Hujan Menulis Ayam
Tentang Judul dan Tardji
Bila membaca judul di atas, ingatan kita akan tersengat oleh kumpulan cerpen milik Tardji berjudul sama. ‘Kebesaran’ Sutardji Caldzoum Bahri tentu tidak dibangun semata-mata dari hanya kredo mantra atau upayanya melepaskan diri dari pendefinisian leksikal—kata-kata dijungkirbalikkan sedemikian rupa hingga mereka memiliki definisi tersendiri yang bebas, mandiri, atau tidak terikat logika. Tardji, barangkali, mengembalikan pengertian kata sebagai wahyu—bahwa wahyu/kehendak Ilahiah tidak mungkin terperangkap dalam ruang dan waktu. Kata-kata (sebagai cerminan kata-kata yang berasal dari Tuhan) itu tidak hanya dinamis, tidak hanya beragam pemaknaan, tetapi juga memiliki fungsi hermeunatis: penemuan dan seni.
Namun, judul ini tak hendak membahas Tardji dan kredonya. Judul ini juga bukan ingin menelaah kumpulan cerpen Hujan Menulis Ayam dan nilai-nilai yang terkandung di dalamnya. Judul ini hanyalah sebuah pintu dari kedinamisan bahasa, pola-pola yang terbentuk secara disengaja maupun tidak disengaja kemudian pola itu justru menjadi jamur parasit yang pelan-pelan menghabisi nilai dasar bahasa sebagai fungsi komunikasi.
Makhluk Itu Bernama Telepon Seluler
Tujuh tahun lalu, ketika kali pertama saya mengenal telepon seluler, saya belum terbiasa menerjemahkan bahasa SMS/pesan singkat yang biasa dikirimkan oleh teman-teman saya. Saya menduga-duga, jangan-jangan ini karena memang kemampuan berbahasa saya yang kurang baik, atau ada yang salah dengan operator sehingga huruf-huruf yang diketikkan berubah otomatis menjadi simbol-simbol. Misalnya saja, pR1N6, k4mU l461 4p4? atau aqtuchgabisahngelupainkamu atau i dh blg kmrin kl u hrs dtg jm5, bkn jm7. Maka, manakala saya tetap mencoba menulis dengan bahasa yang baku, mereka malah berkata, “k0k k4mU k4kU b4n6et s1h?”
Lamat-lamat saya pun mulai terbiasa dengan bahasa alien itu. Meski mencoba bertahan dari semua godaan, sedikit-sedikit saya pun latah menyingkat atau mengubah kata demi memenuhi kuota karakter yang dapat dimuat dalam satu tarif sms, mengingat saat itu tarif sms masih relatif lebih mahal dibandingkan saat ini.
Saya kini jadi berpikir, seandainya orang-orang yang menginisiasi kebiasaan menulis pesan singkat semacam itu berprofesi sebagai penyair, bom yang diledakkan barangkali akan lebih menggelegar ketimbang Tardji. Saya bayangkan, dengan gagah mereka menyatakan kredo pesan singkat di dalam puisi, melampaui fungsi teks, dan mencatut Descartes sebagai dasar penyatuan simbol-simbol matematika dalam berbahasa!
Karantina Duta Bahasa
Ketika tiba-tiba terpilih menjadi Duta Bahasa Provinsi Sumatera Selatan 2009 lalu, saya tidak bisa membayangkan pengalaman yang akan didapatkan selama 7 hari karantina di Pusat Bahasa kemudian. Saya ingin berteriak waw, amboi, aduhai karena di sinilah (barangkali) ahli-ahli bahasa itu berasa, di sinilah saya bisa mendapatkan banyak pengetahuan tentang kebahasaan itu.
