Sajak-sajak Goenawan Muhammad
Perempuan Itu Menggerus Garam
Perempuan itu menggerus garam pada cobek
di sudut dapur yang kekal.
“Aku akan menciptakan harapan,” katanya, “pada batu hitam.”
Asap tidak pernah singkat. Bubungan seperti warna dunia
dalam mimpi Yeremiah
Ia sendiri melamunkan ikan, yang berenang di akuarium,
seperti balon-balon malas yang tak menyadari warnanya,
ungkapannya, di angkasa. “Merekalah yang bermimpi,”
katanya dalam hati.
Tapi ia sendiri bermimpi. Ia memimpikan busut-busut terigu, yang
turun, seperti hujan menggerutu. Di sebuah ladang. Enam
orang berlari seakan ketakutan akan matahari.
“Itu semua anakku,” katanya. “Semua anakku.”
Ia tidak tahu ke mana mereka pergi, karena sejak itu tidak ada
yang pulang. Si bungsu, dari sebuah kota di Rusia, tak pernah
menulis surat. Si sulung hilang. Empat saudara kandungnya
hanya pernah mengirimkan sebuah kalimat,
“Mak, kami hanya pengkhianat.”
Barangkali masih ada seorang gadis, di sajadah yang jauh,
(atau mungkin mimpi itu hanya kembali,)
yang tak mengenalnya. Ia sering berpesan dengan
bahasa diam asap pabrik. Ia tak berani tahu siapa dia,
ia tidak berani tahu.
Perempuan itu hanya menggerus garam pada cobek
di sudut dapur yang kekal.
1995
Kwatrin Musim Gugur
I
Di udara dingin proses pun mulai: malam membereskan daun
menyiapkan ranjang mati.
Hari akan melengkapkan tahun
sebelum akhirnya pergi.
II
Kini akan habis matahari
yang membujuk anak ke pantai
Tinggal renyai.
Warna berganti-ganti. Dan engkau tak mengerti
III
Pada kalender musim pun diam.
Pada kalender aku pun bosan.
Di bawah daun-daun merah, bersembunyi jejak-Mu singgah
Sunyi dan abadi. Musim panas begitu megah.
IV
Kabar terakhir hanya salju
Suara dari jauh, dihembus waktu
Kita tak lagi berdoa. Kita bisa menerka
Hanya ada senja, panas penghabisan yang renta
1967-1968
Kwatrin tentang Sebuah Poci
Pada keramik tanpa nama itu
kulihat kembali wajahmu
Mataku belum tolol, ternyata
untuk sesuatu yang tak ada
Apa yang berharga pada tanah liat ini
selain separuh ilusi?
sesuatu yang kelak retak
dan kita membikinnya abadi
1973
Di Muka Jendela
Di sini
cemara pun gugur daun. Dan kembali
ombak-ombak hancur terbantun.
Di sini
kemarau pun menghembus bumi
menghembus pasir, dingin dan malam hari
ketika kedamaian pun datang memanggil.
Ketika angin terputusputus di hatimu menggigil
dan sebuah kata merekah
diucapkan ke ruang yang jauh: –Datanglah!
Ada sepasang bukit, meruncing merah
dari tanah padang-padang yang tengadah
di mana tangan-hatimu terulur. Pula
ada menggasing kincir yang sunyi
ketika senja mengerdip, dan di ujung benua
mencecah pelangi:
Tidakkah sapa pun lahir kembali di detik begini
ketika bangkit bumi,
sajak bisu abadi,
dalam kristal kata
dalam pesona?
1961
Dongeng Sebelum Tidur
“Cicak itu, cintaku, berbicara tentang kita.
Yaitu nonsens.”
Itulah yang dikaakan baginda kepada permaisurinya, pada malam itu. Nafsu di ranjang telah jadi teduh dan senyap merayap antara sendi dan sprei.
“Mengapakah tak percaya? Mimpi akan meyakinkan seperti matahari pagi.”
Perempuan itu terisak, ketika Anglingdarma menutupkan kembali
kain ke dadanya dengan nafas yang dingin, meskipun ia mengecup rambutnya.
Esok harinya permaisuri membunuh diri dalam api.
Dan baginda pun mendapatkan akal bagaimana ia harus melarikan diri –dengan pertolongan dewa-dewa entah dari mana– untuk tidak setia
“Batik Madrim, Batik Madrim, mengapa harus, patihku? Mengapa harus seorang mencintai kesetiaan lebih dari kehidupan dan sebagainya dan sebagainya?’
