Tentang Seseorang yang Tiba-Tiba Ingin Jadi Cerpenis
#1
Sudah lima dukun ia datangi tetapi kelima-limanya mengaku pikun setiap ia bertanya bagaimana cara cepat menjadi cerpenis. Tidak, sebenarnya dukun kelima malah tertawa-tawa, mengolok-ngolok sambil memamerkan gigi-giginya yang kuning---tidak pernah digosok. “Oi bujang, ngapo la kau tanyoke hal cak itu. Kau tu la punyo penis. Ngapo masih nak jadi cerpenis? Ia cuma bisa terperangah mendengarkan pertanyaan itu. Ia tidak habis pikir, padahal dukun ini ngakunya lulusan S1 sebuah perguruan tinggi negeri sampai ijazah kelulusannya dibingkai di ruang tamu dengan pigura beremas sepuh. Mungkin biar pelanggannya makin yakin dialah dukun terhebat di negeri ini, satu-satunya dukun bergelar sarjana. Perguruan tinggi negeri pula.
Sakum mulai kehabisan akal. Tinggal seminggu tenggang waktu yang diberikan Maemunah, gadis dari desa tetangga yang dicintainya itu, untuk membuatkannya sebuah cerpen sebagai mahar jika Sakum mau mengawininya. Apalah Maemunah itu, padahal sudah mau diberikan segala yang Sakum punya sebagai pembuktian cintanya. Tapi, Maemunah malah minta dibuatkan cerpen!
#2
Mak Ida yang memang sangat sayang dengan Sakum mulai meratapi nasib anaknya itu. Mak Ida ingat, dulu ia pernah punya pacar seorang cerpenis. Itu dulu sekali, waktu Mak Ida masih perawan. Siapa yang tidak jatuh cinta pada cerpenis? Bang Benny namanya, seorang cerpenis yang tulisannya sudah merambah nusantara. Banyak perempuan sebayanya yang juga tergila-gila pada Bang Benny. Tapi tak disangka-sangka, Bang Benny malah menyatakan cinta pada Mak Ida. Bertahun mereka berpacaran sampai suatu saat Mak Ida menuntut pernikahan. Tidak elok pacaran terlalu lama. Nanti bisa jadi fitnah. Tapi, Bang Benny menggeleng---mengatakan tidak. Ia tidak mau terkurung dalam sebuah ikatan, apalagi pernikahan. Ia takut cintanya pada kata-kata akan luntur setelah menikah. Makanya ia tak mau menikah. Dan setelah itu, Bang Benny menghilang entah ke mana.
Karena itulah, Mak Ida tidak pernah mengajari Sakum menulis cerpen. Jangankan mengajari, setiap ada yang berbau cerpen, Sakum dilarang dekat-dekat. Mak Ida, bahkan, pernah menghujat guru bahasa Indonesia Sakum yang mewajibkan muridnya menulis cerpen sebagai syarat kenaikan kelas. Sakum menurut saja. Ia tidak pernah membantah Mak Ida. Dan tidak pernah tahu, hal-hal yang berbau cerpen akan menyakiti hati Mak Ida.
Tapi sekarang Mak Ida mulai menyesal. Ia tidak mau Sakum, yang sangat ia sayang itu, akan juga merasakan sakit hati, seperti yang ia rasakan dulu.
#3
“Kum, sudah makan kau?”
Sakum tampak malas-malasan menjawab, “Belum, Mak.”
“Makanlah, Nak. Gek kau sakit…”
Mak Ida berusaha membujuk Sakum yang sudah beberapa hari ini sangat malas makan nasi. Kerjaannya hanya mengunci dirinya sendiri di dalam kamar. Atau duduk di teras, memandangi langit sambil sesekali bergumam pelan. Gumam yang sangat getir.
Oh dek Maemunah, apalah yang kurang dari Abang
Akan kuberikan semua surga, bahkan jantungku, untukmu
Tapi apalah daya abang, yang tidak bisa membuat cerpen
Lama-lama Mak Ida juga turut menangis di dalam kamar. Menangisi Sakum. Menangisi Bang Benny yang sudah meninggalkannya pergi.
