Beruang Gizli dari Turki
Beruang Gizli dari Turki
Saya percaya, tak ada beruang kutub di Turki. Kecuali ada pihak yang menciptakan habitat artifisial dengan pengaturan suhu dan segalanya yang sesuai sehingga mampu meyakinkan sang beruang untuk beradaptasi atau setidaknya mengira itu memang habitat aslinya. Jika tidak, sang beruang bisa mati dalam waktu cepat.
Sebuah judul cerpen kompas minggu lalu memang menarik. Gizli. Saya pikir itu salah satu spesies beruang. Namun, ternyata ia adalah sebuah kata dalam bahasa Turki, yang berarti tersembunyi.
Tercatat, dua minggu berturut-turut Kompas membuat saya kecewa. Saya kecewa sebagai pembaca karena disajikan cerpen-cerpen yang tidak layak muat, dengan alasan apa pun. Pada itu, saya berpikir, seharusnya sang redaktur bunuh diri saja, malu. Kompas setidaknya pernah menjadi kiblat atau barometer pemuatan karya sastra. Dengan banyaknya kritik yang mengalir, terutama sejak dipegang redaktur yang sekarang, ada baiknya Kompas membeli cermin untuk melihat diri sendiri dan melakukan hearing—yang sebenarnya baru saja dilakukan pada tanggal 16 Desember lalu, namun langsung kebobolan.
Kembali ke Gizli, saya tertarik membacanya karena status Bamby Cahyadi yang paling rajin membeli koran minggu. Bakda membacanya, saya sebagian tak sepakat dengan pendapat beliau, tapi himpunan pendapat itu tetap beririsan. Irisan itu berkata, cerpen ini payah.
Segala Hal Memiliki Konteks
Sebagai pembaca serius, saya selalu meyakini segala hal yang diletakkan di dalam cerita harus memiliki konteks. Misal, di komik One Piece, tanda S di lengan Ace ternyata adalah indikasi munculnya Sabo. Rambut kuning Naruto merujuk ke Yellow Flash Yondaime yang ternyata ayahnya. Atau judul Naruto sendiri, yang berarti salah satu bagian pelengkap ramen (yang di dalam cerita menjadi makanan kesukaan Naruto, Yondaime dan Jiraiya) dan konturnya yang mirip lambang Konoha itu sendiri. Segala hal itu adalah kepingan puzzle yang diletakkan satu per satu untuk menjadi bangunan utuh dalam sebuah creation.
Membaca Gizli, di catatan bakda ceritalah saya baru menemukan arti Gizli itu. Sepanjang cerita, saya tidak menemukan konteks, kenapa penulis menggunakan bahasa Turki untuk judulnya. Apakah penulisnya orang Turki? Apakah latarnya berada di Turki? Apakah ada nuansa Turki yang dibawa ke dalam cerita? Apakah ada intertekstual menuju Gizli dari cerita ini? Nah, saya tak menemukan jawaban pasti dari pertanyaan-pertanyaan itu. Samar.
Saya catat, hanya ada dua kalimat yang menyebut kata bersembunyi. Bukan tersembunyi apalagi Gizli.
- Tapi kenangan hanya bersembunyi, dan menari-nari diingatannya menjadi gelisah lalu diperbudak rindu.
- Kenapa Rindu hanya bersembunyi
Jawaban samar berikutnya adalah fakta bahwa Rumi lahir di Turki. Dan adanya kata sufi di dalam cerita. Hanya saja kemudian, ada frase menari Butoh. Ini kembali mengacaukan konteks dan jawaban yang ingin saya dapatkan, mengingat tarian Butoh lahir pada tahun 1960-an dari rahim Hijikata dan Kazuo Ohno.
Hakikat Penciptaan
Tuhan menciptakan dunia selama enam hari karena Ia menciptakan struktur. Pada “Kun fa yaa kun”, ada proses yang disiratkan. Dunia bukanlah “kun fa kun”. Begitu juga sebuah karya sastra.
Hal yang paling saya ingat dari pelajaran bahasa Indonesia di sekolah adalah bab mengenai diksi dan sintaksis. Itu terjadi di kelas 3 SMP. Nama gurunya Djaziah Jahja, masih menggunakan ejaan lama. Beliau kerap melontarkan sebuah kata relatif sulit untuk dibuat menjadi sebuah kalimat. Secara acak, beliau akan menunjuk anak muridnya satu per satu, sebelum menunjukku yang memang peringkat 1 di kelas.
