Resital Kupu-Kupu (Cerpen di Harian Global, 15 Mei 2010)

Saturday, 15 May 2010 04:59
Cerpen Pringadi Abdi Surya

http://www.harian-global.com/index.php?option=com_content&view=article&id=37096:resital-kupu-kupu&catid=45:kalam&Itemid=69

Ada tiga hal yang tak pernah ingin aku lakukan dalam hidupku. Yang pertama, tentu saja, aku tak mau memakai dasi kupu-kupu.


"Kau harus memakai dasi kupu-kupu, Nak!"


"Mengapa?"


"Pokoknya harus!"


"Tetapi aku takut kupu-kupu…"


"Ini dasi. Bukan kupu-kupu."


"Tetapi tetap saja dasi kupu-kupu kan?"

***


Semua teman memanggilku lelaki yang takut kupu-kupu. Entah sejak kapan cerita ini dimulai, tetapi sejak kulihat sahabatku meninggal dalam kecelakaan yang kusaksikan dengan mata kepalaku sendiri, aku jadi dendam---bukan takut---pada kupu-kupu.


Hari itu, sebelum ia meninggal, dia memakai dasi kupu-kupu. Dan diam-diam ia membawa seekor kupu-kupu ke dalam kelas untuk ditunjukkannya kepadaku.


"Bagaimana kupu-kupu ini, cantik bukan?"


"Darimana kau dapatkan ia?"


"Aku menjebaknya.


"Menjebaknya?"


"Ya, mainkan piano untuknya, dia akan mendekat kepadamu…"


"Kupu-kupu suka piano?"


"Tentu saja. Siapa yang tak suka piano…?"


"Aku tak bisa main piano."


"Nanti kuajarkan…"


Aku senang ia mau mengajariku main piano. Pertama, tentu saja aku akan diajaknya ke rumahnya yang besar itu dan akan disuguhi makanan yang lezat. Kedua, tentu aku akan berkesempatan menyentuh piano yang dalam mimpiku pun aku tak berani sebab keluargaku tak akan mampu untuk membelikanku sebuah piano.


Aku perhatikan kupu-kupu itu sekali lagi. Dia memang sangat cantik. Warnanya hijau berampur dengan cokelat susu dan bintik-bintik putih. Ukurannya pun tidak biasa. Umumnya kupu-kupu biasa hanya berukuran sepertiga kupu-kupu ini yang besarnya seluas telapak tanganku. Tetapi, kupu-kupu itu tampak meronta. Dia harusnya bisa terbang bebas dan mengitari bunga-bunga. Sangat sedih melihatnya terkurung dalam kotak. Tetapi, dia memang sangat cantik. Sayang untuk dilepaskan begitu saja.


"Mau kamu apakan kupu-kupu itu?"


"Tentu saja aku awetkan dan akan aku pajang di kamarku."


"Tapi kan kasihan… dia juga makhluk hidup,"


"Hei, kupu-kupu itu makhluk yang sangat kejam. Tak patut dikasihani!"


"Kejam? Dia cantik."


"Cantik sekaligus kejam. Percayalah saja padaku."


Aku diam. Sudah nyaris enam tahun ini aku percaya kepadanya. Ia punya segalanya. Aku tidak punya apa-apa. Tetapi, selalu ia membagi apa-apa yang ia miliki kepadaku, tanpa pernah pula menutup-nutupi segalanya itu.


Hari itu, hujan turun deras. Enam jam kami di kelas hujan masih tak berhenti. Ia seperti biasa menengadahkan tangannya lewat jendela untuk merasakan rintiknya. Ia memang suka hujan. Di taman rumahnya yang luas itu, ia seringkali tiba-tiba berlari ke luar ketika hujan mulai turun. Pelayan-pelayan di rumahnya panik dan ikut berlarian mengejar sang majikan yang memang dilarang bermain hujan-hujanan. Aku jadi geli sendiri menyaksikannya. Apalagi ia memang sangat sulit ditangkap. Dan kali ini aku berharap ia tidak akan nekat keluar kelas, dan bersabar menunggu 10 menit yang tersisa, atau sampai hujan reda.
"Hei, kita pulang hujan-hujanan saja ya!"


