Mainok, Juara I Lomba Cerpen LGBT 2012 Lembaga Bhinneka
[Perihal
Ia dan Kelaminnya]
Lalu apa hubungannya, antara lelaki
yang memamerkan kelaminnya dengan Mainok?
Warga dusun Sukawaras yang berjarak
delapan belas kilometer dari kota Palembang memang masih akrab dengan dunia
penormaan. Bahwa kelamin harus ditutupi dari lutut sampai leher adalah wajib
bagi perempuan dan laki-laki tetap masih tidak boleh bertelanjang dada apalagi
memamerkan kelaminnya yang sebatang pendek lalu menegang dan bergoyang-goyang
seperti mencari sasaran.
Jalan kakilah ke Pasar Senggol—di sanalah dunia penormaan
sepertinya diabaikan oleh nama yang diabadikan di hari Selasa, di pasar yang
becek, di jalan sempit yang dipaksakan dua arah memaksakan laki-laki dan
perempuan harus berjalan saling senggol untuk bisa nyelempit sambil berhati-hati kalau-kalau ada copet yang siap
memangsa dompet. Nah, kalau kau sudah sampai ujung pasar yang biasanya dipenuhi
bekas sayur busuk dan sampah-sampah plastik, di sanalah ada lelaki tua yang
begitu dekil dengan rambut seperti sapu ijuk telanjang bulat tengah memamerkan
kelaminnya sambil tersenyum menantang. Lelaki tua yang teranomali akibat
ketidakwarasannya itu sudah rela saja kalau kau mengambil gambarnya, merekam
tiap tingkah lakunya bahkan ketika berak pun, ia tak akan masalah.
Akan tetapi, untuk perihal kelamin,
jangan sekali-kali kau pamerkan kelaminmu di depannya, kalau kau tak mau ia
marah. Ia begitu sensitif untuk urusan yang satu ini, sebab menurut ‘konon’, ia
laki-laki yang dulu begitu bangga dengan kelaminnya sampai-sampai mengatakan tak
ada perempuan yang tak puas apabila telah merasakan tidur barang satu malam
saja dengan dirinya. Tentu, siapa yang percaya dengan orang gila macam dia?
Begitu kemari, dia sudah merasa dirinya seorang sarjana pendidikan. Keesokan
harinya dia mengaku dokter. Dan lusa dia sudah menanggalkan pakaian dan mengaku sebagai
bintang film bokep internasional yang
kelaminnya sudah disiarkan ke penjuru dunia!
[Perihal
Ia dan Masa Lalunya]
Satu dari sedikit yang pernah
mengenal Mainok kecil adalah Kak Harnok, pelatih kampung yang kepalanya plontos
dan berumah di samping lapangan sepakbola pinggir jalan raya. Ia sudah puluhan
tahun melatih dan sudah banyak prestasi yang diraih untuk timnya apabila itu
seukuran kebupaten Banyuasin semata. Tetapi kalau sudah harus main ke luar
kabupaten, AMS (Tim Anak Muda Sukawaras) itu tak ada bunyinya. Bukan karena
kalahnya kualitas, tetapi tidak ada dana. Dana buat menyogok perangkat
pertandingan alias wasit yang selalu memihak kepada tuan rumah. Belum lagi
ancaman para pendukung
lawan yang mulai seperti kerasukan apabila AMS mampu memasukkan bola duluan. Pantaslah kalau kepala Kak
Harnok ini plontos seperti bohlam. Pusing memikirkan persepakbolaan Indonesia.
“Dia itu pintar.” Kak Harnok memulai
cerita. “Meski sekarang banyak yang tidak mengingat Mainok, aku ingat betul
kalau dia pernah mengerjakan soal kelas enam SD waktu dia masih kelas tiga!”
lanjut Kak Harnok sambil menerawang seperti mencoba mengumpulkan puing-puing
ingatan.
“Jadi kapan ia mulai jadi gila
seperti itu?” tanyaku penasaran.
“Dia dapat beasiswa ke Palembang.
Aku dengar sampai SMA dia masih juara. Tapi setelah itu...” Kak Harnok diam,
menghela nafasnya. Lalu dia berjalan mengitari dagangan mainan dan perlengkapan
sepakbola yang sangat ramai dibeli ketika Sriwijaya FC juara liga Indonesia
2008 lalu.
“Setelah itu bagaimana, Kak?”
tanyaku lagi dengan tak sabar.
“Perempuan...”
“Perempuan?”
“Perempuan memang racun!” Aku
menangkap ekspresi kemarahan dari matanya. Ya, Kak Harnok pun ditinggal pergi
oleh istrinya karena dianggap mandul, tak bisa memberikan keturunan. “Yang aku
tahu para perempuan mengejarnya. Kau pasti tak percaya yang satu ini..., mereka
menyekap Mainok lalu memerkosanya bergantian!” lanjut Kak Harnok dengan mata
yang berkaca-kaca.
“Perempuan memerkosa laki-laki?”
tanyaku heran.
“Ya, bagaimana mungkin ada perempuan
yang bisa memerkosa laki-laki? Siapa yang percaya pada hal gila macam itu?
