#TreasuryWriterFestival 2013: Idealisme dan Antusiasme dalam Satu Tas

Bukan Galaxy Tab 3 yang menjadi hal paling indah, tapi pengalaman bertemu dengan otak dan watak yang berbeda-beda dari ke-14 peserta yang lainlah yang menjadi anugerah.


Pada mulanya, aku pikir, semua yang terangkut ke Imah Seniman, Lembang itu adalah orang-orang gila. Bayangkan saja, status PNS kerap diidentikkan dengan kematian kreativitas. Rutinitas sangat diduga dapat membunuh otak seseorang. Di FO Pencairan Dana, setiap hari akan berhadapan dengan SPM, aplikasi dan petugas satker. Di seksi-seksi lain pun tak jauh berbeda, menjadi pegawai KPPN dituntut menjadi robot. Hanya orang gilalah, yang bisa tetap menjadi manusia di sela hal itu. Mereka yang berpikir, tetap harus ada jeda untuk berbicara pada hati, peduli pada lingkungan, dan mengambil udara terbaik untuk merenungkan hidup, dapat mempertahankan cahaya di matanya.

Ternyata aku benar. Lima belas peserta itu adalah orang-orang gila. Uniknya, tidak ada yang sama di antara kami. Sejak mula bertemu, berkenalan, sampai mempresentasikan diri dan karya di hadapan yang lain, yang aku pahami, juri acara ini sangat cerdas. Tampaknya, beliau memilih kami dengan alasan tertentu, yang salah satunya untuk saling belajar sama lain. Dalam ngariung mampulung itu, dilatari kolam dan tiupan angin yang tak kalah semangat, sampai harus menjatuhkan banner beberapa kali, aku memahami satu hal: setiap pertemuan sedianya adalah kebijaksanaan. Ilalang yang bertemu angin akan merunduk bila ia tidak mampu menari-nari bersamanya. Katak yang akan melompat, melewati sungai berarus, akan hanyut, bila gerakan tangan dan kakinya tak mampu beradaptasi.

~

Lewat dari itu, aku sungguh tak paham, komentar teman-teman sekantor dan tidak sekantor ketika mereka tahu aku termasuk dalam 4 pemenang. "Selamat ya, sepertinya kamu nanti akan ditempatkan di pusat."

Sejujurnya, aku sendiri tak pernah memikirkan hal itu. Menulis itu butuh ketulusan. Apapun yang terjadi nantinya, itu tidak boleh menjadi conflict of interests. Sangat salah apabila seseorang menjadikan tulisan sebagai alat politik bagi dirinya. Meski yang banyak terjadi, penulis berkaliber berat pun tergoda untuk meraih kekuasaan dengan tulisan. Maka kemudian dikenallah politik sastra yang mengubah paradigma "how to write & read literature in my way"

Politik sastra ini sedikit-banyak telah mengarahkan persepsi publik terhadap karya sastra. Hal ini baru kusadari beberapa jam sebelum ini dalam perdebatan nimbrung-nimbrungan tentang seharusnya AS Laksana yang memenangkan KLA Award 2013. Dalam sebuah komentarnya, seorang teman itu berkata, "AS Laksana lebih unggul dalam hal estetika dibandingkan Budi Darma. Bahasa AS Laksana lebih mudah dibaca karena jeda dan iramanya yang lebih baik." Saya pun jadi geli membaca komentar itu. Berbicara estetika tentu akan panjang sekali bahasannya. Filsafatnya. Tapi yang membuat saya geli merenung adalah era. Sejak era 2000-an, sastra koran minggu yang digawangi orang-orang tertentu berhasil memunculkan cerpen-cerpen yang kurang-lebih satu garis. Mereka lebih menonjolkan bahasa ketimbang konteks. Estetika jadi identik dengan keindahan semata. Jangankan paragraf, kalimat-kalimat saja tak utuh. Semua kemudian disahkan atas nama postmodernisme. Menanggapi hal itu, saya jadi teringat seorang editor yang menyarankan untuk banyak membaca Ben Okri, yang memiliki kemampuan membuat kalimat dan paragraf yang utuh itu. Dan tentu saja Budi Darma dengan bahasa plastiknya adalah salah satu contoh paling baik menulis dengan struktur itu.