Nah, apa kubilang!


"Kan kamu dijemput?"


"Ah, bodo amat. Kapan lagi kita bisa begini… mumpung orangtuaku nggak ada di rumah. Jadi aku takkan dimarahi. Ayolah, demi aku…"


Pulang sekolah, kami benar-benar berlarian di tengah hujan. Sebenarnya perasaanku sudah tidak enak. Langit sangat gelap. Angin sangat kencang. Ada kendaraan yang lalu lalang di jalanan beraspal. Tanah makin becek saja. Lengket di sepatu, menghambat gerakku. Tetapi, ia makin berlari cepat. Aku heran dengan semangatnya itu.


Sampai kulihat dari arah berlawanan ada sebuah truk melaju dengan kencang dan makin oleng ke arah kami.
Aku menghindar sebisanya. Tetapi ia terlanjur berlari cepat dengan riang tanpa memperhatikan truk itu. Belum sempat aku berteriak ia sudah tertabrak. Ia rubuh setelah terpental beberapa jauh. Darah mulai mengalir dari kepalanya. Aku mulai menangis. Menjerit. Meraung sekeras-kerasnya. Meminta tolong kepada siapapun yang mendengarkan aku.


Kotak kupu-kupu itu pecah. Kupu-kupu itu kembali terbang dan mengitari kami berdua. Tak lama kemudian, kupu-kupu lain datang mendekat. Banyak sekali. Aku tak bisa menghitung berapa. Aneh. Mana ada kupu-kupu mau bermain dengan hujan. Tetapi kupu-kupu semaki banyak mengerubungi kami berdua. Orang-orang belum datang. Aku ketakutan. Sampai kulihat dasi kupu-kupu merah yang melekat di lehernya melepaskan dirinya dan menjelma kupu-kupu baru.


Ia masih terlihat setengah sadar. Tangannya mulai bergerak ingin menunjuk sesuatu, ke arah kupu-kupu. "Ta… Tangkap kupu-kupu itu… di…dia kupu-kupu yang kejam. Kupu-kupu yang jahat!" katanya sambil terbata. Aku mendengarkan dengan seksama. Tetapi, ternyata Cuma kalimat itu yang ia ucapkan sebelum matanya tertutup dengan sempurna.

***


Kesaksian yang aneh aku dengarkan dari sopir truk tersebut. Ia mengaku ada serombongan kupu-kupu menghalangi pandangannya dari jalan sebelum ia oleng dan menabrak sahabatku. Mana ada orang percaya itu. Tetapi, bagiku, semuanya tampak semakin jelas. Mulai dari kata-katanya yang menyebut kupu-kupu itu kejam, jahat, sampai ke kematiannya sendiri.


Kenapa kau menangkap kupu-kupu besar itu?


Sekarang aku berdiri di sini, di gedung pertunjukan musik terbesar di negeri ini. Tiga tahun sudah sejak kematiannya, aku belajar piano sendiri. Piano miliknya yang diwariskan ia kepadaku. Aku sungguh tidak menyangka, ia bahkan menceritakan aku kepada kedua orangtuanya, dan menyuruh mereka berdua untuk memberikan piano ini kepadaku jika ia sudah tak ada. Lucu kan, bahkan ia merasa ia akan sudah tak ada.
Aku melepaskan dasi kupu-kupu itu. Dasi kupu-kupu merah yang serupa dengan yang ia kenakan di hari kematiannya. Aku berharap kupu-kupu besar itu akan datang untuk menemuiku malam ini, mendengarkan alunan yang kuayun dari jari jemariku, tentu di piano ini.


Mainkanlah dengan indah. Kupu-kupu suka piano.


