Merah yang Meremah, Sebuah Catatan Pembacaan (Belum Selesai)

I.
Bahasa adalah gudang kebudayaan (Harroff, 1962). Berbagai arti yang diberikan manusia terhadap objek-objek, peristiwa-peristiwa, dan perilaku-perilaku merupakan jantung kebudayaan. Dan bahasa merupakan sarana utama untuk menangkap, mengomunikasikan, mendiskusikan, dan mewariskan arti-arti ini.

Bahasa tidak berarti merujuk pada sebuah arti besar---pada hal-hal yang bersifat bangsa atau suku semata. Tetapi juga, setiap benda memiliki bahasanya sendiri. Kucing tidak mengeong untuk berbicara dengan sesamanya. Televisi mengonversi berbagai prinsip elektronika untuk menciptakan bahasanya. Dan huruf-huruf yang diketikkan di komputer pun adalah sebuah hasil penerjemahan bahasa binary. Apalagi perempuan, juga pasti memiliki bahasanya sendiri---bahasa yang berbeda dengan kaum lelaki, yang memiliki daya ungkapnya tersendiri.

II.
Dunia siber, pada perkembangannya, akan menjadi sebuah culture area---menciptakan budayanya sendiri. Facebook khususnya, teori-teori kebudayaan itu secara lambat tapi pasti pun berlangsung di sini. Penulis-penulis facebook yang notabene multikultur mulai saling membaca dan menulis. Ada yang membagi dan ada yang dibagi. Bisa saja menjadi hybrid atau terjadi akulturasi, difusi, atau bahkan asimilasi yang tidak disadari oleh mereka.

Merah yang Meremah, yang ditulis oleh sepuluh perempuan di Facebook, bisa dikatakan sebagai produk budaya menulis di facebook. Buku puisi ini adalah inisiatif cemerlang, sebuah momentum untuk menunjukkan eksistensi bahwa apa-apa yang terjadi di facebook adalah hidup yang serius, hidup yang nyata, menilik dari salahsatu wujud ideal kebudayaan adalah wujud fisik yang bisa berupa tulisan ataupun kesusasteraan.

III.
Puisi adalah teks dan apa yang ada di luar teks. Fisik dan bathin. Secara fisik, kita mengenal puisi memiliki unsur-unsur semacam tipografi, diksi, imaji, kata kongkret, bahasa figuratif, dan versifikasi. Sedangkan struktur bathin puisi menunjuk pada tema/makna, rasa, nada atau sikap penyair terhadap pembacanya, dan tentu saja pesan/amanat.

Puisi-puisi di dalam buku ini begitu khas di sisi struktur bathinnya. Tema dan pesan yang beragam, rasa yang kuat, dan mayoritas penyairnya mengambil posisi sebagai korban atau ‘yang merasakan’. Tetapi ada juga beberapa puisi yang meletakkan posisi perempuan-perempuan ini sebagai pengamat yang gemes melihat situasi tetapi sadar tak dapat melakukan apapun untuk mengubah yang telah terjadi.
apalagi yang harus kami tunjukkan
ketika payudara sudah tak berkutang
dan perut-perut kendur sebab
lapar dan beranak

sedang tuan masih menipu kami
dengan bendera janji yang berlubang
bocor oleh rakus-rakus tuan
akan kekayaan untuk diri tuan

haruskah kami kibarkan juga celana dalam
ketika protes tak tuan dengar?

(Protes, Hal.131)


Puisi Weni Suryandari ini begitu ciamik, memainkan polemik dengan nada eksentrik. Weni dengan cantik berhasil mengonversikan bahasa personalnya (dengan simbol payudara, kutang, dan beranak) menuju bahasa sosial---menuju ‘tuan’. Gerak bahasa Weni di puisi ini berhasil menciptakan imaji sekaligus rasa yang kuat. Pembaca pun ikut diajak terjun ke dalam situasi ini, meskipun Anda bukan seorang perempuan.

Comments

Ridwan said…
ka, aku simpan linkmu di blogku ya.