Namun, dari hari ke hari pemateri tampak membosankan. Semua hal yang diutarakan tampak begitu kulit. Saya ingin mereka mengelupasnya jauh ke tulang, ke sumsum, ke pembuluh darah, ke jantung! Hanya saja, para ahli bahasa itu mungkin belum mengenal Van Bouri, Conditio Sine Qua Non sehingga hal-hal yang dibanggakan adalah prestasi pembentukan undang-undang kebahasaan yang bahkan tidak memiliki sanksi di dalam pasal-pasalnya. Bayangkan, di pengantar ilmu hukum saja dikatakan salah satu unsur hukum adalah memiliki sanksi, tetapi undang-undang (sekelas undang-undang) memuat pernyataan tanpa adanya hukuman bagi yang melanggarnya!
Saya ingin bertanya banyak, tapi saya ragu apakah mereka bisa menjawabnya. Semisal, sejauh mana parameter pernyataan penggunaan bahasa Indonesia yang baik dan standardisasi pembentukan sebuah kata. Di acara tersebut, para panitia yang terlibat sibuk membenahi penggunaan kata-kata yang bukan bakunya, bertanya kepada kami tentang bahasa baku ini-itu tapi tak pernah membeberkan alasan penggunaan kata-kata tersebut. Sebut saja, mouse menjadi tertikus, hembus menjadi embus, dan mike menjadi pelantang.
Entah prihatin atau mengolok-olok kondisi berbahasa pemuda-pemudi sekarang, topik-topik yang tersaji di menu diskusi tidak lepas dari bahasa gaul atau bahasa prokem. Saya sebetulnya ingin mengembalikan alas berpikir kami pada saat itu, aksioma pertama bahwa bahasa itu dinamis. Lantas, mengapa kami malah tidak berpikir, mencoba mencari jawaban mengenai sebabnya?
Di hari ke-3, ketika Remy Silado datang dengan gamblang menyatakan kesalahan berada di Pusat Bahasa yang begitu gagal mengakomodasi arus kedinamisan itu, saya tertawa terbahak-bahak di dalam hati. Remy Silado mengungkapkan ketidakpopuleran bahasa Indonesia yang benar disebabkan pusat bahasa yang tidak sensitif terhadap selera penggunaan bahasa dipadukan dengan tidak adanya sinergi untuk membendung kuatnya pengaruh bahasa dan budaya asing.
Memang ada yang salah dengan pusat bahasa ini. Setidaknya selama 1 tahun lebih saya berkenalan dengan dunia bahasa, tidak sekalipun saya menemukan peran pusat bahasa dalam komunitas ataupun turunnya mereka ke grass root. Kegiatan-kegiatan yang diadakan hanya bersifat seremonial, menara, namun sekadarnya. Contohnya saja, penyelenggaraan duta bahasa ini, saya sama sekali tidak menemukan umpan balik, peran pusat bahasa bakda pemilihan sebagai mediator, fasilitator bila ada ide yang dimunculkan oleh peserta. Sampai dua tahun berlalu, duta tidak memiliki tupoksi duty. Bahkan ketika saya diwawancarai oleh wartawan muda dari inioke.com beberapa bulan lalu, saya mengatakan tidak ada tugas yang dilakukan secara bersama-sama oleh para duta setelah menjadi panitia konferensi bahasa. Saya hanya bisa terus menulis dengan bahasa Indonesia yang baik dan (diniatkan) benar.
Alay dan Ababil
Ketika generasi ini muncul dan menyeruak, saya lebih garuk-garuk kepala. Bila tujuh tahun lalu bahasa pesan singkat masih sebatas pencampuradukkan abjad dan angka, penihilan spasi, kapitalisasi yang sembarangan, dan penyingkatan kata, sekarang bahasa lebih mengalami deviasi yang membikin saya putus asa membacanya.
Barangkali benarlah mereka disebut alay alias anak layangan karena bahasa seperti hanya diikat sebuah benang. Yang tidak bisa melihat benang, tidak tahu cara memarit lawan. Pun ababil, dari kata babil, yang berarti bandel, bengal. Generasi ini sama sekali tidak mau berbahasa yang bisa dibaca. Mereka seolah berbakat dalam mengenkripsi sesuatu sehingga yang dienkripsikan itu hanya bisa dibaca oleh sesama jenis mereka.
