Joko Pinurbo. Puisigrafi dan Hidup
Joko Pinurbo (jokpin) lahir di Sukabumi, Jawa Barat, 11 Mei 1962; bermukim di Yogyakarta. Belajar berpuisi sejak akhir tahun 1970-an. Karya-karyanya dimuat dalam berbagai bunga rampai; sebagian telah diterjemahkan ke berbagai bahasa. Ia sering diundang baca puisi di berbagai acara sastra. Selain digubah menjadi musik, sejumlah sajaknya juga dipakai untuk iklan. Buku kumpulan puisinya: Celana (1999), Di Bawah Kibaran Sarung (2001), Pacarkecilku (2002), Trouser Doll (terjemahan Celana; 2002), Telepon Genggam (2003), Kekasihku (2004, cetak ulang 2010), Pacar Senja (Seratus Puisi Pilihan; 2005), Kepada Cium (2007), Celana Pacarkecilku di Bawah Kibaran Sarung (cetak ulang tiga kumpulan puisi, 2007). Penghargaan yang telah diterimanya: Hadiah Sastra Lontar (2001), Sih Award (2001), Tokoh Sastra Pilihan Tempo (2001), Penghargaan Sastra Pusat Bahasa (2002), Khatulistiwa Literary Award (2005).
Ulang Tahun
Hari ini saya ulang tahun. Usia saya genap 50.
Saya duduk membaca di bawah jendela,
matahari sedang mekar berbunga.
Seorang bocah muncul tiba-tiba,
memetik kembang uban di kepala saya.
Ya, hari ini saya ulang tahun ke-50.
Tahun besok saya akan ulang tahun ke-49.
Tahun lusa saya akan ulang tahun ke-48.
Sekian tahun lagi usia saya akan genap 17.
Kemudian saya akan mencapai usia 9 tahun.
Pada hari ulang tahun saya yang ke-9
saya diajak ayah mengamen berkeliling kota.
“Hari ini kita akan dapat duit banyak.
Ayah mau kasih kamu sepatu baru.”
Karena kecapaian, saya diminta ayah
duduk menunggu di atas bangku
di samping tukang cukur kenalan ayah.
“Titip anakku, ya. Tolong jaga dia baik-baik.
Akan kujemput nanti sebelum magrib.”
Sebelum magrib ia pun datang.
Tukang cukur sudah pulang. Anaknya hilang.
“Ibu tahu anak saya pergi ke mana?”
tanyanya kepada seorang perempuan penjaga warung.
“Dia pakai baju warna apa?”
“Dia pakai celana merah.”
“Oh, dia dibawa kabur tukang cukur edan itu.”
Sampai di rumah, ia lihat anaknya
sedang duduk membaca di bawah jendela.
Kepalanya gundul dan klimis,
rambutnya yang subur dicukur habis.
“Ayah pangling dengan saya?” bocah itu menyapa.
Lama ia terpana sampai lupa bahwa uang
yang didapatnya tak cukup buat beli sepatu.
Gitar tua yang dicintanya terlepas dari tangannya.
“Anakku, ya anakku, siapa yang menggunduli nasibmu?”
(2011/2012)
Ibu Hujan
Ibu hujan dan anak-anak hujan
berkeliaran mencari ayah hujan
di perkampungan puisi hujan.
Anak-anak hujan berlarian
meninggalkan ibu hujan
menggigil sendirian di bawah pohon hujan.
Anak-anak hujan bersorak girang
menemukan ayah hujan
di semak-semak hujan.
Ayah hujan mengaduh kesakitan
tertimpa tiga kilogram hujan.
Ayah hujan dan anak-anak hujan
beramai-ramai menemui ibu hujan,
tapi ibu hujan sudah tak ada
di bawah pohon hujan.
“Kita tak akan menemukan ibu hujan di sini.
Ibu hujan sudah berada di luar hujan.”
(2011/2012)
Tangan Kecil
Tangan kecil hujan
menjatuhkan embun
ke celah bibirmu,
meraba demam pada lehermu,
dan dengan takzim
membuka kancing bajumu.
