Simbiosis (Sumatera Ekspres. 30 Oktober 2011)



Simbiosis

Aku ingin membagi setengah jantungku, untukmu. Dan harga yang kuinginkan dari itu adalah kau menjadi sebelah sayapku. Sebab sayapku tak lagi dua, hingga aku tak lagi bisa terbang sempurna. Sebab sayapku tinggal sebelah. Sebelah satunya telah patah. Dan sebab aku juga tahu, sayapmu juga tinggal sebelah. Juga telah patah. Tidak ada salahnya bukan jika kau menjadi sebelah sayapku? Hingga kita bisa terbang bersama, berdua, kemana pun kau dan aku menginginkan.



“What I need is to be needed, what I loved is to be loved.”

Aku berterima kasih kepadamu karena telah membuatku berpikir kau membutuhkanku. Aku tidak pernah benar-benar tahu, angin apa yang membawamu ke hadapanku, dan menggodamu untuk membuka dirimu di hadapanku. Tak perlu dua kali kau tanya, aku tak merasa terganggu. Aku benar-benar menyukaimu. Menyukaimu karena telah membuatku berpikir kau membutuhkanku.

Aku ingin sekali bisa mencintaimu. Kau percaya? Atau malah tertawa geli mengelus kepalaku, dan berkata bahwa ucapanku cuma bualan yang takkan bisa menjadi kenyataan?

Faktanya, yang kuakui secara logika, kita memang tak bisa saling mencintai. Tentu kau tahu kenapa, karena kita begitu berbeda, meski kuakui juga bahwa kita memiliki banyak kesamaan. Mungkin kesamaan-kesamaan itulah yang seringkali membuatku berpikir, aku ingin kau berada di sisiku. Selalu.

Sebab aku sudah terlanjur menyukai bola matamu, yang memandangku dengan penuh keberartian. Tidak mengganggapku sebagai simbol keangkuhan. Sebab aku juga sudah terlanjur menyukai lembut suaramu, yang menyapa pagiku dengan kehangatanmu. Tidak pernah menghentakku. Sebab aku sudah terlanjur menyukai tiap kata yang senantiasa kaurangkai untukku, mengajakku bicara dari hati ke hati.


“Kupu-kupu biru, itu aku,” katamu di suatu saat.

Aku tak begitu mengerti, kenapa kau menganalogikan dirimu sebagai kupu-kupu biru? Aku mengharap hijau kembali namamu, seperti dedaunan yang memberi aroma kesejukan. Sedang biru adalah simbol ‘kedalaman’. Maksudku, kau seolah ingin berkata bahwa kau tak semuda itu dipahami. Kau seolah membisikkan rasa tentang kedalaman jiwamu yang menuntutku untuk menyelami diri jauh dan lebih jauh lagi, sampai ke dasar jiwamu. Begitu kah?

Sebab aku adalah pria malammu, katamu.

Kau seolah mengerti, aku adalah laki-laki yang ingin menjadi malam. Bukan berarti aku ingin menjadi ‘gelap’. Tidak. Justru aku ingin melindungimu dari gelap itu, seolah selimut yang menyelubungimu hingga kau terlelap dan bangun dalam keadaan tersenyum di esoknya.

Tanpa kau minta, aku bersedia menjadi pria malammu.



Aku sering mengatakan kepadamu, aku butuh tempat menyandarkan kepalaku. Sebab kepalaku ini terasa sangat berat. Aku ingin membagi bebannya, bukan berarti aku ingin menjadi beban, kepada siapapun yang bersedia duduk di sampingku.

Tidak… semakin lama, aku semakin ingin membuka diriku yang sebenarnya memiliki banyak kerapuhan di balik topeng keangkuhan yang kubuat. Sepertimu yang sudah lebih dulu mempersilahkan aku masuk ke duniamu. Sebab duniaku sangat sulit dipahami jika aku sendiri tak membukakan pintu pemahaman. Sebab duniaku terlalu pekat, kau takkan bisa melihat, tak bisa mendengar, semua panca indramu tak berfungsi di dalamnya. Yang hanya bisa kau lakukan adalah mengikuti perintah hatimu, mengikuti aliran sinkronisasi antara hatimu dan hatiku. Maka yang jadi pertanyaan adalah, apakah kau merasa hatimu sudah memiliki sebuah synchro dengan hatiku? Laiknya sebuah benang merah kasat mata yang menarikmu untuk mendekat padaku?



“What will happen, just happen.”

Seandainya perbedaan itu tidak menjadi sebuah alasan bagi logika, mungkin kita akan benar-benar saling jatuh cinta. Aku membayangkanmu mempertanyakanku saat aku selalu memakai kata ‘mungkin’ di setiap kalimat pernyataanku. Ya kan? Sebab dunia ini penuh ketidakpastian. Sepasti-pastinya sesuatu, selalu ada ketidakpastian mutlak di dalamnya. Dan mungkin saja (lagi-lagi aku menggunakan mungkin), kita berada di dalam areal ketidakpastian itu, bermain-main di dalamnya. Pertanyaannya, sampai kapan kita mampu bertahan bermain di dalamnya? Adakah hati kita, terutama hatiku, mampu menolak kehadiranmu yang makin lama makin terasa ada di hari-hariku?

Sementara untukmu, seperti yang pernah kukatakan sebelumnya, as long as you need me, I’ll be here for you (not to be ‘there’). Have you believed?




AKU TENGAH MENANTIMU*
Aku tengah menantimu, mengejang bunga randu alas
di pucuk kemarau yang mulai gundul itu
berapa juni saja menguncup dalam diriku dan kemudian layu
yang telah hati-hati kucatat, tapi diam-diam terlepas

awan-awan kecil melintas di atas jembatan itu, aku menantimu
musim telah mengembun di antara bulu-bulu mataku
kudengar berulang suara gelombang udara memecah
nafsu dan gairah telanjang di sini, bintang-bintang gelisah

telah rontok kemarau-kemarau yang tipis; ada yang mendadak sepi
ditengah riuh bunga randu alas dan kembang turi aku pun menanti
barangkali semakin jarang awan-awan melintas di sana
dan tak ada, kau pun, yang merasa ditunggu begitu lama

*)Puisi Sapardi Djoko Damono


(Palembang)


Pringadi Abdi Surya dilahirkan di Palembang, 18 Agustus 1988. Sekarang bekerja di Ditjen Perbendaharaan Negara. Blognya: http://reinvandiritto.blogspot.com

Comments