Perbedaan urutan, waktu, sedikit saja, bisa mengubah aroma dan cita rasa kopi. Luar biasa.
Adalah hal yang baru bagiku membaca kumpulan cerita dengan tema dan cara yang disajikan di Kedai Bianglala. Perempuan banget. Inikah dunianya perempuan? Inikah common sense-nya perempuan?
Beberapa waktu belakangan, aku memang sengaja membaca buku cerita pop juga. Katakanlah ini semacam upaya memahami dunia pada umumnya. Bukan dunia sepi yang selama ini aku jalani. Untuk apa, aku juga ingin menulis cerita pop, tanpa harus mengorbankan idealisme.
Ada yang bilang laki-laki dan perempuan itu bak Venus dan Mars. Aku pikir keduanya berada pada galaksi yang berbeda. Sehingga untuk memahami Conditio Sine Qua Non atau syarat mutlak masing-masing begitu sulit. Akan ada banyak perbedaan definisi. Akan ada banyak pertentangan nilai. Miris, bukan? Ada satu cerita yang menurutku miris sekali. Aku sampai kesal membacanya. Kenangan Kembang Sepatu. Suami istri bercerai, tetapi aku tidak tahu sebabnya. Ada pernyataan dari tokoh perempuan, bahwa dirinya bukan lagi alasan pulang buat Banyu. Tidak diceritakan lebih detil, dari mana Sheila membuat kesimpulan itu, apa saja premis-premisnya. Cerita dimulai bahkan ketika masa idhahnya sudah mau selesai.
Mencoba masuk ke dalam cerita itu, aku teringat perdebatan di ILK beberapa waktu lalu. Tentang posisi perempuan. Di cerpen tersebut disebutkan Sheila memiliki pekerjaan. Banyu adalah alasannya pulang. Artinya, selama menikah, Banyu ada di rumah saat Sheila pulang. Ini berat bagi laki-laki mana pun. Biar deh mau disebut patriarkis kek, apa kek, tapi kami, laki-laki ingin selalu disambut istri tercinta saat pulang. Sebuah senyuman hangat di pandangan pertama, segelas teh hangat sudah disajikan di meja, dan ciuman panjang yang menuntaskan segala rindu. Mau Rosiana Silalahi bilang, apa sih lelaki ini soknya jadi pembuat kebijakan, pengatur, tapi hal seperti minta bikinin kopi atau teh saja masih minta tolong istrinya, manja sekali, itu adalah perbedaan definisi dan nilai tadi. Bagi laki-laki, melihat istri melakukan hal seperti itu bukan sebuah kejongosan, melainkan kemuliaan.
Ketiadaan situasi seperti itu memang akan membuat lelaki lelah. Harga diri lelaki biasanya sangat tinggi. Perasaan perempuan sangat sensitif. Kalau keduanya diadu, cocok deh, bisa berkelahi dan melahirkan keputusan-keputusan emosional. Apakah perceraian Sheila dan Banyu juga adalah perkara keputusan emosional itu, dan meski masih saling cinta, akibat harga diri, keduanya tetap tidak ingin saling kembali?
Ada yang tidak dimengerti oleh kedua insan tersebut. Ibunya melukis bunga sepatu di mug. Kembang sepatu acapkali disebut lambang kesabaran. Kembang sepatu adalah tanaman semak yang dulunya tidak dipedulikan orang. Ketika berbungalah, orang-orang baru memuji keindahannya dan berebut memetiknya. Masa mekarnya pun cukup berfase, yakni 5 hari, dan ada jenis tertentu yang sampai 20 hari.
Beberapa cerita lain, seperti juga After Rain, bersituasikan dosa termanis manusia. Cinta yang kadang pada kondisi tidak seharusnya. Si A punya hubungan asmara dengan Si B. Padahal Si A sudah menikah dengan Si C. Aku jadi bertanyatanya, apa penulis punya pengalaman seperti itu?
Sejujurnya, situasi seperti itu tidak menarik. Aku pikir omong kosong ada laki-laki yang bilang mencintai wanita lain selain pasangannya. Lebih tepatnya begini, laki-laki punya definisi berbeda soal cinta ketimbang perempuan. Laki-laki juga tidak mengenal kata selamanya. Cinta seperti hal lainnya juga punya masa kadaluwarsa seperti biskuit dan roti, daging kaleng dan mi instan. Apa pun. Laki-laki bisa jatuh cinta berkali-kali pada orang yang berbeda atau sama. Ketika cinta itu hilang, yang tersisa adalah kasih sayang. Kalaulah kemudian laki-laki yang sudah menikah berhubungan dengan wanita lain, yang kebanyakan adalah masa lalunya (laki-laki rentan sekali pada masa lalu), itu hanyalah sebuah obsesi fana, juga hasrat. Laki-laki selalu butuh selingan dan memuaskan obsesinya pada kemungkinan untuk merengkuh segala hal. Dan pasti, ia akan meninggalkan obsesinya itu ketika sudah merasa bosan. Tapi laki-laki tidak pernah mau jadi terdakwa, ia pasti akan mencari alasan yang klasik, yang sok-sok dramatis untuk perpisahan.
Laki-laki paham betul ini. Arti bezit dan eigendom. Hak punya dan hak milik. Laki-laki mana pun yang normal, pasti hanya ingin memiliki satu orang saja di dalam hidupnya. Satu yang punya hubungan hukum. Tapi ingin punya yang lain. Yang dimaksud dengan bezit ialah keadaan memegang atau menikmati sesuatu benda yang dikuasai seseorang baik atas upaya sendiri, maupun dengan perantaraan orang lain, seolah-olah benda itu adalah miliknya sendiri. Apa kamu jadi merasa laki-laki itu kejam dan tidak berperasaan? Ya. Karena itu aku tidak pernah pacaran sama laki-laki.
Tema di luar itu, rasanya aku nggak usah bahas satu-satu. Ayah. Orientasi kulit. Aku pikir buku ini telah memberikan aku penggambaran tersendiri tentang perempuan. Satu hal lagi yang aku suka, Anggun Prameswari sama seperti aku, kami memutuskan untuk tidak mengambil jarak dengan tulisan. Terasa sekali nyawa Anggun di buku ini. Seseorang yang menulis dengan nyawanya, akan bisa menyentuh nyawa pembacanya. Meskipun, kedekatan dengan tulisan itu resiko pada amisilasi karakter dan kebiasan sudut pandang yang masih kita lihat di beberapa cerpen di dalamnya. Tapi, sebagai pembaca, aku bisa mengabaikan itu dan menikmati buku ini, sambil meminum segelas air putih.
Tidak akan ada kopi.
(2014)
Comments
Anggun Prameswari