Sajak-Sajak Sapardi Djoko

RUANG INI



kau seolah mengerti: tak ada lubang angin

di ruang terkunci ini



seberkas bunga plastik di atas meja,

asbak yang penuh, dan sebuah buku yang terbuka

pada halaman pertama


kaucari catatan kaki itu, sia-sia



CATATAN MASA KECIL, 4



Ia tak pernah sempat bertanya kenapa dua kali dua

hasilnya sama dengan dua tambah dua sedangkan satu kali satu lebih kecil dari satu tambah satu dan tiga kali tiga lebih besar

dari tiga tambah tiga. Sejak semula ia sayang pada angka nol.

Dan setiap kali ia menghitung dua tambah tiga kali empat

Kurang dua ia selalu teringat waktu terjaga malam-malam

Ketika ibunya sakit keras dan ayahnya tidak ada di rumah dan di

Halaman terdengar langkah-langkah bakiak almarhum neneknya

Dan ia ingin kencing tetapi takut ke kamar kecil yang dekat

Sumur itu dan lalu kencing saja di kasur.

Sungguh, sejak semula ia hanya mempercayai angka nol.



AUBADE





percik-percik cahaya. Lalu kembali hijau namamu,

daun yang menjelma kupu-kupu, ketika anak-anak bernyanyi—

melintas di depan jendela itu

lalu kembali cahaya sebutanmu, hatiku pag ini



DI DEPAN PINTU





di depan pintu: bayang-bayang bulan

terdiam di rumput. Cahaya yang tiba-tiba pasang

mengajak pergi

menghitung jarak dengan sunyi



AKU TENGAH MENANTIMU






aku tengah menantimu, mengejang bunga randu alas

di pucuk kemarau yang mulai gundul itu

berapa juni saja menguncup dalam diriku dan kemudian layu

yang telah hati-hati kucatat, tapi diam-diam terlepas



awan-awan kecil melintas di atas jembatan itu, aku menantimu

musim telah mengembun di antara bulu-bulu mataku

kudengar berulang suara gelombang udara memecah

nafsu dan gairah telanjang di sini, bintang-bintang gelisah



telah rontok kemarau-kemarau yang tipis; ada yang mendadak sepi

ditengah riuh bunga randu alas dan kembang turi aku pun menanti

barangkali semakin jarang awan-awan melintas di sana

dan tak ada, kau pun, yang merasa ditunggu begitu lama




KELERENG





Kalah main, kelerengku tinggal lima butir. Aku anak

laki-laki tidak boleh manangis, kata Ibu. Kupungut

kelereng itu satu demi satu, kumasukkan ke saku. Di

jalan pulang, selalu kuraba-raba sebab khawatir kalau-kalau

ada yang terjatuh dri lubang kantung celanaku.

Ketika mau belajar, selesai makan malam, kudapati

kelerengku berkurang satu. Kutaruh semua yang sisa di

atas meja, tak ada lagi yang bulat sempurnya sebab

seharian berbenturan dengan sesama, tetapi di mana

gerangan kelerengku yang belimbing, yang warnanya

biru? Aku anak laki-laki, tidak berhak menangis, kata

Ibu.

Aku boleh saja tak peduli, tetapi kelerengku yang lain

— yang bintik-bintik, yang belimbing coklat, yang susu,

dan yang loreng merah hijau — akan selalu bertanya

padaku di mana gerangan temannya yang satu itu. Itu

sebabnya aku harus mencarinya, tetapi ke mana aku tak

tahu.

Comments