Sebuah lagu yang telah Usang
: hasan aspahani
Naik-naik ke puncak gunung
Tinggi-tinggi sekali
Tapi aku bingung, gunung mana yang harus kudaki,
tak ada gunung di sini. Sudah dikeruk menjadi ceruk:
menjadi genang yang menggelinang, persis airmata
ibu saat aku tak mau bersembahyang
“Gunung itu, yang tersisa, sudah meletus tadi pagi,” kata
seorang bekas juru kunci yang tadinya mau hidup abadi.
Tapi lalu lari, mengungsi ke lapak-lapak di sebelah kali, yang
jika banjir pun, akan tenggelam. Akan terendam.
*
Kiri kanan kulihat saja
Banyak pohon cemara
Cemara mana, pohon mana. Langit-langit pun tak ada.
Bercak-bercak akar yang tersisa sudah dijual menjadi pepatah;
menjadi petuah yang menyunggingkan senyum di dua
sosok berpeci di lembar kertas berwarna merah hati
“Kanan telah konon. Kiri telah tiri. Lurus saja,
tak usah tengak-tengok,” kata seorang sopir bus
yang badannya telah berdaki, tak mandi
berhari-hari. Persis kendaraannya yang tak lolos uji emisi.
Naik-naik ke puncak gunung
Tinggi-tinggi sekali
Tapi aku bingung, gunung mana yang harus kudaki,
tak ada gunung di sini. Sudah dikeruk menjadi ceruk:
menjadi genang yang menggelinang, persis airmata
ibu saat aku tak mau bersembahyang
“Gunung itu, yang tersisa, sudah meletus tadi pagi,” kata
seorang bekas juru kunci yang tadinya mau hidup abadi.
Tapi lalu lari, mengungsi ke lapak-lapak di sebelah kali, yang
jika banjir pun, akan tenggelam. Akan terendam.
*
Kiri kanan kulihat saja
Banyak pohon cemara
Cemara mana, pohon mana. Langit-langit pun tak ada.
Bercak-bercak akar yang tersisa sudah dijual menjadi pepatah;
menjadi petuah yang menyunggingkan senyum di dua
sosok berpeci di lembar kertas berwarna merah hati
“Kanan telah konon. Kiri telah tiri. Lurus saja,
tak usah tengak-tengok,” kata seorang sopir bus
yang badannya telah berdaki, tak mandi
berhari-hari. Persis kendaraannya yang tak lolos uji emisi.
Comments