Dua Wajah Jasper: Catatan atas Setintapena
Dua Wajah Jasper
Catatan atas Setintapena
I.
Seorang
mahasiswi Sastra Inggris sebuah universitas swasta di Jakarta pernah mengirimi
aku pesan, “Padahal kamu tidak ada latar belakang sastra, kekuatan apa yang
membuatmu dapat menulis sastra seperti sekarang?” Dengan lekas kujawab bahwa
dalam sejarah, para sastrawan adalah para filsuf, dan mayoritas filsuf juga
adalah matematikawan atau fisikawan.
Banyak yang
salah kaprah jika berpikir sastra hanya memiliki satu dimensi: bahasa.
Setidaknya selain bahasa, menulis sastra harus bersinggungan atau memiliki
dasar ilmu lain yakni filsafat, psikologi dan kebudayaan/antropologi. Ilmu-ilmu
itu bukan dalam taraf program studi baku, karena mereka dapat dipelajari siapa
pun, dapat dihayai siapa saja. Karena itu, semua orang berhak menulis puisi,
karena setiap orang berhak memiliki pertanyaan. Tetapi tidak setiap pertanyaan
dapat menemukan jawabannya.
Atas
kegelisahan menunggu jawaban inilah, kadang-kadang puisi lahir. Jasper
Valentino salah satunya, ia menuangkan banyak pertanyaan dalam bukunya Setintapena Sisi Hidup. Ada pula
pernyataan yang ia ungkapkan di sana, dan pernyataan itu bersifat terbuka. Ia
himpunan yang tidak pernah diberi tanda “{“ dan “}”. Artinya semua orang bebas
memasuki dirinya dan semua orang juga bebas mengambil segala yang ada dalam
dirinya.
Di halaman 11,
pada puisi berjudul “Seandainya Ini Memang Terjadi...”, Jasper berkata kepada
semua orang:
Seandainya aku bisa terbang sejauh-jauhnya
Hingga lewat dari tebing tercuram
di planet pluto;
hingga aku bosan,
dan aku hantam Jupiter
hingga serpihannya mengotori nebula
...
Tapi seandainya ini memang terjadi
Kamu akan bertanya
Apa dan kenapa andaian ini terjadi?
Perandaian Jasper bersifat
terbuka, ia tidak menutupnya dengan konklusi. Ia tidak menyatakan jika segala
perandaiannya terjadi, hal apa yang hendak akan ia lakukan tetapi malah balik
bertanya kenapa ada andaian tersebut. Jutaan cahaya yang ingin ia tempuh merujuk
pada waktu atau penyesalan. Ia merasa jauh dan kecil (dengan penanda “Pluto”) tetapi
sekaligus sering merasa besar (bahkan dapat menghantam Jupiter). Ini membuat
saya ingat pada Halu Satonaka yang mengagungkan pride/harga dirinya. Kita sepakat, laki-laki adalah makhluk yang begitu
ingin dihormati. Tetapi seringkali pernghormatan itu dilebih-lebihkan oleh kita
sendiri. Kesombongan atas posisi atau penghormatan itu membuat kita terbang
seperti layang-layang. Tetapi kita lupa bahwa layang-layang terbang karena
angin dan bergantung pada seutas benang—mudah sekali putus.
II.
Saya
terlambat menyadari bahwa hakikat puisi sebenarnya sudah saya temukan ketika
kelas 2 SMA. Pada itu, saya tercengang dengan kalimat matematika: sin 2x= 2
sinx cosx.
Saya
tidak akan merujuk pada pembuktian bahwa misalkan x=45, maka sin 2x= sin90 = 1
dan itu akan memiliki nilai yang sama dengan 2 sin45cos 45. Tetapi lebih kepada
kenyataan bahwa sebuah pernyataan dapat dijabarkan dengan pernyataan lain.
Bahwa setiap hal memiliki komponen.
Ketercengangan
saya yang kedua terjadi ketika dosen kalkulus saya suatu hari bertanya, “Berapa
angka paling rendah yang ada di dunia ini?” Beragam jawaban yang muncul. Namun
angka 0 kemudian dikemukakan dalam pertanyaan, “apa jadinya bila angka 0 itu tidak
ada?”
Jasper
dalam Drama Cinta seolah menegaskan
cinta itu tidak ada. Saya menyebut 0 sebagai bilangan cinta. 0 adalah Tuhannya
para angka. Bayangkan semua angka dikalikan 0 tetap nol dan bila ditambah atau
dikurang dengan 0 tetap angka itu sendiri. Apakah nol tidak terikat dengan
angka lain? Apa jadinya jika tidak ada angka nol?? Dunia akan lebih ekstrem
positif, tidak akan ada kata seimbang? Apa jadinya bila dunia tidak ada cinta?
Apa jadinya bila dunia tidak ada Tuhan?
Dalam
sisi Drama Cinta, saya berani
menyatakan bahwa segala pernyataan Jasper sesungguhnya adalah pertanyaan.Ia
membuat lingkaran, tetapi selalu gagal menjadi lingkaran. Ia hantam segala
situasi dengan antoniminya. Sesungguhnya Jasper sedang mencari nol.
III.
Janus
memang punya dua wajah. Tetapi saya ingin melukis wajah baru untuknya.
Jasper
mengaku punya dua sisi. Tidak bisakah kedua sisi tersebut dikemas dengan
bayang-bayang?
(2013)
Comments