Tangan kecil malam
menyusup pelan
ke dalam hangatmu,
menemukan aku
yang sedang bergila-gila
di suhu tubuhmu.
(2012)
Sajak Kacamata
Saya tahu, jika saatnya tiba, saya akan memakai kacamata.
Kacamata yang kacanya terbuat dari kaca kata
dan matanya dari mata bocah yang haus cinta.
Ada senja kecil yang sedang berdoa di mata saya
dan doa terbaik adalah sunyi.
Seseorang akan memberi saya kacamata
untuk memancarkan cahaya sunyi senja
ke jalan-jalan yang dilewati puisi.
Saya tahu, pada akhirnya saya akan berkacamata.
Kacamata yang bingkainya terbuat dari logam mimpi
dan gagangnya dari tangkai hujan yang liat sekali.
Malam itu, setelah semuanya selesai, saya berjalan
menuju rumah mandi di atas bukit. Saya memakai kacamata
untuk menerangi jalanan gelap yang harus saya lalui.
Di rumah mandi telah berkumpul para kekasih insomnia.
Mereka semua mengenakan kacamata.
Seorang bocah menyambut saya dan berkata,
“Pesta mandi siap dimulai. Tuan sudah dinanti-nanti.”
Ia anak yang lahir dalam puisi; yang menjaga
sajak-sajak saya, bahkan ketika saya tak lagi berada
di tempat di mana ia berada. Ia yang memberi saya kacamata.
(2012)
Rumah Boneka
: Raden Suyadi
Kota telah tidur. Kata-kata telah tidur.
Hanya seorang pendongeng tua di atas kursi roda
mondar-mandir mengitari dingin malam
yang baru saja ditinggalkan para peronda.
Tiga orang boneka menghampirinya:
“Pak Raden, angin makin jahat.
Pulanglah ke rumah kami biar hatimu hangat.”
Di rumah boneka ia lihat fotonya selagi muda
sedang tersenyum kepada matahari
yang selalu tertawa. Tiba-tiba ia berdiri
dan tiga orang boneka menemaninya menari.
Tiga orang boneka akan menyelamatkan kenangan
dari akhir yang hampa. Selamat malam.
(2012)
Ingatan
Hujan masih mengingat saya
walau saya tak punya lagi daun hijau
yang sering dicumbunya dengan gila
sampai saya terengah-engah
menahan beratnya cinta.
Hujan masih mengingat saya
walau saya tinggal ranting kering
yang akan dipatahkannya
dan dibawanya hanyut dan sirna.
(2012)
Tahun-tahun Puisi
Puisi 1980
- Layang-layang
Puisi 1986
- Penyair Tardji
Puisi 1989
- Bulu Matamu: Padang Ilalang
- Tengah Malam
- Tukang Cukur
Puisi 1990
- Hutan Karet
- Pada Lukisan Monalisa
- Pohon Bungur
- Senandung Becak
Puisi 1991
- Di Kulkas: Namamu
- Penyanyi yang Pulang Dinihari
- Perjalanan Pulang
- Ranjang Kematian
Puisi 1992
- Kisah Seorang Nyumin
Puisi 1994
- Kisah Senja
Puisi 1995
- Bayi di Dalam Kulkas
- Di Salon Kecantikan
- Malam Pembredelan
Puisi 1996
- Boneka, 1
- Boneka, 2
- Boneka, 3
- Celana, 1
- Celana, 2
- Celana, 3
- Elegi
- Gadis Malam di Tembok Kota
- Jauh
- Keranda
- Kisah Semalam
- Korban
- Pulang Malam
- Ranjang Putih
Puisi 1997
- Boneka dalam Celana
- Dari Raden Ajeng Kartini untuk Maria Magdalena Pariyem
- Di Sebuah Entah
- Januari
- Malam Itu Kita Kondangan
- Perempuan Pulang Pagi
- Poster Setengah Telanjang
- Terkenang Celana Pak Guru
