Dua Puisi Pringadi Abdi Surya di Akulah Musi [Buku Puisi Pertemuan Penyair Nusantara V, Palembang]

Beberapa Catatan Sebelum Ia Pulang ke Indonesia

I.

Ia sempat mengetukkan sepatunya ke batu, seakan-akan laut akan terbelah. Di belakangnya orang-orang meributkan kursi dan meja yang terbuat dari kayu. Kayu memang barang langka meski bisa patah kapan saja. Ia merasa dadanya pun terbuat dari kayu, sebagian sudah lapuk, sebagian yang lain sedang diintai oleh rayap yang kehilangan rumah,

dan amarah berlenyapan. Berubah menjadi burung-burung. Ia tahu mereka akan kembali ke kandang saat cuaca buruk. Saat badai menyerang gurun pasir dan piramida-piramida tak lagi berbentuk limas bersegi.

Ia mencoba lagi, mengetuk-ngetukkan sepatunya ke atas batu. Di belakangnya orang-orang mulai saling melempar sepatu masing-masing. Di depannya gelombang bersiap pasang.


II.

Ketika Tuhan mengutus Musa, ia masih belum bersekolah dan tak mengenal sejarah. Ia selalu iri manakala para tetangganya memakai seragam bendera, lalu memamerkan lagu Indonesia Raya dengan sumbang, berdiri dan hormat sambil sesekali menahan pegal pada kaki.

Ia ingin belajar membaca dan membaca setiap kesepian yang menandai perang dingin. Ia mau belajar berhitung dan menghitung setiap tubuh yang tergeletak, tetapi bukan tidur itu. Ia tahu, ketika Tuhan mengutus Musa, ia belum siap menjadi apa-apa. Ia belum bisa membedakan mana ular dan tongkat sakti. Ia belum mampu mengenali Tuhannya sendiri.


III.

Karena jam dinding, ia suka bangun kesiangan. Karena hujan, ia suka meringkuk di balik selimut dan menikmati ketakutan. Ia duduk dan menyaksian kematian satu per satu dihidangkan di restoran cepat saji itu. Seorang pelayan yang dikiranya laki-laki datang membawa menu sambil bertanya, "Anda, di pihak mana?" Ia membuka tasnya dan mengeluarkan piagam gerakan non-blok. "Saya dari Indonesia. Saya pesan kesepian."

Empat orang yang makan di restoran itu ternyata sama-sama berasal dari Indonesia. Dan keempatnya sama-sama tidak tahu alamat rumah masing-masing.

(2011)



Bangku Kosong di Taman Itu

Ia ingin sekali duduk di bangku kosong di pojok taman itu. Bangku yang terbuat dari besi dan berkarat. Catnya yang hijau itu laun memudar seperti bosan menasbihkan cuaca yang tak menentu. Ia saksikan orang-orang datang, mengobrol, duduk, mengobrol lagi, membawa buku-buku, membetulkan kaca mata, tertawa, lalu pergi memenuhi undangan makan siang dari jam dinding besar itu.

Kapan waktu akan berhenti
. Ia tidak tahu bila mana seorang gadis pernah berbincang dengan kesunyian di sana.
:
Ia ingin sekali meracau, menceracaui pohon asparagus di tiang itu. Diam-diam ingin naik ke langit. Ia pun tidak tahu, gadis itu pernah menuliskan namanya di bawah bangku dengan tipe-ex yang hampir habis milik temannya yang lain.

(2011)

Comments