#TreasuryWriterFestival2013: Perjalanan Selamanya
Tulisan ini adalah tugas pertama dalam rangkaian acara Treasury Writer Festival 2013, untuk menulis hal-hal yang dipikirkan selama 6 jam perjalanan dan kemacetan dari Jakarta menuju Imah Seniman, Lembang
Perjalanan Selamanya
Sering
kubayangkan, setiap kali aku melakukan perjalanan, itu adalah perjalanan
terakhir yang mungkin kualami. Maka, sebandel-bandelnya aku dalam berketuhanan,
doa perjalanan adalah salah satu doa yang tidak pernah lupa aku ucapkan selain
doa makan dan doa sebelum tidur. Sebab, mati dalam keadaan sedang makan, sedang
tidur, dan sedang berada di dalam kendaraan adalah cara mati yang paling tidak
elit. Seorang lelaki sejati seharusnya mati di medan perang, terkena peluru
atau tertebas pedang. Itu yang juga menjadi harapan Kolonel Aureliano Buendia
dalam Seratus Tahun Kesunyian karya
Gabriel Garcia Marquez yang malah mati di masa tuanya setelah ratusan perang
yang ia lalui. Pun kenyataan yang harus diterima Umar bin Khattab, sang singa padang
pasir, yang malah mati dalam keadaan diracun.
Dari
segala perjalanan yang pernah kulakukan, Bandung adalah tujuan paling menarik.
Akan ada banyak hal saling berkelebat dan meminta diingat. Termasuk dalam
perjalanan kemarin, pemberhentian di Km 57 seperti cara lain untuk mengatakan,
kita hanya butuh satu rumah untuk pulang. Namun, kita bisa singgah di mana
saja, di suatu tempat ketika kita merasa butuh untuk beristirahat. Di saat
beristirahat itulah, sesekali kita dapat menengok ke belakang, mengingat masa
lalu sambil menertawakan diri sendiri.
Aku
pernah berpisah dengan perempuan yang kini menjadi istri itu. Segalanya terjadi
begitu cepat. Dan Lembang menjadi saksi, bagaimana hati dibuat bimbang. Manusia
sering dihadapkan pada pilihan. Salah satu yang terpenting adalah ketika
manusia memutuskan memilih siapa yang akan menjadi pasangan hidupnya.
Raditya
Dika bilang selingkuh adalah penyakit. Tetapi manusia mana yang bisa menghindar
dari jatuh cinta? Kita bisa memilih untuk menikahi seseorang, tetapi kita tidak
akan mungkin bisa memilih untuk jatuh cinta pada siapa. Tidak ada yang bisa
menghindari kata “jatuh”, selama ia masih berada di bumi. Ada hukum gravitasi
di sana. Yang mungkin bisa kita lakukan adalah menggunakan parasut, untuk
memperlambat laju jatuh.
Maka,
sepanjang perjalanan kemarin, diam-diam tubuhku yang gemetar karena ada momen
yang tak akan kulupakan selamanya. Momen yang membuatku bertemu perempuan lain
ketika aku dan pasangan sudah mulai membincangkan pernikahan. Momen yang
kemudian membuatku harus memilih untuk tidak memilih satu pun di antara mereka
berdua, melepaskannya dengan rela-tidak rela ketika
keduanya menuntut untuk dipilih.
Bahkan
ketika baru keluar tol Pasteur, lalu mengambil jalan belok ke kiri, melalui
Sukajadi dan hawa dingin mulai merambat di sekujur tubuh, aku bertanya-tanya,
alasan sebenarnya dari rasa dingin ini adalah memang hawa Bandung yang dingin
ataukah ada yang aku rindukan dari pelukan seseorang.
Aku
tahu, sebuah ide itu sangat berbahaya. Inception.
Menuliskan hal ini pun adalah sesuatu yang sangat riskan bagi perasaanku
sendiri. Yang kulamunkan dan benar-benar kulakukan kemudian adalah membuka
ponsel, kubuka kontak seseorang, lalu kuketikkan pesan, “Sebentar lagi aku tiba
di Lembang. Aku tidak bisa tidak mengatakan, aku mengingatmu saat ini.” Dan
pesan itu hanya dibalas dengan sebuah senyuman.