#4
Sakum tidak pernah bertanya, kenapa Maemunah menghendaki cerpen sebagai mahar pernikahannya? Sakum juga tidak pernah tahu bahwa Maemunah sesungguhnya juga mencintai Sakum. Sakum, anak Mak Ida, seorang pemuda yang tekun bekerja. Meski Sakum sudah ditinggal mati ayahnya sejak balita, itu tidak mengurangi kehormatannya sebagai laki-laki. Sudah sebuah perternakan ayam potong ia kembangkan, omsetnya jutaan. Untuk seseorang muda di sebuah lingkungan yang penduduknya mayoritas petani, Sakum sudah sangat luar biasa. Sakum juga sangat tampan. Badannya pun kekar. Jika dibanding-bandingkan, Sakum tak kalah lah sama artis-artis ibukota semacam Saiful Jamil atau Sutan Jorghi. Apalagi Sakum terkenal pandai berpuisi, pandai menyanyi, pun pandai bela diri. Tak ada yang kurang darinya.
Senang hati Maemunah saat Sakum melamarnya tiba-tiba. Akan tetapi, adalah wasiat ibunya yang menghendaki Maemunah menikah dengan seorang cerpenis.
#5
Tiba-tiba Mak Ida sudah berdiri di depan pintu kamar Sakum. Ia mengetuk pintu dua kali. “Ini Mamak, Nak. Bukakan pintu, ada yang Mamak mau bicarakan.”
Sakum membukakan pintu. Matanya tampak merah, tidak tidur semalaman memikirkan kata-kata untuk cerpennya yang tak mulai-mulai.
“Kum, dengarkan Mamak…”
Mak Ida mulai terisak. Sakum tampak kebingungan. Ia tidak mengerti kenapa Mamaknya tiba-tiba jadi begini.
“Carilah Bang Benny, secepatnya, waktumu tinggal tujuh hari kan?”
“Bang Benny? Siapa itu, Mak?”
“Cerpenis handal.”
“Cerpenis handal?”
“Iya, cukuplah itu yang kautahu.”
“Aku harus mencarinya ke mana, Mak?”
“Dia selalu berada di arah senja. Setelah sampai di kota, pasti kau akan mendengar namanya. Tak ada yang tak kenal dia.”
“Apa dia mau mengajariku, Mak?”
“Tenang saja. Dia pasti mau. Sebutlah kau anak Mak Ida, dia pasti akan mengajarimu.”
Sakum percaya. Malam itu juga ia berangkat ke arah kota. Ke arah senja yang baru saja terbenam.
#6
Matahari terbit, Sakum baru sampai di kota. Sisa-sisa keletihan tampak di wajahnya. Perjalanan jauh semalam membuat ia lapar. Ia pun berjalan pelan menyusuri pasar kota yang sesak dengan keramaian. Mencari makanan buat perutnya yang sudah keroncongan itu. Sakum pun memilih satu tempat, sambil mencoba mencari informasi tentang bang Benny.
“Mang, tahu tentang bang Benny?” Sakum memulai pembicaraan dengan pria tiga puluhan di depannya. Mang Juhai namanya.
“Bang Benny yang cerpenis handal itu?”
“Iya…”
“Tentu, siapa yang tak tahu dia!”
“Jadi, Mang Juhai tahu dia ada di mana?”
“Tidak. Tapi dia selalu berada di arah senja. Nanti, begitu senja tiba, carilah tempat yang paling dapat melihat senja. Konon, ia akan berada di sana. Aku juga tak begitu mengerti. Tetapi seperti itulah keadaannya.” Jawab Mang Juhai sambil mengipasi dagangannya untuk mengusir lalat-lalat yang mendekat. “Ngomong-ngomong kenapa kau mencarinya? Apa kau juga mau jadi cerpenis?”
Sakum menganggukkan kepala. “Kenapa Mang Juhai bisa tahu?”
“Kau bukan yang pertama, Nak.”
“Bukan yang pertama?”
“Ya, sudah beratus-ratus bujang sepertimu mencarinya. Semua bilang ingin jadi cerpenis. Ada yang bilang kalau jadi cerpenis bisa jadi kaya raya. Ada juga yang bilang semua wanita akan takluk di kaki cerpenis. Aku tak percaya.”
“Mang Juhai tidak percaya?”
