Katarsis, Sastra, dan Sutasoma
Saya pernah begitu terperangah menyaksikan penampilan Cok Sawitri dan Ayu Lakshmi di perhelatan konser koin sastra. Selain pembacaan puisi yang memukau, dipadukan dengan musik, nyanyi, dan tari, ada kalimat yang begitu menyedot perhatian saya. Yaitu ketika Cok mengutip kata-kata dari Kitab Sutasoma karangan Mpu Tantular mengenai definisi sastra (kurang-lebih) bening telaga, bayang bulan memantul sempurna di atasnya.
Saya juga pernah mengalami fase, memandang sastra dari sisi teknik semata. Mengutip De Poetica Aristoteles mengenai metafora sebagai dasar memandang keberhasilan sebuah puisi. Bahwa metafora lahir karena keterbatasan bahasa dalam merengkuh realitas, itu yang harus disepakati. Bahwa kemudian metafora membentuk ruang sebagai sebuah semesta—menghablur dari hanya sebuah pernyataan puitik, itu menjadi aksioma kedua.
Kritik sastra pada bakunya adalah perihal di atas teori dan sejarah sastra (dalam tiga unsur sastra). Akan tetapi, yang lamat saya sadari kemudian, kritik sastra memiliki dimensi yang tidak baku. Ia bisa didekati dari berbagai sudut pandang, sehingga diharapkan disiplin-disiplin ilmu yang ada dapat juga memandang sastra dalam sebuah kritik. Hingga kemudian sastra tidak menjadi eksklusif, bertahan di atas teori-teorinya sendiri. Keeksklusifan itu sendiri pada dasarnya disebabkan oleh pelaku sastra dan pelaku sejarah sastra itu sendiri, terutama melihat apa yang telah banyak terjadi di Indonesia, bahwa sastra dipolitisasi, sastra dikuasakan dan dengan kuasa itu oknum-oknum tertentu membangun dinding tebal, monumen, menara, yang tinggi menjulang, namun ia hanya bisa dilihat dari kejauhan sehingga ketika masyarakat melihat sastra, ia akan seperti sesuatu yang “asing”, “tak terjangkau”, dan pelan namun pasti, sastra menjadi dunia tersendiri yang tidak terpolarisasi di masyarakat.
Hingga ketika era cybersastra muncul ke permukaan, kebebasan berekspresi itu meluap tiba-tiba. Tulisan-tulisan yang diatasnamakan puisi itu muncul ke permukaan, sementara beberapa pihak yang selama ini memiliki “kekuasaan” dalam menyeleksi, mengurasi, memilih puisi-puisi yang pantas untuk ditampilkan di media menyebut fenomena itu sebagai “sastra sampah”.
Saya tidak akan membahas bagaimana kemudian fenomena itu berlanjut, namun saya mengingat Pablo Neruda yang sebagai seorang penyair pernah hendak dicalonkan sebagai calon presiden Cile. Bila kita membaca sajak-sajaknya, sebenarnya kita sangat dapat memperlakukan mereka sebagai sajak cinta biasa. Saya yakin mereka yang awam puisi pun, akan bisa menikmati sajak-sajak Neruda seperti judul-judul “Malam ini aku akan menulis baris puisi yang paling pedih”, “Aku tidak mencintaimu kecuali karena aku mencintaimu”. Di Indonesia sendiri, ada seorang kakek tua yang salah satu sajaknya menjadi sajak paling popular, yaitu Sapardi Djoko dengan “Aku Ingin”. Apakah sajak-sajak tersebut memang berupa sajak cinta biasa?
Saya selalu mengacu pada sebuah pendapat untuk menjawab pertanyaan tersebut. Yaitu katarsis. Katarsis adalah pelepasan, atau bila mengacu ke Injil ia berarti penyucian diri. Sebuah puisi yang sangat baik harus memiliki fungsi ini (menurut saya). Penulis mengalami katarsis. Pembaca pun mengalami katarsis. Tidak masalah bila kemudian katarsis yang timbul di antaranya tidak serupa karena bisa saja pemaknaan yang dilakukan oleh pembaca jauh melampaui harapan penyairnya.
Artinya di sini, selain menulis puisi, butuh jiwa yang besar untuk membaca puisi. Jiwa inilah yang kemudian menginterpretasikan sebuah sajak ke pemaknaan yang agung. Saya menganggap rakyat Cile pasti mengetahui, menginterpretasi Neruda lebih dari sebuah sajak cinta biasa. Ada muatan politik, filsafat, antropologi, psikologi, sampai spiritual di dalamnya. Dari stigma ini, sebenarnya saya ingin menyimpulkan, seseorang yang menyebut sebuah sajak sebagai sampah, bisa dituding memiliki jiwa sampah juga.
Akan tetapi¸ saya tak hendak menyimpulkan demikian, karena dua sisi katarsis memiliki dua mata pisau. Bila saja seseorang dikritik sajak sampah (tentu saja sebuah kritik harus memiliki landasan, bukan asal mengecap/menyatakan), ia harus kembali bermeditasi, mematangkan dirinya karena sebuah karya sastra tidak bisa melepaskan diri dari kapasitas penulisnya. Ia harus bertanya, menggali jauh ke dalam dirinya sendiri, dan melupakan jalan ke atas karena kesempurnaan, karena Tuhan sebenarnya ada di dalam diri sendiri.
Maka benarlah Sutasoma itu, bahwa telaga yang dapat memantulkan bayang bulan adalah telaga yang bening seutuhnya, yang tenang seutuhnya. Dan analogi telaga itu adalah hati Anda.
Comments