Cerpen: Raftel



Pulau yang menjadi tujuan seluruh bajak laut itu tidak pernah benar-benar ada. Kau mengatakan hal itu seolah-olah kau sendiri pernah membuktikannya. Kau memang selalu seperti itu, keras kepala dan egois. Tidak ada versi kebenaran lain di dalam kamus kebenaranmu. Delapan tahun sudah kita bersama-sama membaca One Piece, kini kau bilang Raftel tidak ada, Oda akan mati sebelum menamatkan cerita.
“Aku sudah bosan mengikuti mimpi-mimpi Luffy!” Kau membentakku di Gokana. Kita tengah kencan, kau tak paham situasi. Orang-orang memperhatikan kita dengan pandangan aneh. Tapi kau tak peduli. Kau masih melototiku dan berkata, “Bisa kau tutup komik itu sekarang?”
Pelayan baru meletakkan ramen pesananmu. Aku memesan nasi goreng. Aku bersumpah tidak akan memakan ramen yang identik dengan Naruto. “Luffy tidak suka ramen…” kataku sinis kepadanya.
“Pring, begini, sebentar lagi kita menikah, kita harus berhenti tentang semua ini…”
“Sebentar lagi bulan Ramadhan, kau tidak boleh marah-marah,” kelitku.
“Ramadhan masih 2 bulan lagi!”
“Begitu pun pernikahan kita…”
Kau tidak menjawab. Kau malah memegang sumpit padahal asap masih mengepul dari permukaan mangkuk. Lagu Konayuki milik Remioromen mengalun pedih, mengingatkanku pada cerita satu liter air mata  yang berhasil membuatku menangis histeris sejak episode kedua. Seorang gadis SMA mengalami penyakit langka, kehilangan fungsi-fungsi sarafnya. Aku tidak mau kehilangan fungsi sarafku karena aku takut tak dapat mengindraimu. Aku juga takut tak dapat menghargai setiap kenangan yang pernah kita lalui bersama, meskipun itu tidak umum—sangat tidak umum. “Alina, kamu ingat kenapa kita bertemu?” Mendadak aku bertanya.
Kau mendongakkan kepala, kembali menatapku, “Hujan,” jawabmu singkat.
“Bukan.” Jawaban itu bukan yang kuharapkan.
“Lalu?”
“Komik ini.”
One Piece. Ya, itu versimu.”
“Aku lebih suka two piece….”
Kenangan itu seharusnya muncul di kepalamu. Hujan. Taman bacaan di samping sekolah menjadi satu-satunya tempat berteduh. Halte tengah diperbaiki. Atapnya tak mampu melindungimu dari rintik hujan. Lalu kau berlari tegopoh-gopoh dengan tas menutupi kepala, sudah basah, mulai menatapku, lalu pura-pura tidak menatapku, mencuri-curi pandang lagi ke arahku, sebelum bertanya, “Kau sedang membaca One Piece?” Dan aku menjawab, “Aku lebih suka two piece…” Sambil menelan ludah melihat air telah membuat pakaianmu menerawang untuk menggoda kelelakianku.
Nyatanya setelah aku pinjamkan jaketku, kita berkenalan dan sekolah kita yang bersebelahan, alamat kita yang berjauhan, dan hobi kita yang nyaris sama—kau suka menggambar, aku hobi membaca buku bergambar—menjadikan kita dekat dan semakin dekat. Sampai kini, setelah bertahun berpacaran, kita akhirnya akan menikah.
“Aku tidak yakin, Pring… apa aku, apa kau siap menjadi seorang suami dan istri.” Kau mengganti topik ke arah yang lebih serius.
“Apa maksudmu, membaca komik bukanlah sebuah hal yang dewasa?” Aku masih tidak serius.
“Ayolah, kapan lagi kita membicarakan hal ini, Pring? Akhir bulan ini aku akan pulang. Aku tidak tahu kenapa aku jadi sesensitif ini. Mungkin benar kata orang, semakin dekat kita k pernikahan, kita akan semakin cepat tersinggung, merasa semuanya serba salah, tidak yakin pada diri sendiri dan pasangan… atau apalah itu….” Kau memasukkan mie ke mulutmu lagi.
“Kau bertanya, tapi sudah tahu jawabannya,” jawabku ketus. Aku makin kesal melihat ramen yang tidak kusukai itu seperti meledekku di antara kita. Aku tidak suka bertengkar. Tidak suka berdebat. Itu melelahkan. “Kalau hanya ini yang ingin kau bicarakan, kita pulang saja!” Gantian aku yang mengeras.
Lalu hari berikutnya kau pulang, dan hanya mengirimiku pesan singkat, “Aku pulang ke Palembang sekarang, kau mau terus atau berhenti?”
Dan ketika kucoba meneleponmu, ponselmu tak aktif. Mungkin sedang di pesawat. Pun keesokan dan keesokannya lagi, kau hanya menjawab, “Kata Mama, aku harus dipingit. Kita tak boleh sering-sering berbicara, itu tak baik buat calon pengantin. Jadi terus atau berhenti?”
Hari berlalu, aku tak mungkin berhenti mencintaimu. Aku pun tak mungkin berhenti membaca chapter demi chapter yang keluar tiap minggu di mangastream Ace akan dieksekusi. Luffy pasti akan mengorbankan nyawanya ke Impel Down demi membebaskan Ace.
“Kalau aku akan dieksekusi, apa kau akan menyelematkanku, Pring?” tanyamu suatu saat.
“Siapa yang akan mengeksekusimu?”
“Tuh kan, kau tidak menjawab “ya” atau “tidak”…”
“Ya, siapa?”
“Malaikat maut…”
Aku diam sejenak, “Bahkan aku akan mencintai kematianmu, Alina…”
“Lebih dari kematian Ace?”
“Ace tidak akan mati.”
“Kau masih belum memahami Oda rupanya…” Inilah yang tidak aku suka darimu. Kau selalu seolah tahu segalanya, seolah paling paham diriku. Padahal semua itu masih asumsi, belum hipotesis. Kau tidak punya satu pun bukti yang cukup kuat untuk mendukung argumenmu. “Ace akan hidup dan menjadi saingan Luffy, percayalah!”
“Bahkan Luffy pun akan mati muda, senasib dengan Roger. Orang-orang baik selalu mati muda. Orang-orang yang dicintai pun sama halnya… Chairil, Gie, aku, Oda pasti memahami itu…”
Sayangnya saat itu aku tak terlalu memperhatikan kata-katamu. Sinyal di telepon kurang baik. Hari hujan. Jakarta akan dipenuhi genangan air. Kemacetan akan menjadi pemandangan paling indah di dunia.
Begitulah kita, yang kemudian disibukkan dengan urusan persiapan pernikahan. Aku mencari souvenir, pihak perempuan mempersiapkan urusan tempat dan sebagainya. Sampai pada mas kawin, selain cincin berukiran namamu, aku ke Blok M Square yang di emperannya bertebaran para pelukis-pelukis jalanan. Mereka kelihatannya dapat begitu mudah membuat sketsa dari foto, karikatur dengan hasil yang lebih bagus dibanding di tempat lain. Aku menyerahkan foto kita dan sepasang foto Monkey D. Luffy dengan Nami. “Bisa foto ini dibuat kartunis seperti gambar ini?”