Beliau berkata, diksi adalah pilihan kata. Ketika memilih sebuah kata, kita harus sudah tahu artinya, tahu fungsinya, dan tahu jenisnya. Mengenai jenis kata, saya malah pahamnya dari pelajaran Bahasa Inggris saat hendak mempersiapkan diri mengikuti SPMB dan tes TOEFL (Noun, Verb, Adverb, Adjective, Preposition meski di buku Nurul Fikri, bab-bab awal juga mengkhususkan nomina, verba, adverbia, dan ajektiva).
Senada dengan itu, Bu Djazur Erwati, guru kelas 3 SMA, pernah berkata, salah satu ciri bahasa Indonesia yang baik dan benar adalah efektif dan efisien. Stile, lanjutnya, bukan hanya penguasaan diri terhadap majas, tetapi juga (yang sangat ditekankan olehnya) penguasaan diri terhadap sintaksis.
Menyoal Gizli dari sudut pandang itu, saya kelabakan pada logika bahasanya, bahkan sejak dua baris pertama.
# Dia mencaci maki diri sendiri, lalu berdiam diri pada hembusan sunyi.
- Ada tiga diri. Salah satu ciri ketidakefisienan kalimat adalah terdapat pengulangan kata yang tidak perlu.
- Hembusan, seharusnya embusan.
- Kata pada adalah kata depan yang menandai hubungan tempat keberadaan dan waktu. Nah, saya tidak dapat menangkap dengan baik frase lalu berdiam diri pada hembusan sunyi. Hembusan sunyi berarti nomina. Ia benda bergerak. Tapi sang subjek diam. Apakah maksudnya hembusan sunyi ini adalah seperti kendaraan? Atau makna yang ingin ia capai adalah subjek merasakan embusan itu?
# Tapi kenangan hanya bersembunyi, dan menari-nari diingatannya menjadi gelisah lalu diperbudak rindu.
“Kenapa Rindu hanya bersembunyi”
Bila kamu membaca cerita itu, hal paling fatal adalah cara penulis meletakkan sudut pandangnya di dalam cerita. Ia tak jarang mengintervensi tokohnya. Salah satu yang kentara ada pada hal di atas. Kira-kira di mana coba? Hayoo...
Berbicara soal struktur kalimat, paragraf, atau sudut pandang, bahkan asimilasi karakter, Gizli adalah contoh yang sangat baik untuk dibahas. Satu per satu pelajaran bahasa di sekolah dulu pun mengetuk-ngetuk tempurung kepalaku. Ada banyak hal lain yang bisa kita preteli di sana, tetapi malas mengetiknya.
Kenapa kita bermetafora?
Pertanyaan ini pernah saya dapatkan dari Om Nuredan eh Nuruddin Asyhadie pada saat mampir di rumahnya Om Yo Sugianto. Pertanyaan yang sama juga saya dapatkan dari Harry Surjadi pada saat sarapan nasi kuning sarang tahu sarang bala-bala di Imah Seniman, Lembang beberapa waktu lalu.
Om Nuredan berkata, metafora adalah syarat kebenaran. Bahasa cenderung tidak bisa mendekati realitas, tetapi metafora bisa. (Maaf Om, kalau keliru, sudah hampir 5 tahun yang lalu soalnya). Nggak ngerti? Wajar.
Otak manusia menyimpan file dalam format .jpg .gif atau dalam bentuk gambar. Semua disimpan dalam alam sadar manusia, dalam medan morphogenic, sebelum beberapa atau banyak turun ke alam bawah sadar.
Membuat kalimat adalah pekerjaan otak kiri. Tetapi mengalirkan kalimat adalah pekerjaan otak kanan.
Mendeskripsikan sesuatu secara terstruktur adalah pekerjaan otak kiri, tetapi ketika melukiskan sesuatu yang tidak bisa dideskripsikan lagi, itu adalah pekerjaan otak kanan. Otak kanan bekerja dengan mengambil gambar-gambar yang tersimpan itu, memadukannya, mematutkannya—mereka yang segera terlintas di benak ketika sesuatu yang luar biasa itu hadir.
