Cerpen Suara Merdeka: Macondo, Melankolia (21 November 2010)
oleh: Pringadi Abdi Surya
“ALINA, tolong aku!”
“Kamu di mana sekarang?”
“Di kartu pos.”
“Kartu pos?”
“Iya, aku terkurung di dalam kartu pos.”
“Sontoloyo!”
Begitulah, Alina tidak percaya aku berada di dalam kartu pos. Seorang pria berkaca mata hitam dan bertopi khas koboi tiba-tiba menarik kerah bajuku sebelum memukul mataku—dengan tenaga yang cukup untuk meninggalkan lebam—lalu mendorongku masuk ke dalam kartu pos. Beruntung, setelah beberapa menit aku terpekur di dalam, memandangi lanskap kota tua yang sepertinya tak berpenghuni, kafe-kafe yang lengang, gerobak buah yang ditinggalkan, dan sobekan koran minggu yang terbang ditiup angin, aku sadar aku membawa handphone dan meski sisa pulsanya tidak cukup buat menelepon, masih ada sisa bonus SMS harian. Dan satu-satunya yang kupikirkan (dan berada dalam pikiranku) cuma Alina. Karena itulah aku mengirim pesan singkat kepadanya.
Beberapa saat yang lalu, aku berjanji untuk bertemu Alina di Kota X. Butuh waktu sekitar satu jam untuk mencapai kota X dari kota K. Aku sengaja berangkat lebih cepat karena hari ini aku tidak boleh terlambat. Tiga tahun sudah kami berpacaran dan memang hubungan kami cukup bermasalah dengan janji. Biasanya aku yang terlambat. Dan Alina akan menyambutku dengan muka yang cemberut dan kalimat-kalimat kemarahan yang biasanya bisa kuredakan dengan setangkai bunga, sebuah cincin, atau tingkah-tingkah lucu yang kulakukan dengan spontan seperti tiba-tiba naik ke meja lalu mengatakan cinta, atau maju ke area pemain band kafe dan mengambil gitar, menyanyikan lagu yang romantis untuk membuat hatinya luluh. Tetapi entahlah kali ini, sebuah mobil yang dikendarai ugal-ugalan di belakangku tiba-tiba menabrakku sampai mobilku terpental beberapa meter. Beruntung aku tidak apa-apa dan keluar dengan payah. Belum sempat aku meminta pertanggungjawaban, orang itu melakukan apa yang kujelaskan sebelumnya—mengurung aku di dalam kartu pos! Padahal hari ini aku mau melamar Alina dan waktu sudah mulai melewati pukul yang dijanjikan.
***
SELAMAT datang di Macondo [1], di kota yang tak pernah mengubah Anda menjadi tua, di kota yang segalanya tampak serba luar biasa, burung-burung tak pernah berhenti terbang, semua anak bermain layang-layang, dan tak pernah ada pintu gerbang—semua bebas datang atau pergi atau kembali!
Padahal pemandangan ini tampak seperti kota mati. Seperti habis terkena anima [2]—semua penduduknya diserap ke langit! Kota mati yang kutahu, selain Gunkanjima (sebenarnya bernama asli Hashima, tapi perawakannya yang seperti kapal perang itu membuatnya dinamakan demikian), memang rata-rata lahir dari pertambangan yang usai atau hubungan antarmanusianya yang masai. Mungkinlah, jika aku bertengkar dengan Alina (dalam sebuah pertengkaran akibat perselingkuhan—alasan satu ini memang tidak termaafkan), kekisruhannya akan menyaingi Tarakan yang seketika bisa membuat toko-toko tutup dan sekolah diliburkan.
Sobekan kertas koran yang tertiup angin itu mendadak berhenti tepat di depan kakiku. Aku menunduk dan dari posisi ruku’ kutengadahkan kepala mengikuti arah jalan. Pikiranku menebak-nebak ke mana jalan ini menuju. Berharap ada satu pintu jalan keluar yang akan mempertemukan kembali dengan Alina, ah, atau aku (kalau bisa) ingin menarik Alina ke dalam kota ini saja. Sepertinya akan jauh lebih romantis, berada di kota ini berdua dengan Alina, bahkan takkan malu-malu kuteriakkan cinta, memeluk dan menciuminya seolah-olah tidak akan pernah ada ciuman lagi setelahnya.