Orang-orang di sini merasa waras dan balik menuduh Mainok yang telah melecehkan
seorang anak gadis. Aku ingat, dia diusir dengan dilempari batu sampai
berdarah-darah, dan kau tahu... sepuluh tahun kemudian dia kembali dengan
keadaan gila seperti itu. Tapi aku tak menganggapnya gila. Aku pikir dia lebih
jujur terhadap perasaannya sendiri ketimbang penduduk dusun ini yang bersembunyi
di balik topeng kewarasan yang mereka bangga-banggakan itu!”
Aku rasa sudah cukup untuk meminta
keterangan Kak Harnok yang kini tengah larut dalam emosinya. Kau mungkin saja
telah menganggap bertambah satu lagi orang gila di dusun ini tersebab
perempuan. Tapi aku tak menyangkal ucapannya barusan, kalaulah perempuan itu
racun. Hanya saja para lelakilah terlanjur hobi meminum racun dalam hidupnya.
[Perihal
Ia dan Pikiran]
Bicara tentang perasaan, tak pernah
ada kepastian jawaban. Orang gila dibilang kehilangan pikiran itu sudah lumrah.
Lalu bagaimana dengan perasaan?
“Nok, 234 dikali 57 berapa?”
Ternyata benar kalau Mainok suka
diganggu oleh anak-anak sekolah yang sedikit berani meski terkadang Mainok
mengejar mereka sambil memamerkan giginya yang kuning (dan tentu kelaminnya).
Aku merekam pemandangan itu baik-baik. Dasar anak-anak sinting, mana mungkin
menanyakan perkalian berhasil lima digit pada orang gila!
Mainok tampak mengangkat kedua
tangannya, menggerakkan jari-jarinya. Tak sampai sepuluh detik ia berteriak,
“13338!”
Anak-anak mengeluarkan kalkulator.
Aku mengeceknya di handphoneku. Dan
tepat sekali! Sepertinya aku harus meralat ucapanku tadi. Sepertinya Mainok
tidak kehilangan pikirannya. Sepertinya
dia memang pintar seperti yang kak Harnok katakan. Sepertinya tiba-tiba dia
melotok ke arahku yang tengah merekamnya. Sepertinya dia akan mengejarku!
[Perihal
Aku dan Alasan]
Siapapun akan marah kalau dikatakan
anak Mainok. Ucapan itu sama saja dengan kata kampang atau pilat yang
bisa bikin orang-orang mengambil golok atau samurai dari rumah kemudian
mengacungkannya ke mukamu.
Dan ucapan itu pula pernah diucapkan
kepadaku, oleh ibuku sendiri.
Mainok, orang gila satu-satunya di
dusun Sukawaras yang suka memamerkan kelaminnya itu mana mungkin ayahku. Ayahku
tentulah Suhaemi, kepala dusun yang sudah susah payah menyekolahkan aku sampai
ke luar kota. Kuliah. Tidak seperti Mainok yang cuma lulusan SMA. Jadi kalau
kau sedang menebak aku anak kandung Mainok, kau sudah keliru, kecuali kalau
cerita omong kosong Kak Harnok sialan itu benar adanya. Toh, dalam perkosaan
yang bergilir, bayangkan saja bagaimana caranya bisa meninggalkan benih pasti?
Tetapi, apakah aku mengacungkan
golok atau samurai ke ibuku?
Haha, aku tak mau jadi malin kundang
baru. Apalagi berniat jadi batu, tentu itu tak masuk dalam cita-citaku. Untuk
urusan cita-cita pun, aku merasa ditipu. Kata pepatah, boleh kita
menggantungkan cita-cita setinggi langit, bebas ingin jadi apa. Tetapi, yang
terjadi, orangtua selalu saja ikut campur dalam menentukan hidup anaknya.
Ah,
begini saja, kita mulai semuanya dari pertanyaan awal cerita ini, lalu apa hubungannya antara lelaki yang
memamerkan kelaminnya dengan Mainok?
Bagi kami, Mainok adalah suatu
inspirasi. Dia tidak gila. Dia makhluk berseni tinggi. Seperti mutiara hitam di
dalam lumpur. Seperti patung-patung malaikat di Vatikan yang kemudian
‘dihilangkan’ kemaluannya oleh orang-orang bodoh yang tak menganggap kelamin
adalah bentuk keirian Tuhan kepada manusia!
Maka aku (kami) merekam Mainok itu
sebagai suatu pendahuluan dari sebuah cita-cita yang dianggap gila oleh warga
dusun Sukawaras ini, termasuk ibuku yang kemudian menuduhku anak Mainok tatkala
aku mengungkapkan keinginanku untuk jadi gigolo.
Palembang, 2010-2012
Pringadi Abdi Surya. Dilahirkan di Palembang, 18 Agustus 1988. Sekarang
bekerja di KPPN Sumbawa Besar. Buku
kumpulan cerpennya yang sudah terbit Dongeng
Afrizal (Kayla, 2011). Bercita-cita mengoleksi 1 juta buku di rumahnya.
Blog: http://reinvandiritto.blogspot.com
Comments