Balik lagi tentang ketulusan, adalah hal yang sangat naif memang jika aku bilang aku tidak mengharapkan apa-apa dari menulis. Tapi Tuhan mencintai orang-orang naif, selain orang-orang gila.

Frase "Put in context" ini menjadi kuat ketika sesi writingclinic oleh @hsurjadi. Sekian lama menulis puisi dan fiksi, baru kali ini aku mengikuti sebuah writingclinic, dan itu padat dalam waktu 3 jam saja. Empat pokok bahasan menjadi penting, yakni tentang persepsi otak dalam menulis, bagaimana metode mudah menulis puisi, deskripsi dan metafora.

Put in Context artinya segalanya menjadi penting di dalam tulisan. Tidak boleh ada kehadiran yang sia-sia. Ini semacam sisi lain dari eksistensialisme. Kenapa aku ada. Kenapa Scrabbers diceritakan sebelum muncul di buku ke-3 menjadi seorang penyihir jahat. Kenapa namaku, namamu termasuk dalam 15 orang peserta di Imah Seniman... yang suatu saat akan terjawab entah dalam episode kesekian di buku hidup ini.  

Aku percaya, sampai sekarang atau selanjutnya aku masih dan akan percaya, idealisme ini masih akan hidup di lapangan. Tanpa bermaksud mencemooh seorang narasumber lain yang mengatakan idealisme di lapangan akan mati. Aku cuma bisa bilang, seperti ucapan Uozomi ketika Shohoku tertinggal dari Sannoh Kogyo [SlamDunk]. Sambil mengiris lobak, di bawah ring, ia berkata kepada Akagi, "Kawata adalah ikan kakap yang memiliki bentuk yang bagus. Sementara kau cuma ikan biasa yang hidup di dalam lumpur. Kau harus pandai main lumpur." Pak Anzai kemudian menerjemahkan lobak sebagai bahan pendamping makanan. Jika kamu tidak bisa menjadi bintang utama, maka posisikan dirimu sebagai pendamping untuk sebuah kesuksesan. Kawata dengan cara Kawata. Akagi dengan cara Akagi. Dan setiap kita akan menemukan cara sendiri-sendiri untuk tetap menghidupkan idealisme itu.

Banyak pengalaman unik lain dan pemahaman lain yang aku dapatkan selama beberapa hari di Lembang itu. Rasanya, sebenarnya ingin sekali, menetap saja di sana. Bikin KPPN Lembang. Pelaksananya 15 orang peserta. Sisanya, pejabat.. terserah, asal orang gila juga.

Pulang ke Sumbawa, bulan Desember menanti. Baru beberapa hari beradaptasi lagi dengan udara pengap nan panas di pulau ini, sebuah email masuk. Surat Tugas untuk menulis kembali... menuju Alor!

[Kantor Galau, Sore, 2013]





Comments

Unknown said…
rasanya benar di dunia lain emang ya...
dipenuhi oleh hal-hal yang semula sepertinya angan2 doang e ternyata ada juga perkumpulan macam acara kita ini :D

keknya ya ide KPPN Lembang sangat perlu segera direalisasikan nih...
atau KPPN Khusus Sastra wekekeke

Selamat mencari cerita di Alor, Pring :)
qoffanMUJTAHID said…
mulutku ternganga sampai lupa rasanya bersuara,
sepertinya aku menyadari sesuatu..
bukan, bukan mengenai gilanya aku
bukan juga tentang penempatanku,
ketulusan..
sepertinya belajar kearifan dari sang ahli memang masih perlu ditambahkan lagi..
beri kami nukleus itu..
maka kalimat indah penuh makna berebutan muncul dari ide gila para seniman kata-kata..
bravo kppn Lembang..
Kang Raden Nuun said…
Aku, kau bilang gila?
tidak!
salah besar!!
Aku lebih dari itu!!
Pringadi said…
hehehe, ketawa ajalah aku