“Pikiran yang bodoh!”
Ya, memang pikiran yang bodoh.
“Kau tak akan bisa keluar dari sini.”
Seorang pria, dengan janggut keputihan dan kacamata baca yang tua sedang berjongkok di atas cerobong asap. Ia bercelana jins belel dan kaos putih kumal (yang kuduga bukan karena tak bisa mencuci, tapi memang airnya yang tak cukup bersih).
“Panggil aku Marquez.”
“Kau bisa membaca pikiranku?”
“Kau tidak sadar…kalau kau itu seperti sebuah halaman yang memberikan pembacaan utuh kepada pembaca.”
“Maksudmu?”
“Seratus tahun kesunyian…. Seratus tahun kesunyian adalah hukuman yang kau terima hari ini, dan nyaris empat ribu hari setelahnya.” Marquez tua menghela napas sebentar, “Dan tidak pernah ada malam.”
Bagaimana menghitung hari jika tak ada malam? Dan jika benar Macondo seperti yang tertera di papan jalan, kenapa Marquez tampak seperti lelaki tua yang payah?
“Aku tidak menua… Macondo tidak berbohong.”
Tapi aku tidak percaya.
***
TIGA tahun sudah kami berkenalan. Di sebuah resto sea fooddengan harga terjangkau untuk anak muda, aku melihatnya duduk sendirian. Hari itu, ia mengenakan busana yang manis sekali. Kaos warna oranye yang agak ketat (dalam arti membikin bentuk tubuhnya terlihat cukup jelas) membuat kulit putihnya itu menjadi terlihat benar-benar putih. Rambutnya sebahu. Dan tangannya sedang asyik menekan keypad handphone. Elyasa, sahabatku, bilang kalau wanita sedang sendirian dan bermain handphone, itu artinya dia sedang menunggu seseorang dan jangan diganggu. Tapi, sebut namaku tiga kali (Sakum, Sakum, Sakum) dan segala urusan akan menjadi mudah!
“Sendirian?”
“Seperti yang kau lihat.”
“Sakum.”
“Aku tidak bertanya.”
“Siapa yang kamu tunggu?”
“Seorang lelaki.”
Aku pikir dia bercanda dan kuberanikan menarik kursi untuk kududuki. Ya, cuma perlu sedikit keberanian untuk membuat cinta hadir dan dekat.
“Aku benar-benar sedang menunggu seorang lelaki.”
“Mungkin lelaki itu aku.”
Tiba-tiba Alina berdiri dan melenggang pergi.
Satu minggu kemudian, minggu yang tak pernah aku sangka-sangka dan sejak saat itulah aku yakin akan adanya jodoh, ikatan takdir,serendipity, atau apalah namanya, di antara kami. Dia sedang duduk di halte yang sama denganku, dan masih menggunakan kaos oranye—tentu dengan motif yang berbeda (sepertinya memang warna kesukaannya).
“Sedang menunggu lelaki?”
Dia menoleh.
“Kau menguntitku?”
Tidak.
“Tiga tujuh derajat celcius, dunia semakin panas ya, eh, aku belum tahu namamu.”
“Alina.”
“Dan menunggu lelaki?”
“Dia tidak pernah datang.”
Aku ingin bertanya lebih jauh, tetapi menurut Freud, dalam kondisi seperti ini tidak begitu baik untuk terus-menerus memberikan pertanyaan. Karena hal ini bisa dianggap sebagai desakan. Perempuan yang sedang sedih tidak suka merasa didesak. Perihal demikian malah membuat jarak.
“Dia mengirimiku kartu pos. Kami bertemu di dunia maya.”
Aduh, sebenarnya aku tak suka mendengar cerita klasik semacam ini. Seseorang berkenalan dengan seseorang yang lain di dunia maya, beberapa kali chatting, bertukar email, lalu jatuh cinta. Bah! Lelaki itu harus berani bertukar mata, dan sedikit kegilaan akan membuat kita dikenang. Minimal hadir dalam ingatan!
“Kau tahu namanya, alamatnya?”
Alina menggeleng. Dia menunjukkan kartu pos itu padaku. Tuan M. Kota M. Cinta adalah api yang terbakar tanpa sumbu. Hanya begitu isinya.