Mencoba memahami fenomena ini, saya akhirnya kemudian menyadari bahwa kedinamisan bahasa bukan hanya pengaruh dari ketidakmampuan pusat bahasa, keminiman fasilitas kepustakaan, belum merakyatnya penggunaan bahasa Indonesia yang benar, tetapi juga faktor psikologi dan sosio-kemasyarakatan yang kian akut. Jika Karni Ilyas mengutip Luis Suarez yang menyebutkan carut-marutnya persepakbolaan suatu negara adalah cerminan carut-marutnya perpolitikan bangsa tersebut, saya akan mengekivalensinya menjadi carut-marutnya kebahasaan suatu negara adalah cerminan carut-marutnya bangsa tersebut.
Menulis Ayam, Disapu Hujan
Tulisan yang berantakan sering diidentikkan dengan tulisan cakar ayam. Nah, coba bayangkan bila kita menulis dengan tulisan cakar ayam di tanah kemudian hujan turun menimpanya.
Tardji barangkali tidak menyangka di pengujung hayatnya kini, remaja Indonesia mulai belajar melampaui kemantraannya itu tanpa bisa menyalahkan siapapun. Jika Tardji yang disalahkan, saya ragu apakah mereka bahkan pernah mendengar nama Tardji? Jika guru-guru bahasa Indonesia di sekolah yang disalahkan, saya ragu guru-guru mengajar tidak menggunakan bahasa Indonesia? Jika kurikulum yang disalahkan, saya ragu para penyusun kurikulum itu bukan orang-orang yang kompeten? Bagaimana kalau Tuhan saja yang disalahkan, kalau benar beritanya bahwa manusia hanya berasal dari Adam, mengapa turunan-turunannya menghasilkan banyak bahasa?
Di tiap Oktober, saya sering merenungkan ini, di antara gegap gempita bulan bahasa (salah satunya Gempita Bulan Bahasa powered by Indosat di Rumah Kata, Bogor), di antara sekian banyak perlombaan menulis untuk remaja, adakah mereka (kegiatan-kegiatan tersebut) mampu menyentuh ruh para remaja tentang filosofi berbahasa? Bahwa, meskipun bahasa selalu terbatas dalam mengungkap realitas, ia memiliki fungsi komunikasi yang seharusnya menguniversal? Seperti halnya ketika kali pertama menginjakkan kaki di Sumbawa Besar, saya sangat terkejut. Di Sumbawa Besar, orang-orang tuanya sangat fasih berbahasa Indonesia dengan sintaksis yang benar, dengan penggunaan kata yang tepat, meski dengan logat yang tak bisa ditinggalkan. Saya membayangkan, sepuluh dua puluh tahun lagi, apakah persentase penggunaan bahasa Indonesia (sebagai alat pemersatu bangsa) ini akan meningkat atau malah terjun bebas tanpa parasut? Ah, hanya waktu yang dapat menjawabnya.
(Labuhan, 2011)
Comments
Yang perlu kita pegang teguh adalah 'nilai', tapi sepertinya kemudian 'norma' menjadi lebih favorit..
Dan oh ya, yang benar itu 'kehendak Ilahiah' ataukah 'kehendak Illahi' atau 'kehendak Illah'?
*mabuk
Kalau Ilahi artinya Tuhan atau Tuhanku.
salam kenal dari Makassar.
Melihat alamat rumah yang kau daftarkan di rumahkata.org...kau tinggal di sumbawa ya?
Aih, dekat dengan kampung halamanku, di Mataram :)
Oh iya, kau mungkin tak tahu kalau kita pernah satu buku..iya! di antologi puisi memburu matahari. Benar,kan?
Aih, iya. Pembahasan tema kita mirip! Tapi tulisanmu jauh lebih rapi dibanding tulisanku ;D
postingannya menang, juara 1 ;)
gak salah aq di kripik pedas ma kamu pring
asli saluuttt mesti belajar bener-bener ney ma dirimu dalam urusan ngorak-arik tulisan....
Bravo Pring...