“Ya, bagiku usaha halal macam inilah yang patut dipercaya. Buktinya aku sudah punya istri punya anak. Bisalah buat makan sehari-hari. Sedang Bang Benny, yang kau cari-cari itu, belum kawin-kawin juga!”
Sakum sebenarnya juga tidak pernah terpikir untuk menjadi cerpenis kalau Maemunah itu tak meminta cerpen sebagai maharnya. Maklum, Sakum sudah cinta mati sama Maemunah. Sakum jadi ingat, ia jatuh cinta pada pandangan pertama kepada Maemunah. Saat itu, Sakum sedang mengantar ayam ke pasar desa sebelah. Tak disangka Maemunah sedang berbelanja berdua dengan temannya. Apatah takdir atau entah, hati Sakum berdegup tak karuan. Beribu salam dan puisi ia kirimkan buat Maemunah. Tetapi ketika hatinya sudah bulat hendak melamar Maemunah, Maemunah malah minta dibuatkan cerpen. Terpaksalah kini ia mencari bang Benny. Satu-satunya harapan. Apalagi waktu tinggal enam hari lagi.
Sakum terus berjalan mencari arah senja. Ia hanya bisa percaya pada kata hatinya. Percaya bahwa cintanya pada Maemunah akan menuntunnya ke bang Benny.
Hari sudah mulai gelap. Arah senja telah membuatnya memilih arah Lubuk Parau, Lubuk Kesunyian, begitu daerah ini terkenal. Tidak ada siapa-siapa di sana selain surai-surai pohon tua yang kelihatan angker. Tapi Sakum tidak takut. Keinginannya tidak surut. Sampai ia melihat sosok berambut putih sedang mendekam di atas batu, melihat senja yang baru akan terbenam.
La i la, demit mendemit, setan sesetan, mati kau mati kau!
“Aku bukan setan. Toh kalau aku setan, serapahmu tadi salah, Kawan. Setan sudah mati.”
Sakum masih ketakutan, “Jadi siapa kau ini?”
“Aku? Bang Benny, yang kau cari-cari,” jawab lelaki itu sambil tersenyum.
Bukannya damai, Sakum malah tambah ketakutan melihat senyumnya yang lebih mirip seringai itu. Sakum masih terpaku di tempatnya. Dan sosok yang mengaku bang Benny itu beranjak dari dekamnya. “Hei kau, kau mau jadi cerpenis kan? Apa yang membuatmu yakin aku akan mengajarimu untuk menjadi cerpenis?”
“Aa…Aku anaknya Mak Ida. Mamakku bilang kau pasti akan mengajariku kalau aku bilang kepada kau, aku anaknya Mak Ida.”
“Mak Ida? Mak Ida dari desa Petani di Ujung Gerong? Kau anaknya?”
“Iya.”
“Hmm, apa Mak Ida juga cerita tentang resiko menjadi cerpenis?”
“Resiko?”
“Sebenarnya tidak bisa disebut resiko, tapi mungkin lebih tepat sebagai peringatan.”
“Peringatan?”
“Ya. Seorang cerpenis tak akan bisa menikah?!”
“Apa?! Tapi aku mau jadi cerpenis untuk bisa menikahi Maemunah.”
“Aku tak peduli,” jawab bang Benny enteng.
“Aku juga tak peduli. Pokoknya kau harus ajari aku!” Sakum ngotot minta diajari jadi cerpenis. Akhirnya bang Benny pun bersedia. “Baiklah, tapi ingat aku sudah memperingatkan kau.”
Sakum pun disuruh duduk bersila di atas batu yang tadi didekami bang Benny. Ia pun disuruh memejamkan mata. Konsentrasi. Dan tidak makan nasi selama empat hari empat malam. Sakum menyanggupi semua syarat itu, demi cintanya pada Maemunah.
#7
Tapa Sakum sudah selesai. Tulang-tulang rahang di pipinya tampak menonjol sebab ia sudah tidak makan nasi selama empat hari empat malam. Tapi bang Benny kadang menyuguhinya dengan kopi dan kue-kue saji yang biasa dipersembahkan penduduk desa kepada yang dianggap penghuni Lubuk Parau. Bang Benny mencurinya diam-diam, dan penduduk percaya bahwa penunggu Lubuk Parau telah menerima sesaji dari mereka itu.
