Catatan Hati: Milestones


Beberapa waktu lalu, saya iseng blogwalking dan menemukan kata milestone. Ternyata milestone ini adalah istilah gaulnya untuk pal kilometer, sebuah batu untuk menunjukkan kilometer dari batas kota. Dan percayakah kamu, saat kecil dan sampai kini, bila saya menempuh perjalanan darat, saya suka sekali memperhatikan pal kilometer itu. Bahkan saya tahu pal kilometer 17 dari Kota Palembang bertempat tepat sebelum lapangan sepak bola Raider 200!

Bukan hanya tentang jarak, hidup juga punya milestones. Saya sendiri selalu menjadikan Ramadhan sebagai cara melihat ukuran diri. Ramadhan nanti adalah Ramadhan ke-25 saya, tetapi yang dihitung sejak baligh, sejak kelas 2 SMP, maka ini akan menjadi Ramadhan ke-13 saya. Tentu, angka 13 tidak seharusnya menjadi angka sial, apalagi bagi PNS, angka 13 adalah angka mujur karena ada gaji dan tunjangan ke-13. Eh.



Ramadhan selalu indah di masa sebelum baligh. Saya tidak puasa. Atau hanya puasa burung kepudang. Ketika sahur, saya ikut bangun. Tapi nanti, sekitar pukul 12 siang atau sepulang sekolah, saya akan membatalkan puasa. Pernah kelas 4 SD, saya menahan lapar sampai pukul 4 sore sebelum muntah-muntah, lalu makan mie dan muntah lagi.

Mie memang menjadi makanan favorit saat itu. Mie adalah makanan mewah, yang biasa dimasak 1/2 porsi... atau 2 bungkus mie akan dimasak untuk keluarga besar kami yang terdiri dari 7 orang. Telurnya sendiri akan diremah, diaduk sampai seperti bubur dan kami akan berebut bila ada potongan telur yang terlihat relatif besar.

Ketika beranjak dewasa, ramadhan berubah menjadi kawah candradimuka. Di saat-saat inilah saya berusaha menggodok kualitas keimanan saya. Mulai dari target mengkhatamkan Alquran, shalat dhuha, shalat tahajud, menghemat berbicara karena kata-kata dengan mudahnya dapat menyakiti orang lain. Saya berani bilang, masa-masa keemasan saya dalam Ramadhan adalah saat kelas 1 dan 2 SMA. Di saat-saat inilah saya merasa melihat langit. Kami akan membaca Quran, lalu bertanya "Sudah juz berapa?" Kalau dirasa kalah, semangat akan berlipat untuk menyusul.

Ada satu hal lagi yang saya kenang, karena Ramadhan di kelas 1 SMA itu penuh cinta. Ceritanya begini, aku ikut pesantren ramadhan, karena rajin kemudian dipilih mewakili kelas untuk seleksi peserta pesantren ramadhan terbaik. Entah kenapa akhirnya aku terpilih dan di malam terakhir itu, ada muhasabah. Aku pun
ikut serta. Itu kali pertama aku menginap di sekolah. Nah, sejak beberapa waktu sebelum itu ada seorang gadis menarik perhatianku. Dia memakai kerudung. Anak pakai kerudung hampir pasti ikut ROHIS. Karena ini gaweannya ROHIS, aku meyakini dia akan ikut menginap juga malam ini.

Asumsiku itu terbukti, dia ada. Saat sedang mengantri mengambil wudhu, dia dan segerombolan jilbaber melintas. Aku memperhatikannya. Dia tidak memperhatikanku. Aku menyukainya. Dia tidak tahu aku menyukainya. Dan cinta yang rahasia itu menjadi begitu indah. Terlalu indah....

Ramadhan-ramadhan selanjutnya masih indah, namun kemudian kurasakan keimananku menipis dan ramadhan makin terasa biasa-biasa saja. Hanya 2 tahun lalu, ya hanya 2 tahun lalu, ramadhan pertama bersama istriku, tetapi bukan cintaku ketika SMA itu yang terasa begitu indah. Apalagi dirinya dalam keadaan hamil muda. Dan kami terpisah begitu jauh dari keluarga. Sumatra ke Nusa Tenggara membuat kami hanya bisa bergantung satu sama lain, tidak ada orang lain.

Tetapi keindahan itu masih belum berbanding lurus dengan keimananku. Aku malas tarawih, tadarus pun tidak sempat khatam. Shalat sunnah tidak berjalan baik. Shalat wajib pun sering di akhir waktu. Itu menyakitkan untuk sebuah tonggak keimanan karena gagal menjadi sebuah ukuran perbaikan. Aku tidak tahu, apakah Ramadhan kali ini akan ada perubahan dari dalam diriku...

Istriku menyebutnya impuls. Perubahan momentum. Dan perubahan momentum membutuhkan energi yang besar. Tetapi bukan berarti tidak mungkin. Semoga Ramadhan kali ini segala hal keemasan itu dapat terulang kembali, tetapi bukan di bagian jatuh cinta lagi.... :)


Comments