Saya menyebutnya inti atom. Nukleus. Nukleus itu memanggil para cluster. Cluster itu sepakat menikah dan membangun vignet. Eh, apakah ini menjadi semakin asing? Intinya, kita bermetafora ketika deskripsi sudah tak cukup lagi. Kita berfiksi, salah satunya ketika fakta sudah tak cukup lagi. Lalu bagaimana ketika fakta sudah melebihi fiksi itu sendiri?
Nah, di situlah kita seharusnya menyadari bahwa sastra memiliki zamannya sendiri. Ia bisa dikelompokkan dalam era karena metafora sangat dipengaruhi cara zaman membentuk karakter manusianya.
Lalu bagaimana ciri metafora yang baik? Karena otak manusia menyimpan file dalam bentuk gambar, maka metafora yang baik juga cakap dalam menciptakan gambar. Meski otak kiri menampik dan berkata gambar tersebut tidak masuk akal, gambar/citraan adalah salah satu cara memvalidasi keabsahan metafora.
Dalam Gizli, yang dikatakan Bamby Cahyadi penuh metafora, dan saya sangat tidak setuju, tidak ada gambar utuh yang terbentuk. Utuh, sebagai poetica, penciptaan bangunan secara keseluruhan, maupun utuh, dalam sebagian besar kalimat yang ada.
# Direntangkan kedua tangan seperti kepakan sayap burung malam
Dalam komentar di Sastra Minggu, saya berkata ada yang tak bisa diubah dari sifat verba, kata kerja, terhadap hasil dari pekerjaan tersebut. Merentangkan tangan, berarti mengangkat kedua belah tangan dalam posisi seperti film Titanic. Kata bendanya menjadirentangan. Menggunakan seperti berarti simile, adiknya metafora. Kepakan berasal dari kata kepak, kata kerjanya mengepak. Mengepak, berarti menggerakkan kedua sayap naik-turun. Bila itu diaplikasikan ke kedua tangan, bisa ada 2 kemungkinan, lengan yang naik-turun, atau gerakan pergelangan tangan yang naik-turun.
Namun kalimat itu tidak mengonkritkan hal itu.
# membiarkan cahaya dan hembusan angin menjilati kulit, masuk melalui pori-pori, menelusuri detak jantungnya yang lelah.
Lanjutan ini mengindikasikan subjek dalam posisi diam. Jadi simile seperti kepakan sayap burung malam adalah gagal-citra.
Cahaya dan hembusan angin menjilati kulit menghasilkan gambar lidah. Masuk melalui pori-pori menghasilkan gambar sesuatu yang tipis, halus, kecil, tajam, atau yang tiba-tiba dapat meresap alias cairan tertentu. Menelusuri detak jantungnya yang lelah, nah, kata menelusuri ini saya anggap saja ia masuk lewat darah, melalu pembuluh darah. Yang membawa darah ke jantung adalah Vena. Darah yang penuh karbondioksida itu ke atrium kanan, yang penuh oksigen itu ke atrium kiri. Kalau yang ke atrium Senen itu naik bis lewat Harmoni bisa. Sementara detak jantung, itu berhubungan dengan diastol dan sistol.
Lalu apa yang menjadi masalah? Acak citraan. Dalam sebuah kalimat, banyak gambar bermunculan tanpa tahu tujuannya. Di sini saya terpaksa mengaminkan pernyataan bahwa tulisan seseorang itu mencerminkan keadaan jiwa dan pikiran penulisnya. Jadi bagaimana kondisi penulis ini? Tanya saja pada rumput yang dangdutan....
PS:
Pringadi Abdi Surya sudah membaca dan menulis dari umur 3 tahun. Prestasi yang paling membanggakan baginya adalah lulus SPMB di Matematika ITB dan berani memutuskan keluar ketika bosan. Juga lulus tes STAN D3 Akuntansi 2 kali meski juga gagal tes beasiswa D4 Akuntansi dalam jumlah yang sama. Sekarang, bertugas sebagai FO Pencairan Dana dan Manajemen Satker KPPN Sumbawa Besar, alias tukang periksa.
PIN 260079B6
Line prings
twitter: @pringadi_as
Comments