***
KALAU aku tidak terdampar di Macondo, entah sudah berapa lama aku di sini—jam tanganku tidak berfungsi, bersabar dan berharap ada burung-burung terbang yang dijanjikan, atau layang-layang putus, dan televisi menyala menyalakan channel-channel favoritku—yang tentu saja tidak didominasi sinetron, aku pasti sudah merasakan bibir Alina di bibirku (ya, jika beruntung bahkan kami bisa menghabiskan malam bersama di sebuah hotel bintang lima).
“Dasar laki-laki berpikiran kotor!”
Pada nyatanya, laki-laki yang mengaku bernama Marquez, yang sepertinya bisa membaca pikiran, dan tetap bersiul sendirian, duduk di kursi goyang dan membaca koran (entah sudah berapa kali dia membacanya), itulah satu-satunya mahkluk hidup yang bisa kulihat di sini. Lama-lama aku muak. Terlebih karena aku sama sekali tidak merasa lapar.
“Hei Sakum, kau tahu satu menit ada berapa detik?”
“Tentu, enam puluh. Anak kecil saja tahu.”
“Kalau satu tahun?”
“Ya, kalikan saja, 365 x 24 x 60 x 60!”
“Makanya kutanya kau…aku tak pandai berhitung.”
“31536000, jika bukan kabisat.”
“Sepertinya sudah waktunya.”
“Waktu?”
“Seratus tahun kesunyian, Sakum…seratus tahun kesunyian!”
Aku masih tidak mengerti.
“Kau mau menonton televisi bersamaku?”
Aku mendekatinya dan duduk di sampingnya. Sebenarnya aku penasaran apakah televisi itu akan bisa memancarkan siaran sebab yang kutatap sampai sekarang hanyalah gambar semut hitam putih yang tidak pernah menampakkan sesuatu.
“Terima kasih, Kum….”
“Terima kasih?”
Bug! Marquez memukul tengkukku.
Aku pingsan.
Saat aku terbangun, Marquez sudah tak ada.
***
HANDPHONE-KU yang sepertinya belum kehabisan baterai tiba-tiba berbunyi. Beberapa pesan masuk dan mengabarkan telah ditambahkan pulsa lima puluh ribu. Satu pesan lain selain pesan-pesan dari provider itu bertuliskan “AKU BAIK KAN?”
Kubalas, “SIAPA?” Tapi tidak dibalas-balas juga. Kuhubungi, nomor yang Anda tuju sedang tidak aktif. Pikiranku kembali ke Alina.
“Sayang, syukurlah kau mengangkat teleponku.”
“Jadi, masih berada di dalam kartu pos?”
“Iya, entahlah, sudah berapa lama aku di dalam sini.”
“Kamu baru telat enam jam kok.”
Nadanya mengejek.
“Jadi di dalam kartu pos ada kios jual pulsa?”
“Lho, bukan kamu yang mengisikan aku pulsa?”
“Aku? Mimpi kamu….”
Seandainya memang benar ini mimpi.
“Kita putus saja ya.”
“Hah?”
“Iya, PUTUS!”
“Kita kan sudah tiga tahun pacaran, kamu tega?”
“OK, apa kamu ingat kapan kita kali pertama bertemu?”
“Ya, tiga tahun lalu.”
“Kamu ingat apa yang aku katakan di halte?”
“Namamu Alina….”
“Lalu?”
“Ah, sepertinya cuma itu….”
“Beberapa jam lalu ada yang meneleponku. Laki-laki tiga tahun lalu itu datang lagi, dia bilang ingin melamarku.”
“Laki-laki? Tiga tahun lalu?”
“Ya….”
“Kau menerimanya?”
“Tergantung bagaimana dia menyatakan cintanya nanti….”
“Kau sudah tahu namanya?”
“Ya, tadi dia bilang namanya Marquez.”
“Marquez?”
“Marquez dari Macondo….” (*)
(2010)
Catatan:
[1] Nama Kota yang digunakan Gabrial Garcia Marquez di novelSeratus Tahun Kesunyian
[2] Hiro Mashima, dalam Fairy Tale, energi dari kota di balik langit
Comments