PNS Pun Bisa Cabul
Organization in an ensemble of
individuals who perform distinct but interrelated and coordinated function in
order that one or more task can be completed
[Daniel E. Griffiths]
Dua KPPN pulau
Sumbawa, yakni KPPN Sumbawa Besar dan KPPN Bima berkumpul Sabtu lalu (7/12).
Mereka bersepakat untuk dicabuli oleh seorang lelaki perkasa bernama Yo
Supriyanto, dari PPSDM BPPK. Tidak diketahui jelas apa sebabnya, para pegawai
dengan ikhlas menerima segala tindak-tanduk Mas Supri—begitu ia dipanggil.
Bahkan, tak jarang gelak tawa terdengar di antara para peserta. “Puas?” tanya
Mas Supri sambil menyeringai. Sambil mengacungkan jempol, mereka pun kompak
mengutuk, “Baguuss...”
Sudah menjadi lumrah,
kekhawatiran akan matinya kreativitas tumbuh dalam budaya kerja PNS. Semua
pekerjaan yang bersifat rutinitas menjadikan para PNS di Indonesia bak robot.
Sementara yang gagal menjadi robot, kebanyakan malah menjadi sampah yang makan
gaji buta. Batalion 7.05. Datang jam 7, menghilang, lalu datang lagi pukul 5
sore hanya untuk melakukan absensi. KPPN sebagai ujung tombak pencairan dana
apalagi, para pelaksananya hampir selalu hanya dibebani pekerjaan-pekerjaan
yang bersifat teknis. Aplikasi dan peraturan. Padahal, di salah satu nilai
Kementerian Keuangan, pelayanan menjadi moda penting. Dan tentunya pelayanan
segaris dengan pengertian manajemen sebagai art, seni. Melayani orang pun
butuh seni. Dan seni butuh kreativitas.
Menjawab
hal itu, pelatihan-pelatihan softskills kemudian sering diadakan. Namun menjadi
kendala berarti ketika harus memanggil semua pegawai unit eselon 3 ke tempat
pelatihan. Untuk itulah, kemudian KPPN Sumbawa Besar berinisiatif memanggil
seorang trainer dari PPSDM (sembari mewujudkan arti sinergi) untuk memberikan
satu harinya di pulau Sumbawa. Alhasil, adegan pencabulan, alias capacity
building
itu terjadi untuk kali pertama dalam sejarah selama saya berada di kantor ini.
Saya selalu bilang,
KPPN Sumbawa Besar memiliki SDM yang berlimpah. Meski kini hanya beranggotakan
16 orang (1 KK, 1 subbag umum, 3 kepala seksi, dan 11 pelaksana), 13 orang di
antaranya adalah lulusan STAN yang dikenal memiliki kemampuan teknis yang baik.
Hanya saja, otak yang relatif cerdas itu juga memiliki egoisme yang besar juga.
Sulit disatukan. Dalam pekerjaan, seringkali ada paradigma, “Ini pekerjaanku,
itu pekerjaanmu, mari kita selesaikan sendiri-sendiri.” Sehingga dalam unit ini
kata sinergi itu begitu sulit teraplikasi.
Kata kuncinya adalah
kebersamaan. Dan kebersamaan akan terjalin jika antarpegawai sudah saling
mengenal.
Dalam sebuah game,
sebuah tongkat panjang diletakkan di atas jari sejumlah pegawai. Kemudian
secara bersama-sama, tongkat itu harus diturunkan tanpa boleh terlepas dari
jari. Ini terdengar mudah, tapi pada praktiknya banyak yang gagal. Tongkatnya
malah tidak turun-turun atau bahkan ada yang malah naik. Ini yang sebenarnya
mencerminkan ego. Di sini kata kuncinya adalah percaya dan menihilkan ego itu.
Satu komando menjadi penting. Kepatuhan pada SOP juga tak kalah pentingnya.
Juga keikhlasan. Sedikit dari kita yang mampu bekerja dengan ikhlas,
mengganggap segala pekerjaan itu sebagai ibadah. Padahal dengan beribadahlah,
kita bisa bekerja dengan baik, tanpa makian, tanpa kemarahan. Belum pernah kan
lihat orang shalat sambil marah-marah?
Sesi yang paling
mencengangkan adalah ketika para pegawai disuruh duduk melingkar, dibagikan
kertas satu per satu lalu menuliskan kelebihan dan kelemihan masing-masing.
Biasanya, tak jarang ada pergunjingan antarpegawai. “Si A ini begini lho. Si B
begini lho. Kompornya saja ada 3. Sombong ya?” atau “Eh, eh, si Bapak itu
jangan ditemenin. Nakal soalnya.” Tapi di sesi itu, kami bebas mengungkapkan
pendapat, bukan sebagai cacian, tapi sebagai bentuk penyadaran. Ada bagian diri
kita yang tidak bisa kita lihat sendiri. Misal, bisakah kamu melihat telingamu
sendiri tanpa bantuan cermin? Nah, rekan pegawai di kantor itulah cerminnya.
Mereka akan lebih jujur menilaimu. Mau yang lebih jujur lagi, tanyalah kepada
orang yang kira-kira paling tidak menyukaimu. Ia akan dapat dengan mudah
mengatakan kelemahan-kelemahan yang kamu miliki.
Ini begitu positif.
Dan seharusnya diteruskan, menjadi kebiasaan. Kegiatan-kegiatan yang bersifat motivasi,
nurani, jangan cuma diadakan di kantor-kantor pusat yang memang punya dana yang
melimpah, tapi juga di daerah, yang lebih membutuhkan sentuhan humanisme, kasih
sayang dan tunjangan yang dinaikkan. Eh.***
Comments