Catatan Hati: Penghargaan Diri, Penghargaan Orang Lain
"Barang siapa mengenal dirinya, maka ia mengenal Tuhannya. Barang siapa mengenal Tuhannya, maka ia tak mengenal apa-apa."
[Salahuddien GZ]Kadang-kadang saya bertanya, apakah saya telah benar-benar mengenal diri saya. Dua puluh empat tahun lebih saya hidup, saya masih merasa ada bagian diri yang tak saya kenali. Perjalanan demi perjalanan yang telah dilalui memang memberikan banyak pemahaman, tetapi yang telah dipahami belum membuat saya paham mengenai hidup.
Adik kelas saya, Indah Permatasari pernah bilang, kerap kita dipertemukan seseorang yang kita sayangi bukan untuk dimiliki, tetapi justru untuk mengajari kita sesuatu. Terlepas dari sayang dalam taraf spesial atau tidak, saya sering merasa bersyukur dikelilingi teman yang baik. Hanya saja dari sekian banyak teman itu, ada satu orang yang pernah terang-terangan mengkritik perangaiku. Namanya Isyatur.
Ketika SMA, satu-satunya akhwat yang kuhormati adalah Isyatur Radhiah ini. Terlebih karena Ronaldi, teman sebangkuku saat kelas III mengaku menyukainya. Hanya saja dia bilang, kesukaan itu tidak bertahan lama karena melihat Iis--begitu ia dipanggil--diantar pulang dengan motor oleh Irrohman. Tentu saja itu tidak menghapus rasa hormatku kepadanya. Pertemuan kami di pemilihan putra-putri SMAN 3 Palembang tidak banyak menyisakan percakapan. Dia terpilih sebagai Putri Intelejensi. Saya terpilih sebagai Putra Kepribadian. Tapi sesungguhnya, saya menilai dia yang lebih pantas menyandang gelar utama.
Melalui Ima, saya akhirnya tahu Isyatur memendam perasaan kepada Wilaga. Siapa yang tak suka Wilaga, juara umum II sekolah itu--pun bila saya perempuan, saya akan jatuh cinta pada teman sekamar selama di Bandung itu. Ya, karena itu pulalah, saya berkesempatan menyambung percakapan dengan Isyatur. Dia yang suka pada Wilaga akhirnya menukar kata-katanya denganku. Penghormatan saya kepadanya memang beralasan karena tak bosan-bosannya kami saling mengirim kata mutiara, motivasi atau pun nasehat. Chemistry yang terbangun saat itu membuat saya berpikir, apakah saya menyukai orang ini?
Sesungguhnya kekaguman, penghormatan, dan rasa suka itu hanya terpisah oleh tirai yang amat tipis. Seseorang yang belum mengenal dirinya dengan baik akan dengan mudah tersesat dengan pemahaman itu. Saya tak ingin tersesat, jadi saya memutuskan untuk menantang definisi itu. Pulang ke Palembang, saya ingin sekali menemuinya. Kami berjanji bertemu pukul 10.30 di depan SMAN 3. Namun dia datang terlambat. Nyaris pukul 12.00 dia baru datang. Saya menunggu alasannya, tapi dia bilang ada urusan. Dia tidak menjelaskan lebih lanjut.
Kami saling memberi hadiah. Tapi dia bilang jangan dibuka dulu. Ketika hendak pergi makan, dia setengah menolak. Katanya tak enak berboncengan yang bukan muhrim. Saya jadi ingat cerita Ronaldi, dan bertanya-tanya apa yang ada di hatinya. Pada akhirnya kami memang berboncengan ke tempat martabak telor. Hanya saja pulangnya, ia tak mau dan memutuskan untuk naik angkot. Saat itu saya menyadari sesuatu, perasaan saya kepadanya hanya didasari kekaguman semu. Seperti melihat sebuah pemandangan indah dari kejauhan tetapi ketika kita berada di dalamnya, ia tak seindah yang kita pikirkan.
Tak lama setelah itu dia menelepon. Dia bertanya hubungan ini sebenarnya apa. Dengan terbata kujawab, sebatas teman. Saat itu aku tahu dan sadar, bahwa dia bukan jodohku. Aku tidak merasakan gelegak di hati, tapi aku masih menghormati dia.
Sejujurnya, aku tak pernah jujur juga tentang diriku kepadanya. Suatu malam akhirnya aku mengaku tentang kondisi perasaanku. Dilemaku tentang perempuan-perempuan yang hadir di hidupku. Tapi dia seolah menolak mendengarkan lebih jauh. Saat itu aku bimbang, bertanya-tanya, apakah suatu hari ada seorang perempuan yang benar-benar mau mendengarkan apa adanya aku?
Kami berpisah bakda itu, tak ada komunikasi lagi, terlebih karena ponselku hilang. Sampai suatu hari ketika era Facebook menjamur, kami kembali saling terhubung. Dia sedang ada di Amerika, menempuh beasiswa kursus 3 bulan. Dia terlihat jauh lebih tegar dan dewasa ketimbang terakhir kami berkomunikasi. Sementara saat itu, egoku sedang tinggi-tingginya. Aku tengah bertransisi nyaris 360derajat, melucuti topeng/persona yang selama ini kukenakan. Akhirnya aku benar-benar tampak seperti seorang lelaki yang keras, dan penuh harga diri.
Dia terpilih sebagai Duta Bahasa 2008 dan menyarankan aku untuk mengikuti pemilihan itu pada tahun 2009. Maka kami kembali bertemu di Balai Bahasa. Dia memakai make-up tebal. Aku terheran-heran apa yang hendak ia tutupi. Aku selalu yakin, perempuan yang bermake-up tebal memiliki celah di hatinya. Singkat cerita, aku memang menang di Duta Bahasa 2009 Sumatera Selatan itu. Karena hendak mempersiapkan diri untuk menuju Tingkat Nasional, aku pun jadi banyak bertanya kepada Iis.
Di sanalah kritik itu dilayangkan. Suatu malam, pada pembicaraan di telepon dia berkata, "Pring, boleh nggak Iis ngomong sesuatu? Ada satu hal yang harus Pring sadari. Memang Pring sekarang punya apa saja, bisa meraih apa saja, tapi Pring belum jadi orang besar. Yang Iis tahu, orang besar itu selalu menghargai orang lain. Pring yang sekarang belum bisa menghargai orang lain." Tak lama setelah dia mengatakan itu, telepon tertutup.
Butuh waktu lama untuk meresapi perkataan Iis itu. Barangkali baru belakangan ini aku mencoba menghargai apa pun selain diriku. Aku seringkali terlalu memberi harga tinggi pada diriku padahal aku tak ada harganya. Aku terlalu sering meremehkan orang-orang di sekitarku padahal dari merekalah aku bisa mendapatkan pelajaran.
Setelah itu, kami memang tidak saling bertemu. Tapi aku masih mengingat sosoknya sebagai seseorang yang layak kukagumi dengan segala kelebihan dan kekurangannya. Oh ya, hadiah yang diberikannya itu adalah sebuah tasbih. Di dalamnya tertulis, "Semoga Pringadi selalu mengingat Allah."
Comments