#1Day Ramadhan: Konsistensi
"Memandang jauh ke depan adalah suatu hal, menuju ke sana adalah suatu hal yang lagi." (Anonim)
Saya kerap memperhatikan shaf-shaf di mesjid saat kecil. Sepuluh hari pertama, mesjid akan begitu ramai, penuh. Sepuluh hari brikutnya, jamaah shalat tarawih akan tersisa setengahnya. Dan sisanya, mesjid hanya menyisakan dua shaf jamaah. Saya hampir selalu hadir karena ada tugas dari guru Agama untuk minta tanda tangan imam dan penceramah.
Seseorang bisa dengan mudah mengucapkan mimpi dan harapan, tujuan yang jauh ke depan, tetapi sedikit orang sukses, sedikit orang yang benar-benar mencapai titik yang diinginkan. Bagiku itu tak lain persoalan konsistensi. Aku pun lemah dalam hal ini. Terbukti sejak 2012, aku tak produktif lagi dalam menulis. Itu memalukan.
Puasa Ramadhan juga membutuhkan konsistensi. Resolusi-resolusi yang diniatkan sangat membutuhkan konsistensi. Menulis blog membutuhkan konsistensi. Tilawah demi mengkhatamkan Quran membutuhkan konsistensi. Alhamdulillah, 1 juz sudah terlalui, semoga semangat ini tidak kendur, Tuhan.
Entah ada kaitannya dengan konsistensi atau tidak, kemarin saya nyaris meledak marah. Sebabnya ada petugas satker hendak memberi saya sebungkus kerupuk. Bagi petugas pemeriksa SPM seperti saya, pemberian tanpa akad yang legal erat kaitannya dengan gratifikasi. Cerita awalnya begini, ada petugas satker lain yang pernah memberi kerupuk Empang ke kantor. Rasanya enak, dari ikan tenggiri. Menjelang puasa, saya ingin menyediakan kerupuk itu buat lauk makan. Mungkin bisa mengobati kangen saya ke Palembang yang kerupuk tenggirinya memang enak banget. Datanglah orang Empang, saya pun bertanya, berapa sih harga kerupuk itu, soalnya di Sumbawa nggak ada jualannya. Saya bilang, saya mau menitip beli. Ibu itu bilang iya, akan ditanyakan dulu harganya.
Lalu dia datang, bisik-bisik, bilang ada yang mau ditanyakan. Saya benci bisik-bisik. Katakan permasalahan dengan terang, semua toh ada terekam CCTV tepat di depan saya. Tahunya dia hendak menyerahkan kerupuk itu, satu plastik. Saya tanya berapa harganya, dia bilang nggak usah. Katanya dia bikin itu sendiri jadi nggak usah dibayar. Memangnya saya anak kecil bisa dibohongi begitu? Saya pun tak menggubrisnya.
Belum sampai di situ, Zane mengirim BBM ke saya, ada orang mengetok-menggedor pintu. Ini orang memang kurang punya etika dalam mengetuk pintu rumah orang apa ya? Zane lagi menyusui Hanna. Aku bilang jangan dibukakan. Aku pun pulang ke rumah mengingat rumah hanya sejengkal dari kantor. Kulihat ada plastik digantungkan di pintu. Mendadak saya ingin naik pitam, tapi tak layak karena mendekati puasa. Saya ambil bingkisan itu dan datang lagi ke kantor, satker itu masih ada. Saya bilang, "Tolong jangan bikin saya marah!" (Sudah marah padahal)
Saya memang jijik dengan soal seperti menghina profesionalisme saya ini. Pernah saya diisi pulsa sama satker. Beberapa kali. Saya marah sekali. Bahkan saya mengganti nomor handphone karenanya. Sampai sekarang saya tak memberikan nomor ponsel lagi ke satker kecuali urusan dagang. Eh.
Soal menolak sesuatu itu mengingatkan saya kembali pada zaman berpacaran di Bandung. Saya pernah berpacaran dengan seorang perempuan, cantik. Saya kenal dia di MIRc. Baru chat sekali, langsung saya tembak padahal belum pernah bertemu. Baru satu hari jadian minta putus, dikit-dikit minta putus kalau tidak dibalas SMS atau tidak menelepon dia malam hari. Saat itu pulsa masih mahal. Bakda jalan dua minggu, dengan pertengkaran yang nggak penting, gantian saya yang minta putus. Tapi dia memohon-mohon untuk kembali. Sampai suatu hari dia datang ke kos membawa bingkisan berupa buah-buahan yang saya sukai. Kosan saya khusus pria, kami pun berbincang di depan pagar kos. Saya tidak mau menerima pemberiannya, tetapi dia memaksa. Saya bilang bawa itu pergi. Dia bilang kamu harus terima meski tidak menerima cintaku lagi. Serta merta saya lempar plastik besar itu ke comberan. Melihat itu, dia langsung pergi. Dan saya menelan ludah membayangkan buah-buahan yang saya buang.
Beginilah aku kalau sudah tersinggung, sedikit tidak bisa dibujuk. Apa ini ada kaitannya dengan konsistensi? Teuing ah....
Comments