Aku Bayangkan Ampera Itu Terbelah Dua Persis Ambacang Yang Kau Cinta

#1
Mungkin sebab pondasi, bayanganku itu tak terjadi
atau jumlah lantai kami yang cuma sebilah panjang
lalu memanjang seperti bayang-bayang

menyambungkan seberang ulu dan ilir.

Tapi mungkin nanti, akan dibangun hotel di ampera itu
enam lantai dengan lima bintang yang menjulang
dan ku memanggilmu dari ketinggian, meneriakkan
sebuah dukungan untuk kiamatkan saja dunia
biar tak ada lagi cicak yang tertindas saat sedang merayap
mengendap dengan tiada derap.

Tapi derap sore itu, yang kau dengar adalah nyanyian kematian
atau sebuah sangkakala kecil yang ditupkan kunang-kunang.

#2
Amperaku ini adalah sebuah amanat penderitaan
seperti pesan yang masih sempat terkirim
oleh korban di reruntuhan itu

tapi kunang-kunang malam itu, saat kita bermain di pematang
adalah kuku dari nyawa-nyawa yang terbang
dan memantik kerinduan


#3
Suatu malam, aku bayangkan
ampera itu terbelah dua
aku yang sedang duduk memandang kapal ketek, rumah rakit,
dan sepasang ibu yang menyuci baju di air yang parit,
tiba-tiba terhenyak
seolah ada dua puluh dua mata dari langit
tengah menanti bau angit
dari darah
dan teriakan-teriakan
yang sengit


#4

Ambacang yang jauh, tempat kau terlelap
dalam tidur terakhirmu

mungkin cinta, dan bukan pondasi
yang seperti kukatakan tadi

atau kunang-kunang yang diam menyela
dan memanggil kenangan
dari sebuah masa kecil kita yang lampau
untuk mendengar
atau malah memainkan
sebuah sangkakala kecil
yang lain

lagi.

(2009)

*dalam mengenang korban-korban di Ambacang
sampai kini, jumlah korban tetap menjadi misteri

Comments