Prolog Ramadhan: Menunggu
Bagi aku pribadi, cara untuk mengukur keimanan seseorang adalah dengan akan datangnya Ramadhan. Kalau seseorang itu merasa bahagia Ramadhan akan datang, kemungkinan besar dia adalah manusia beriman. Sebaliknya, jika ada keberathatian, mungkin iman sudah menjadi alien di dalam hidupnya. Saya pribadi, alhamdulillah, bahagia sekaligus khawatir, ini pertanda iman saya sudah tipis.
Pukul 16.XX saya menghadiri acara pre-ramadhan. Ada siraman rohani di aula KPPN Sumbawa Besar. Tapi ini tidak seperti yang dilakukan Munarman. Siraman di sini hanyalah metafora. Ustad Wildan namanya, kata Gus Choi, dia gurunya Pak Juanda. Artinya dia Salafy. Terkait Salafy, saya teringat baru-baru ini akan Muhammad Mursi, presiden Mesir yang dikudeta militer. Partai An-Noor yang notabene Salafy seolah diam saja akan kudeta itu. Bingung juga memikirkan kelompok Islam, di antara Ikhwanul Muslimin, Hisbut Tahrir, Syiah dan Salafy kok nggak pernah akur. Gus Choi bertanya kepada saya, mana yang akan saya pilih? Saya jawab, saya tidak bisa memilih sesuatu yang menebarkan kebencian. Saya akan pilih kedamaian.
Nah, di Ramadhan ini juga saya kerap merasakan kedamaian. Itulah hal yang membikin saya bahagia. Salah satu resolusi di bulan ini adalah menulis catatan harian di blog ini. [Resolusi Lain] Sebab salah satu aktivitas yang membuat saya bahagia adalah menulis. Aku bahagia karena aku menulis. Ah.
Kembali ke soal menunggu, saya paling benci menunggu. Saya beberapa kali dibuat menunggu oleh perempuan, kemudian saya menjauh dari perempuan-perempuan itu. Kecuali Zane, dialah yang menunggu saya. Maka saya datang menjemputnya.
Soal Zane, dia tadinya mau berpuasa hari ini, karena keluarganya di Solok juga berpuasa hari ini. Tapi sidang itsbat memutuskan puasa pada hari Rabu, 10 Juli 2013, saya pun berkata kepada Zane, "Setidaknya di dalam satu rumah kita jangan berpuasa pada hari yang berbeda." Akhirnya dia pun ikut saya berpuasa pada esok hari.
Tahun demi tahun, perbedaaan ini tidak berhenti terjadi. Muhammadiyah yang menggunakan metode hisab sementara pemerintah lebih mengedepankan ru'yatul hilal, melihat bulan. Saya pribadi, akan ikut pemerintah karena hukum asal sesuatu itu tidak akan berubah meski kemajuan telah terjadi. Seperti halnya haram memakan babi. Katanya karena ada cacingnya. Jika pun ada teknologi yang dapat mengenyahkan semua cacing itu, babi tetap akan haram. Nah, begitu pun menentukan bulan. Bila dulu lebih diprioritaskan melihat bulan/hilal, sekarang pun akan demikian.
Ambigunya memang, dulu ada seorang badui Islam yang mengaku sudah melihat bulan, lalu ia disumpah, maka dimulailah Ramadhan saat itu. Nah, sekarang di Indonesia sendiri, saksi dari Cakung mengaku melihat bulan, tapi pemerintah mengabaikan itu. Ini yang jadi pertanyaan besar, apalagi melihat ke belakang, tahun demi tahun, Saksi dari Cakung ini selalu mengaku melihat hilal, tapi tidak pernah digubris. Ini yang salah. Seharusnya pemerintah mendampingi saksi terkait guna melihat apakah dasar penglihatan hilalnya benar. Karena, bila kejadian begini terus diulang-ulang, sampai tahun-tahun ke depan tidak akan ada perubahan. Masyarakat akan terbagi dua. Dalam hal ini, saya tidak memandang itu sebagai suatu perbedaan yang berkah. Rasanya lebih baik kita memulai Ramadhan dan Idul Fitri bersamaan.
Padahal tadinya saya hanya mau menulis tentang menunggu, tapi malah melantur kemana-mana....
Comments