Aku memulai Chopin. Puppy of Waltz. Resital yang hening. Mereka semua memakai dasi kupu-kupu. Warna merah. Aku semakin mengingat ia. Mengingat kematiannya.


Tidak ada nada yang miss. Aku memainkannya dengan lembut. Tenaga tekan yang pas dan nafas yang selaras. Aku makin larut. Dan pandangan penonton makin hanyut. Di depanku, tepat di atas tuts-tuts itu, kupu-kupu besar itu muncul dan tampak bergerak dari kiri ke kanan mengikuti gerakan jemariku. Tak lama kemudian, kupu-kupu lain mulai berdatangan mengerubuniku. Aku mencari kupu-kupu merah, jelmaan dasi kupu-kupunya. Ternyata ia mengitari leherku pelan seperti sedang mencoba mengenali bau. Mengenali aku.
Ting! Nada terakhir disambut tepuk tangan, tirai ditutup dan kupu-kupu merah tampak membelitku. Kencang. Sebelum ia kembali menjelma dasi kupu-kupu dan bersarang di leherku!


Aku saksikan orang-orang datang mendekat dan kupu-kupu itu makin berkerumun. Banyak. Banyak sekali.

***


Hal terakhir yang aku ingat, aku rubuh ketika aku mencoba menangkap sang kupu-kupu besar itu. Sekarang, aku sedang tidak mengenakan jas dan dasi kupu-kupu. Piyama putih di sebuah ruang yang pun serba putih.


Orang-orang sering bilang aku gila. Atau scizophrenia. Hal kedua yang tidak ingin aku lakukan adalah tentu mempercayai kalau aku memang benar-benar gila atau schizophrenia. Aku waras, dan aku ingat aku menyaksikan kematian sahabatku sendiri.


Beberapa perawat cantik masuk ke ruanganku. Sudah beberapa hari ini aku menguping pembicaraan mereka. Dasar gila! Mereka mengira sahabatku tak pernah ada. Padahal bukti dasi kupu-kupu merah itu sedang kupegang di tanganku.


Oh ya, hal ketiga yang tak pernah ingin aku lakukan tetapi sekarang kulakukan adalah menceritakan semua ini kepadamu.


Apa kau percaya kepadaku?!

Comments

gibb said…
wuihh.. bagus nih cerpennya.. mantafff
Anonymous said…
We should be painstaking and perceptive in all the advice we give. We should be signally prudent in giving opinion that we would not about of following ourselves. Most of all, we ought to escape giving recommendation which we don't follow when it damages those who woo assume us at our word.

allen

[url=http://allen-72.webs.com/apps/blog/]allen[/url]
Anonymous said…
We should be painstaking and perceptive in all the information we give. We should be signally painstaking in giving information that we would not dream up of following ourselves. Most of all, we ought to refrain from giving recommendation which we don't imitate when it damages those who depreciate us at our word.

disc sander

[url=http://disc-sander-39.webs.com/apps/blog/]disc sander[/url]
Anonymous said…
We should be meticulous and discriminating in all the intelligence we give. We should be strikingly painstaking in giving guidance that we would not dream up of following ourselves. Most of all, we ought to escape giving advisor which we don't mind when it damages those who woo assume us at our word.

tractor

[url=http://tractor-29.webs.com/apps/blog/]tractor[/url]
Anonymous said…
We should be painstaking and fussy in all the intelligence we give. We should be strikingly painstaking in giving advice that we would not about of following ourselves. Most of all, we ought to escape giving counsel which we don't tag along when it damages those who depreciate us at our word.

unibit

[url=http://unibit-4.webs.com/apps/blog/]unibit[/url]
Anonymous said…
We should be meticulous and particular in all the intelligence we give. We should be extraordinarily careful in giving opinion that we would not about of following ourselves. Most of all, we ought to avoid giving counsel which we don't tag along when it damages those who transport us at our word.

plate joiner

[url=http://plate-joiner-8.webs.com/apps/blog/]plate joiner[/url]

Popular Posts