Sajak=Sajak Pringadi Abdi Surya di Jurnal Bogor 26/9/2010

Pertemuan Terakhir



Terakhir kalinya, kubiarkan kau tersenyum dan

mataku menyimpannya jauh lebih dalam dari retina.

Pemandangan seperti ini tidak akan kulupakan:

sofa-sofa yang penuh, mengelilingi satu meja makan

dan masih menunggu beberapa menu mengisi perut

yang keroncongan. Aku memandangimu yang tak pernah

habis, kecuali umur

melapuk dan bersiap mengukir diri

di nisan batu. Tiba-tiba aku ngungun laiknya

pohon pinang, bukti pendakian panjang

dan jatuh berulang. Burung-burung terbang, keluar

dari sangkar. Tupai melompat, pada akhirnya

jatuh juga. Lamunan itu mengusikku

yang tengah mencoba menautkan rindu

yang terputus

oleh mimpi-mimpi rahasia. Hanya jam dinding,

mengembalikanku kepada kesadaran,

di meja makan itu, di kafe yang sibuk itu,

di segala tatapn matamu yang tak pernah habis,

kecuali pertemuan ini jadi akhir

bagi pelarian panjang

yang entah.





Hujan dalam Komposisi, XX



Dipenuhinya kolam itu, yang tadinya setengah

isi. Hujan masih menangis sendirian. Aku meratapi

jemuran yang kebasahan. Kolam meluber.

Ikan-ikan berenang dan berencana naik ke langit.





Selalu Begitu



Selalu begitu, aku tak mampu

menahan beban waktu. Angka-angka beranjak,

tetapi tak ada dering di handphoneku. Kutulis

sajak ini, berharap Tuhan membacanya

dan diam-diam mengizinkan segalanya

menjadi mudah—untuk sebuah pertemuan itu.

Matahari boleh saja hilang dari langit, bintang

meledak, dan angin malam bergerak cepat

ke utara. Selalu begitu, tetapi aku

menjadi laki-laki yang hirau pada

segalanya, kecuali bau

yang melekat di tubuhmu. Kecuali minggu

terlewati dan menjadi kosong

tanpa dirimu.





Kenangan Putih



Secangkir kopi di meja kubiarkan tandas dihirup udara yang haus. Musim ini begitu tak menentu, jejak-jejak sepatu tertutup tumpukan salju. Patahan ranting yang memiliki sidik jarimu pun sudah bersatu dengan tanah. Kecuali sebatang pohon yang diukirkan payung cinta bertuliskan nama kita berdua. Aku mengakui kamboja telah cemburu dan mencurimu dari bola mataku. Kecuali kenangan yang seberapapun tahun masih mampu kupanggil langsung lewat telepon genggam yang menyimpan suaramu. Jika suatu saat aku rindu, aku akan memanggilmu dan di sana, seolah-olah kamu sedang sibuk atau sedang tak ada di tempat. Kecuali di hatiku, sudah selalu kusiapkan istana dari gundukan musim-musim itu.



Kematian memang tidak pernah memilih, ya?





Motif, X



Aku tahu, Nda, perjalanan panjangmu dari

Prabumulih membuat matamu letih. Semua kulit

seperti keriput, dan cinta di antara kita beringsut

padam. Tetapi hanya malam yang mengingatkanku

betapa rindu sudah begitu menggebu. Dan tangan

kita belum jua bergenggaman, karena waktu.

Tetapi cinta sebenarnya tak pernah benar-benar

padam. Sebab duduk di Barong Cafe sore itu, aku

tahu betapa dalam dirimu bersarang. Aku paham

perjalanan hidup seperti naik halilintar di dufan itu,

yang tak pernah berani aku pilih. Hanya dirimu

yang bukan pilihan dan telah diantarkan Tuhan

kepadaku. Aku tahu, Nda, persis setelah

pertemuan

itu,

cinta akan mendekapku lebih erat. Dan Tuhan

akan memberikan cobaan yang lebih berat.



Sonet Motif, XX



Dan kupaki barang-barang. Tiga tahun belakangan tak muat

di kepalaku. Buku-buku, catatan, dan foto-fotomu masih kusimpan

dan tak berani aku hapus. Akun fesbukmu pun diam-diam kulihat,

barangkali kamu sudah ketemu cowok tampan baru teridaman.



Aku suka cemburu, marah-marah, dan bertingkah laku

seenak perutku sendiri. Tetapi, cintalah yang membuat kita mampu

berdiri bersama dan saling bergenggaman tangan, andai, waktu

terus melekat di tangan kirimu. Dan mata kita terus saling beradu.



Tetapi, Tuhan menerapkan cobaan pada cinta ini. Ada airmata

yang jatuh tertumpah. Ada cinta yang tak dapat kita jaga.

Sampai segalanya begitu jauh, dan terlambat. Hati masing-masing

mulai goyah dan menjadi gasing yang berputar terlalu sering.



Zasneda, tiba-tiba aku rindu kamu. Tiba-tiba aku kembali

memikirkanmu. Tiba-tiba pula, hatiku mendadak mati.









Biodata Singkat:

Pringadi Abdi Surya, dilahirkan di Palembang, 18 Agustus 1988. Buku sajaknya berjudul ALUSI. Bergerak di komunitas sastra kota jakarta (Kosakata).



link:

http://www.jurnalbogor.com/?p=127033

Comments