- Tuhan Datang Malam Ini
- Ziarah
Puisi 1998
- Daerah Terlarang
- Goyang
- Kalvari
- Ketika Pulang
- Kurcaci
- Minggu Pagi di Sebuah Puisi
- Pasar Sentir
- Patroli
- Taman
Puisi 1999
- Bercukur sebelum Tidur
- Di Bawah Kibaran Sarung
- Di Sebuah Lukisan
- Kacamata
- Kepada Penyair Hujan
- Malin Kundang
- Misbar
- Naik Andong Kehujanan
- Naik Bus di Jakarta
- Perahu
- Perburuan
- Pohon Perempuan
- Pulang Mandi
- Rumah Persinggahan
- Selimut
- Surat Malam untuk Paska
- Tahanan Ranjang
- Tamu
- Tetangga
- Toilet
- Topeng Bayi untuk Zela
- Tubuh Pinjaman
- Uban
- Utang
- Veteran
Puisi 2000
- Di Sebuah Mandi
- Doa sebelum Mandi
- Kain Kafan
- Kucing Hitam
- Luas
- Meditasi
- Mei
- Perempuan Jakarta
- Perempuan Senja
- Sakramen
- Sehabis Tidur
Puisi 2001
- Antar Aku ke Kamar Mandi
- Atau
- Bangunkan Aku Jam Tiga Pagi
- Bertelur
- Dangdut
- Di Pojok Iklan Satu Halaman
- Di Tengah Perjalanan
- Hampir
- Kebun Hujan
- Loper Koran
- Mudik
- Obituari Bambang
- Pacarkecilku
- Penagih Utang
- Pengamen
- Penjual Buah
- Pesan Uang
- Ronda
- Rumah Kontrakan
- Sepasang Tamu
- Serdadu
- Utan Kayu
Puisi 2002
- Aku Tidur Berselimutkan Uang
- Anak Seorang Perempuan
- Bayi Mungil di Kamar Mandi
- Bolong
- Bunga Kuburan
- Di Sebuah Vagina
- Doa Mempelai
- Gadis Enam Puluh Tahun
- Ibu yang Tabah
- Jurang
- Lukisan Berwarna
- Mampir
- Mataair
- Penjaga Malam
- Penjual Celana
- Penumpang Terakhir
- Penyair Kecil
- Perias Jenazah
- Rendezvous
- Tanpa Celana Aku Datang Menjemputmu
- Telepon Genggam
- Tempat yang Jauh dan Indah
- Tikus
Puisi 2002/2003
- Laki-laki Tanpa Celana
Puisi 2003
- Anjing
- Baju Bulan
- Buku
- Celana Tidur
- Cita-cita
- Di Bawah Pohon Cemara
- Dokter Mata
- Dua Orang Peronda
- E-Mail Tengah Malam
- Foto
- Ibuku
- Jam
- Justru
- Kanibal yang Malang
- Kecantikan Belum Selesai
- Kekasihku
- Kepada Puisi
- Koma
- Koran Pagi
- Laut
- Lebih Dekat dengan Engkau
- Lupa
- Malam Pertama
- Mandi
- Mandi Malam
- Masa Kecil
- Mata
- Ojek
- Pacar Senja
- Panggilan Pulang
- Pelajaran Puisi
- Penjual Kalender
- Perjamuan Petang
- Rok Mini untuk Nenek
- Rumah Cinta
- Sedekah
- Selamat Malam, Kanibal
- Selamat Tidur
- Selamat Tinggal
- Selamat Ulang Tahun, Buku
- Selesai Sudah Tugasku Menulis Puisi
- Sudah Saatnya
- Surat
- Teman Lama
- Tiada
Puisi 2004
- Aku Tidak Bisa Berjanji
- Aku Tidur di Remang Tubuhmu
- Batuk
- Bola
- Buah Bulan
- Bunga Azalea
- Celana Ibu
- Dengan Kata Lain
- Februari yang Ungu
- Hijrah
- Kosong
- Malam Ini Aku Akan Tidur di Matamu
- Matakata
- Penjual Bakso
- Penyair Panggung
- Ranjang Ibu
- Rumah Sakit
- Satu Celana Berdua
- Selepas Usia 60
- Telepon Tengah Malam
Puisi 2005
- Aceh, 26 Desember 2004
- Harga Duit Turun Lagi
- Himne Becak
- Malam Insomnia
- Mobil Merah di Pojok Kuburan
- Pesan dari Ayah
- Pohon Cemara
- Rambutku adalah Jilbabku
- Sehabis Sembahyang
- Seperti Apa Terbebas dari Dendam Derita?