~

            Setelah segalanya seperti siap, pernikahan adalah hal paling indah di dunia. Pasti ketika Luffy menemukan One Piece yang diidamkannya, perasaannya akan sebahagia aku. Aku mengucap akad. Meleleh air mata Alina. Kemudian aku mencium keningmu. Itu pasti ciuman terlembut yang pernah ada di dunia.
            Sengaja kami pilih pernikahan ini satu minggu sebelum puasa karena berpuasa bersama-sama sebagai suami istri adalah salah satu harapan kami. Dan pastinya dalam jam-jam yang dilalui itu akan begitu romantik jika aku berbaring di pangkuannya sambil membaca komik.
            Malam pertama yang ditunggu semua pasangan pengantin baru kebanyakan cuma mitos. Mereka akan kelelahan dan tertidur lelap di malam pertamanya. Tapi aku sudah minum madu, sudah minum purwoceng, sudah makan habatussaudah dan segala macam ramuan untuk menjadi lelaki perkasa. Aku tak akan jatuh dengan mudah. Tapi malangya, kau yang jatuh tepat sebelum rangkaian acara berakhir. Aku tak sempat menahan tubuhmu. Tubuh terempas di lantai. Sepertinya sakit. Dan kau harus masuk rumah sakit.

~

Oda mencandaiku ketika akhirnya Ace mati di Marine Ford tepat setelah Luffy membebaskannya. Tuhan pun mencandaiku ketika Alina ternyata mengalami pendarahan otak karena kejatuhannya tepat setelah kami menjadi pengantin. Barangkali pengarang dan Tuhan punya kesamaan untuk menciptakan dunia yang mereka inginkan, menciptakan kejutan di alur kehidupan. Tidak ada lagi Ace, tidak lagi Alina, tidak ada lagi puasa bersama pertama.
Tapi setidaknya aku masih yakin kalau Raftel masih ada dan Oda tidak akan mati sebelum menamatkan cerita. Begitu pun Tuhan pasti menyiapkan cerita yang lebih baik untukku nantinya. Pasti.


(2013)

Comments

tahlis said…
tuhan mencandai kita dengan mengambil orang yang kita cintai,,,
Anonymous said…
cerpen pringadi abdi surya mank sllu unik dan agak sulit dicerna bagiku, tapi disitulah keistimewaannya,, (hehehe lebay :P)

I'm your fans :P