Ketika
itu aku masih kuliah di tahun ketiga. Tugas akhir baru selesai dikerjakan dan
menanti penilaian. Ada dua nama perempuan di ucapan terima kasih. Mereka. Seseorang
bernama pacar. Seseorang yang lain bernama gadis idola satu SMA yang mencintai
puisi. Keduanya mengaku akung padaku. Sebagai mahasiswa yang sudah mau lulus,
berpikir perempuan bukan lagi tentang senang-senang, melainkan tentang
pernikahan. Itu pasti.
Sebuah
undangan datang dari Fokus Sastra UPI. Ada lokakarya selama 3 hari. Kelonggaran
masa kuliah membuatku bisa melenggang bebas menghadiri acara. Pada itu, aku
yang sangat ingin tahu seberapa besar rasa akung sang gadis idola ini mengirim
pesan, “Bila benar akung, datanglah ke Lembang. Aku menunggumu dan akan
membacakan puisi untukmu.” Yang terjadi, dia benar-benar datang dengan muka
lelah karena menempuh perjalanan dengan bis dari Palembang. Pada saat
melihatnya, rasanya, inilah ketulusan. Aku mencintai ketulusan. Dan seperti
judul film, 3 Hari Untuk Selamanya, selama 3 hari di Lembang itu, benar-benar
indah. Meski pemateri membincangkan realisme magis, perkembangan komunitas
sastra dan segalanya, tapi kami selalu duduk berdampingan, bergandengan tangan.
Bahkan bisa kukatakan, seluruh penyair yang hadir di ruangan itu akan iri pada
kami berdua.
Perjalanan
itu ketahuan oleh pacar. Dengan berurai air mata, dia bertanya, mana yang lebih
kucintai dari keduanya. Ini seperti pertanyaan Who Wants To Be Millionaire yang terakhir dan pilihan jawaban
tersisa dua, kau tidak tahu mana pilihan yang benar. Karena tidak tahu, kau pun
melewatkan kesempatan mendapatkan 1 milyar, tetapi kau juga kehilangan 500 juta
yang sudah kau dapatkan.
Ketika
Setiabudi sudah terlalui, dan warung-warung yang menjajakan sate kelinci sudah
dilewati, termasuk tempat lokakarya itu (yang berada tak jauh), rasa gemetar
itu hilang. Pada akhirnya aku menyadari, aku adalah lelaki beristri dan tak ada
yang perlu disesali.
Yang
bisa melawan gravitasi adalah hukum Tuhan itu sendiri. Anomali. Di beberapa
tempat di bumi, benda-benda dapat melayang di udara. Termasuk perjalanan cinta
ini. Setelah berpisah dengan keduanya dan melewatkan liburan di kampung
halaman, pada saat akan kembali ke Jakarta, di bandara, di tempat pengambilan
bagasi, aku melihat sosok yang tidak asing lagi. Tuhan mempertemukan kami
kembali dengan cara yang tidak disangka-sangka untuk menyadari inilah jodoh
sesungguhnya. Dialah perempuan yang kemudian menjadi istri. Perempuan bernama
pacar itu.
Sampai
kemudian tiba di Imah Seniman, seorang teman bertanya, “Kamu asli Bandung?” Aku
jawab tidak. “Lho?” katanya heran. Aku katakan asliku Palembang. Istriku
Minang. Hanya saja, sekarang kami memutuskan untuk berhome base di Bandung. “Kenapa?” tanyanya lagi. Sambil tersenyum aku
menjawab, “Karena di sinilah Tuhan pernah menyiapkan cerita-cerita penting
dalam hidupku. Dan sepertinya, masih akan ada cerita lain yang dipersiapkanNya,
seolah-olah di sinilah perjalananku untuk selamanya….”
(2013,
Kamar Sepi)
Comments
la ternyata dari semulanya aja udah gitu... pastilah ada kesannya buanget untuk selanjutnya ketika berada di tempat yang penuh kenangan kan....
cinta memang sangat menginspirasi yo...
*padahal belum ketemu cinta nih aku ahahaha