- Winternachten, 2002
Puisi 2006
- Cinta Telah Tiba
- Dalam Demam
- Di Perjamuan
- Dua Ekor Celana
- Harimau
- Kepada Cium
- Kepada Jengki
- Kepada Mata
- Kepada Saya
- Kepada Uang
- Layang-layang Ungu
- Magrib
- Malam Suradal
- Pasien
- Pemulung Kecil
- Ranjang Kecil
- Sedang Apa
- Sehabis Sakit
- Selamat Tidur, Malam
- Surat dari Yogya
- Terompet Tahun Baru
- Usia 44
Puisi 2007
- Aku Tak Pergi Ronda Malam Ini
- Angkringan
- Bangkai Banjir
- Beethoven: Minuet in G Major
- Di Kalvari
- Duel
- Gambar Hati Versi Penyair
- Gaun Tidur
- Jalan Sunyi
- Jalan ke Surga
- Jeritan Bayi di Dasar Jurang
- Kaki Negara
- Kambing Hitam
- Kredo Celana
- Malam Pemadat
- Mendengar Bunyi Kentut Tengah Malam
- Pembangkang
- Penjahat Berdasi
- Puasa
- Puisi Telah Memilihku
- Rambut Curian
- Rumah Horor
- Sajak Panjang
- Selamat Malam, Jenderal
- Seribu Kunang-kunang di Jakarta
- Taman Hiburan Negara
- Terang Bulan
- Teringat Masa Kecil Saat Bermain Bola di Bawah Purnama
- Tukang Potret Keliling
Puisi 2008
- Mas
Puisi 2009
- Doa Seorang Pesolek
Puisi 2009/2010
- Liburan Sekolah
Puisi 2010
- Bulan
- Cenala
- Durrahman
- Embun
- Jendela
- Kamar Nomor 1105
- Kunang-kunang
- Malam Minggu
- Orang Gila Baru
- Pengamen Kecil
- Penyair Muda
- Sebentar
Puisi 2011
- Asu - Baru!!
- Baju Baru - Baru!!
- Kedai Minum - Baru!!
- Piano
- Tahilalat - Baru!!
Puisi 2011/2012
- Ibu Hujan - Baru!!
- Ulang Tahun - Baru!!
Puisi 2012
- Ingatan - Baru!!
- Rumah Boneka - Baru!!
- Sajak Kacamata - Baru!!
- Tangan Kecil - Baru!!
Ulang Tahun
Hari ini saya ulang tahun. Usia saya genap 50.
Saya duduk membaca di bawah jendela,
matahari sedang mekar berbunga.
Seorang bocah muncul tiba-tiba,
memetik kembang uban di kepala saya.
Ya, hari ini saya ulang tahun ke-50.
Tahun besok saya akan ulang tahun ke-49.
Tahun lusa saya akan ulang tahun ke-48.
Sekian tahun lagi usia saya akan genap 17.
Kemudian saya akan mencapai usia 9 tahun.
Pada hari ulang tahun saya yang ke-9
saya diajak ayah mengamen berkeliling kota.
“Hari ini kita akan dapat duit banyak.
Ayah mau kasih kamu sepatu baru.”
Karena kecapaian, saya diminta ayah
duduk menunggu di atas bangku
di samping tukang cukur kenalan ayah.
“Titip anakku, ya. Tolong jaga dia baik-baik.
Akan kujemput nanti sebelum magrib.”
Sebelum magrib ia pun datang.
Tukang cukur sudah pulang. Anaknya hilang.
“Ibu tahu anak saya pergi ke mana?”
tanyanya kepada seorang perempuan penjaga warung.
“Dia pakai baju warna apa?”
