Sajak-Sajak di Majalah Bhinneka


Sonet, Akhir Perjalanan
Sekelebat, dingin Bandung membuatku teringat pada
aroma yang kau hidangkan. Sepanjang jalan Dago, kita
saling menatap dan membiarkan cinta berselingkuh, tanpa
angan-angan yang jauh. Mencintaimu pun hal sementara

dalam hitungan detik yang kian larut di antara dua bibir.
Kita saling berucap dan menampik kenyataan, hujan, dan
pelukan yang begitu hangat itu. Kapanlah kusingkap tabir
yang menyimpan kebohongan, tersembunyi, dan melenakan.

Akan kubuang dua piring steak yang kau hidangkan. Akan
kulenyapkan kenangan yang kau hadirkan. Akan kuhapus
semua ingatan yang telah pintar kau jejalkan.

Seolah-olah kita adalah sepasang burung yang lelah terbang.
Hinggap di dahan pohon dan bersiul bak kutilang, mengenang
segala macam rindu yang pernah bersarang.

Sajak untuk Kenangan
[1]
satu porsi martabak har dan es teh tawar di depan sekolah kita, jalan
jendral sudirman yang memantik perlawanan dari rakyat berbambu runcing,
sudah menjadi sejarah yang terpaksa kita salin
di buku harian
sebab jarak sudah memisahkan kita, di dua pulau yang terapung.
di pulau yang menitiskan raja-raja menjadi patung.
[2]
sebab di museum balaputera dewa, kita tidak menemukan kelaminnya
arca-arca rusak, kolam-kolam yang dulu penuh bulus sudah
tinggal fosil, dan beberapa ensiklopedia dibiarkan nama
terpampang tak berbentuk
kita duduk di taman, satu-satunya tempat yang menyediakan burung-burung
terbang. dan sebuah patung cupid buta sedang kencing berdiri
dan menertawakan kita yang tak kunjung bertukar bibir.
[3]
di sisi sungai musi, kita bermain tebak-tebakan, di mana sebenarnya
sriwijaya ditenggelamkan?
ampera yang merah, sungai yang kuning, dan langit yang hitam seperti
sedang ada seseorang yang belajar menggambar dan gagal mewarnai
kita tertawa, menertawakan ia yang mungkin tidak pernah masuk TK.
[4]
aku katakan kepadamu, dompetku tidak setebal diktat para mahasiswa
tidak setebal berkas kumpulan kasus pidana dan perdata yang tak
pernah selesai pada keadilan
daripada kita makan di warung legenda, kita ke jakabaring saja
menemui bapak penjual angkringan yang tabah meneliti minyak jelantah
aku katakan kepadamu, aku tidak suka memakan kembang gula, menonton
kembang api, dan merayu kembang desa. sebab
dadaku terlanjur kembung kempis untuk mengenangmu yang jauh
merajut kata-kata yang lepuh,
dulu.

Ujung Musim Kemarau
Aku tak melihat debu di ujung rambutmu. Bertanya
shampoo apa yang Kau gunakan, membuatku
teringat pada wangi dupa yang dibakar di kelenteng.
Kemarin Kau tengah menenteng seplastik luka,
aku pikir kenangan tak pernah begitu kejam, malam
kehilangan suara jangkrik, hari-hari dipenuhi influenza.
Selamat tinggal, Cinta; Bayangan randu yang meranggas,
seorang gadis duduk di ayunan tua, membiarkan roknya
digeniti angin, tetapi bukan Kau, bukan wangi serupa
yang kucium ketika hujan mulai membunuh dirinya
demi luka yang lain.

Pringadi Abdi Surya. Dilahirkan di Palembang, 18 Agustus 1988. Terpilih menjadi Duta Bahasa Indonesia tahun 2009. Karya-karyanya tersebar di berbagai media cetak. Buku kumpulan cerpennya berjudul Dongeng Afrizal (Kayla, 2011). Kini sedang menyiapkan novel triloginya Ganesha.

Comments

Popular Posts