Main Petak Umpet

Kalah suit, aku yakin mereka sekiwit. Aku tak tahu
kenapa aku selalu memilih gunting. Bukan batu bukan
kertas. Aku terpaksa berjaga, menghitung sampai lima.
Tapi bilamana mereka minta tambah, aku pun menghitung
sampai lima puluh lima. Kalau sudah, tinggal aku bertingkah
peramal. Tukang prediksi. Mencari di mana mereka bersembunyi.
Bak truk yang terbuka, atap rumah, atau lubang sampah,
aku terbiasa bersembunyi di situ kalau mereka yang jaga.
Tapi kulihat-lihat tetap tak ada.

Aku ingin menangis, Ibu. Tapi ibu bilang cuma perempuan
yang boleh menangis. Seperti kadang kulihat ayah pulang
membawa kemarahan yang panjang. Teriakan yang
panjang. Sampai kemudian ibu memelukku dengan air
mata berlinang.

Lima puluh lima menit lebih aku mencari, aku bosan sendiri.
Aku tak peduli. Terus pulang ke rumah, mencari ibu. Di ruang
tamu, di dapur, di kasur atau di kamar mandi tempat aku
biasa berkumur pagi-pagi. Ibu juga tak ada.

Sepertinya sedang menantangku main petak umpet juga.

Comments