“Dia pakai celana merah.”
“Oh, dia dibawa kabur tukang cukur edan itu.”
Sampai di rumah, ia lihat anaknya
sedang duduk membaca di bawah jendela.
Kepalanya gundul dan klimis,
rambutnya yang subur dicukur habis.
“Ayah pangling dengan saya?” bocah itu menyapa.
Lama ia terpana sampai lupa bahwa uang
yang didapatnya tak cukup buat beli sepatu.
Gitar tua yang dicintanya terlepas dari tangannya.
“Anakku, ya anakku, siapa yang menggunduli nasibmu?”
(2011/2012)
Ibu Hujan
Ibu hujan dan anak-anak hujan
berkeliaran mencari ayah hujan
di perkampungan puisi hujan.
Anak-anak hujan berlarian
meninggalkan ibu hujan
menggigil sendirian di bawah pohon hujan.
Anak-anak hujan bersorak girang
menemukan ayah hujan
di semak-semak hujan.
Ayah hujan mengaduh kesakitan
tertimpa tiga kilogram hujan.
Ayah hujan dan anak-anak hujan
beramai-ramai menemui ibu hujan,
tapi ibu hujan sudah tak ada
di bawah pohon hujan.
“Kita tak akan menemukan ibu hujan di sini.
Ibu hujan sudah berada di luar hujan.”
(2011/2012)
Tangan Kecil
Tangan kecil hujan
menjatuhkan embun
ke celah bibirmu,
meraba demam pada lehermu,
dan dengan takzim
membuka kancing bajumu.
Tangan kecil malam
menyusup pelan
ke dalam hangatmu,
menemukan aku
yang sedang bergila-gila
di suhu tubuhmu.
(2012)
Sajak Kacamata
Saya tahu, jika saatnya tiba, saya akan memakai kacamata.
Kacamata yang kacanya terbuat dari kaca kata
dan matanya dari mata bocah yang haus cinta.
Ada senja kecil yang sedang berdoa di mata saya
dan doa terbaik adalah sunyi.
Seseorang akan memberi saya kacamata
untuk memancarkan cahaya sunyi senja
ke jalan-jalan yang dilewati puisi.
Saya tahu, pada akhirnya saya akan berkacamata.
Kacamata yang bingkainya terbuat dari logam mimpi
dan gagangnya dari tangkai hujan yang liat sekali.
Malam itu, setelah semuanya selesai, saya berjalan
menuju rumah mandi di atas bukit. Saya memakai kacamata
untuk menerangi jalanan gelap yang harus saya lalui.
Di rumah mandi telah berkumpul para kekasih insomnia.
Mereka semua mengenakan kacamata.
Seorang bocah menyambut saya dan berkata,
“Pesta mandi siap dimulai. Tuan sudah dinanti-nanti.”
Ia anak yang lahir dalam puisi; yang menjaga
sajak-sajak saya, bahkan ketika saya tak lagi berada
di tempat di mana ia berada. Ia yang memberi saya kacamata.
(2012)
Rumah Boneka
: Raden Suyadi
Kota telah tidur. Kata-kata telah tidur.
Hanya seorang pendongeng tua di atas kursi roda
mondar-mandir mengitari dingin malam
yang baru saja ditinggalkan para peronda.
Tiga orang boneka menghampirinya:
“Pak Raden, angin makin jahat.
Pulanglah ke rumah kami biar hatimu hangat.”
Di rumah boneka ia lihat fotonya selagi muda
sedang tersenyum kepada matahari
yang selalu tertawa. Tiba-tiba ia berdiri
dan tiga orang boneka menemaninya menari.
Tiga orang boneka akan menyelamatkan kenangan
dari akhir yang hampa. Selamat malam.
(2012)
Ingatan
Hujan masih mengingat saya
walau saya tak punya lagi daun hijau
yang sering dicumbunya dengan gila
sampai saya terengah-engah
menahan beratnya cinta.
Hujan masih mengingat saya
walau saya tinggal ranting kering
yang akan dipatahkannya
dan dibawanya hanyut dan sirna.
(2012)
Comments