1971
Perempuan itu menggerus garam pada cobek
di sudut dapur yang kekal.
“Aku akan menciptakan harapan,” katanya, “pada batu hitam.”
Asap tidak pernah singkat. Bubungan seperti warna dunia
dalam mimpi Yeremiah
Ia sendiri melamunkan ikan, yang berenang di akuarium,
seperti balon-balon malas yang tak menyadari warnanya,
ungkapannya, di angkasa. “Merekalah yang bermimpi,”
katanya dalam hati.
Tapi ia sendiri bermimpi. Ia memimpikan busut-busut terigu, yang
turun, seperti hujan menggerutu. Di sebuah ladang. Enam
orang berlari seakan ketakutan akan matahari.
“Itu semua anakku,” katanya. “Semua anakku.”
Ia tidak tahu ke mana mereka pergi, karena sejak itu tidak ada
yang pulang. Si bungsu, dari sebuah kota di Rusia, tak pernah
menulis surat. Si sulung hilang. Empat saudara kandungnya
hanya pernah mengirimkan sebuah kalimat,
“Mak, kami hanya pengkhianat.”
Barangkali masih ada seorang gadis, di sajadah yang jauh,
(atau mungkin mimpi itu hanya kembali,)
yang tak mengenalnya. Ia sering berpesan dengan
bahasa diam asap pabrik. Ia tak berani tahu siapa dia,
ia tidak berani tahu.
Perempuan itu hanya menggerus garam pada cobek
di sudut dapur yang kekal.
1995
Kwatrin Musim Gugur
I
Di udara dingin proses pun mulai: malam membereskan daun
menyiapkan ranjang mati.
Hari akan melengkapkan tahun
sebelum akhirnya pergi.
II
Kini akan habis matahari
yang membujuk anak ke pantai
Tinggal renyai.
Warna berganti-ganti. Dan engkau tak mengerti
III
Pada kalender musim pun diam.
Pada kalender aku pun bosan.
Di bawah daun-daun merah, bersembunyi jejak-Mu singgah
Sunyi dan abadi. Musim panas begitu megah.
IV
Kabar terakhir hanya salju
Suara dari jauh, dihembus waktu
Kita tak lagi berdoa. Kita bisa menerka
Hanya ada senja, panas penghabisan yang renta
1967-1968
Kwatrin tentang Sebuah Poci
Pada keramik tanpa nama itu
kulihat kembali wajahmu
Mataku belum tolol, ternyata
untuk sesuatu yang tak ada
Apa yang berharga pada tanah liat ini
selain separuh ilusi?
sesuatu yang kelak retak
dan kita membikinnya abadi
1973
Di Muka Jendela
Di sini
cemara pun gugur daun. Dan kembali
ombak-ombak hancur terbantun.
Di sini
kemarau pun menghembus bumi
menghembus pasir, dingin dan malam hari
ketika kedamaian pun datang memanggil.
Ketika angin terputusputus di hatimu menggigil
dan sebuah kata merekah
diucapkan ke ruang yang jauh: –Datanglah!
Ada sepasang bukit, meruncing merah
dari tanah padang-padang yang tengadah
di mana tangan-hatimu terulur. Pula
ada menggasing kincir yang sunyi
ketika senja mengerdip, dan di ujung benua
mencecah pelangi:
Tidakkah sapa pun lahir kembali di detik begini
ketika bangkit bumi,
sajak bisu abadi,
dalam kristal kata
dalam pesona?
1961
Dongeng Sebelum Tidur
“Cicak itu, cintaku, berbicara tentang kita.
Yaitu nonsens.”
Itulah yang dikaakan baginda kepada permaisurinya, pada malam itu. Nafsu di ranjang telah jadi teduh dan senyap merayap antara sendi dan sprei.
“Mengapakah tak percaya? Mimpi akan meyakinkan seperti matahari pagi.”
Perempuan itu terisak, ketika Anglingdarma menutupkan kembali
kain ke dadanya dengan nafas yang dingin, meskipun ia mengecup rambutnya.
Esok harinya permaisuri membunuh diri dalam api.
Dan baginda pun mendapatkan akal bagaimana ia harus melarikan diri –dengan pertolongan dewa-dewa entah dari mana– untuk tidak setia
“Batik Madrim, Batik Madrim, mengapa harus, patihku? Mengapa harus seorang mencintai kesetiaan lebih dari kehidupan dan sebagainya dan sebagainya?’
1971
Comments