“Bang, apa aku sudah sakti kini? Sudah bisa membuat cerpen?” Tanya Sakum penasaran.
“Nantilah itu, kau tes sendiri. Sekarang masih belum boleh.”
Bang Benny tampak merapikan rambutnya yang sudah memutih itu. Walaupun rambutnya putih, ia masih tampak muda. Sakum tak habis pikir, bagaimana Mak Ida dan bang Benny bisa saling tahu. Mamaknya sudah tua begitu, sementara bang Benny seperti pemuda berumur tigapuluhan, yang lagi matang-matangnya sebagai lelaki.
“Hei, aku belum memberitahumu satu rahasia lagi,” ujar bang Benny.
“Rahasia apa itu, Bang?” Tanya sakum yang makin penasaran.
“Kau tidak bisa tua,” jawab bang Benny serius.
“Maksud abang, aku akan tetap muda? Selamanya?”
Bang Benny menganggukan kepala. Sakum, entah bahagia entah berduka, malah tenggelam di dalam pikirannya sendiri.
#8
Sakum bertambah heran, bang Benny mengikutinya pulang kampung. Mau ketemu Mak Idah sekaligus penasaran dengan Maemunah yang membuatnya jatuh cinta, akunya. Sakum terpaksa percaya. Toh, ia tidak bisa menolak keinginan gurunya itu.
Sampai di desa, waktu yang dijanjikan tepat di hari terakhir. Sakum langsung datang menemui Maemunah, diikuti bang Benny tentunya.
“Wahai Maemunah yang Abang Sakum Cinta, Abang datang dengan membawa gembira. Abang akan membuatkanmu cerpen! Hari ini, di sini juga!” teriak Sakum dengan semangat-semangatnya. Maemunah yang melongok dari jendela tiba-tiba berlari turun dari rumah panggungnya. Sakum sumringah. Pasti Maemunah akan memeluknya.
Tapi perkiraan Sakum meleset. Maemunah malah memeluk bang Benny.
“Ayah? Kau ayahku ‘kan? Kau bang Benny, kekasih dari Mak Subah, ibuku?” Maemunah tampak penuh rindu. Sakum bingung sendiri dengan keadaan ini.
Sementara bang Benny cuma tersenyum. Sebenarnya bang Benny sendiri lupa tentang pernah ia meninggalkan benih di perut Mak Subah, dulu ketika ia masih muda, dan hobi bergonta-ganti wanita. Tapi tak ada wanita yang dinikahinya karena ia merasa mencintai semua wanitanya itu. Kalau ia pilih salah satu, pasti yang lain akan cemburu. Kalau ia nikahi semuanya, ia merasa tak sanggup mengurusnya. Jadi, bang Benny memutuskan pergi. Mencari senja---cinta yang ia anggap sejati.
“Oh, kau guruku, dan kau mertuaku kini. Takdir yang sempurna kan, bang?”
Sakum tambah sumringah. Sementara Maemunah masih memeluk tubuh bang Benny, menuntaskan kerinduannya pada ayah kandungnya yang hanya ia tahu dari wasiat yang ditinggalkan Mak Subah.
Akan tetapi, kondisi itu tidak berlangsung lama. Terdengar tiba-tiba teriakan kemarahan, “Hentikan! Hentikan! Tidak ada pernikahan antara Sakum dengan Maemunah!”
Ternyata Mak Ida. Matanya merah. Marah. Sakum yang tadi sumringah menjadi heran tak karuan. “Mak, Mak, ada apa?”
“Kau tahu, Kum… siapa bang Benny ini?” Mak Ida berapi-api.
“Tahu, Mak. Dia guruku. Dia calon mertuaku…”
“Dia juga ayah kandungmu!” sergah Mak Idah dengan cinta yang sepertinya patah. Sementara Sakum menatap bang Benny tak percaya. Begitupun Maemunah.
“Sudah kuperingatkan, bukan?” senyum bang Benny yang lebih mirip seringai itu.
Sakum membalikkan badannya. Ia tertunduk. Tanpa seorang pun yang tahu, matanya tiba-tiba berubah. Menjadi senja.
(2009)
Comments
hebat... keren banget...
bagusnya...
betul...betul...betu...
cerpenmu bagus ;)