Sajak-Sajak Raudal Tanjung Banua
Di pintu Quan Am Tu Pulau Galang
Tua dan sepi tidak menenggang
Serombongan peziarah bersideku.
Seorang tua gemetar
dan berkisah kepadaku.
Berhari-hari lalu
Kusalin ia kembali
jadi lilin jadi api jadi lapar
yang terus kunyalakan
untuk sampai pada sebagian kecil
inti perih puisi ini—lilin kecil
kesaksian
di bumi:
Di pintu Quan Am Tu, seperti Tuan lihat, selalu
gemetar tubuhku. Terbayang semenanjung jauh
kilatan-kilatan pedang dan bunga api malam-malam
Terkenang bintang-bintang merah nyala
—bukan, merah dadu, mempertaruhkan kelam
untung-malang manusiaku
Terbayang, kapal-kapal ikan, kapal-kapal kayu tua
oleng di mata pusaran: arus topan, badai yang kejam
dan goncang nafas tuhan
Ke mana kami hendak menuju? Lautan luas
tak bertara. Daratan tak dikenal
bagai bintik hitam di luka telapak tangan
mengelupas dan hilang,
seperih harapan yang direnggutkan
seperti garam dibasuh air garam
Di manakah pintu harapan sebuah pulau? Dermaga,
pantai yang landai, atau pengap-hampa
ruang periksa? Kami ingin berlabuh
supaya tenang goncangan nafas tuhan
—reda tangis Dewi Quan Im
di dada kami yang redam.
Tapi pelabuhan dan pantai bukan lagi pintu
sejak laut dan gelombang api bersekutu
meminta kami pergi
dari tepi semenanjung…
sejak itu, api dalam diri mesti dibangkitkan
jika perlu sehalus sekaligus setegar nyanyian topan
di lapuk buritan:
Ya, ya, secerlang mata ikan dalam keranjang
seredup mata-mata ikan di air dangkal
mati lebih baik kami dapatkan
di air dalam, di tangkapan perompak
atau jaring nelayan Siam
Jangan di tanah sendiri
darah tak lagi suci
maka kami pun berkorban
demi pelayaran tak pasti ini:
sepasang kakek-nenek yang sakit, mati
berpeluk hilang ranjang. Dengan keharuan yang jinak
kami lempar mereka ke laut
tubuh mereka terapung hilang dayung
lepas dari kekangan tangan dunia
yang mengepung arah lempang ke sorga.
Lima orang anak gadis kami
diseret awak kapal patroli
dua jatuh ke tangan ketua perompak kidal
dan sambil tertawa melengking
ia bilang akan dikawini di pulau karang tersembunyi.
Seorang putra kami luka pada lambung
—kanan atau kiri, aku tak ingat lagi;
tapi apa bedanya, Tuan? Ia sudah melawan
para perompak, lalu menghadapi awak kapal patroli
yang ternyata menyita lebih banyak
dari sisi kami. Sebagian putra-putri kami, o, kefanaan,
menderita kejang-kejang karena lapar
dan infeksi luka pertempuran,
bertelentangan di geladak
menunggu ajal
Kami sendiri, sembilan keluarga
Empat puluh delapan orang—dari enam puluh enam
yang tersisa—sama menunggu pedang langit
memutus ikatan kami dengan dunia
Tapi api dalam diri harus tetap dibangkitkan
nyanyian mencari pintu harapan tak boleh majal
oleh kecut kematian:
“Para komandan, perompak dan tukang jagal
biarkan kami terus ke selatan
biar berlumut atau pecah perahu
mengeras batu kapal kayu tunggangan
biarkan kami terdampar
di pintu harapan sebuah pulau
tak perlu harpun atau terompet lokan ditiupkan!”
Akhirnya memang kami terdampar
Di pulau sebintik hitam di tengah luka telapak tangan
tapi itu yang terbaik kami dapatkan
Dari Teluk Tonkin dan Teluk Siam
akhirnya di Natuna Laut Cina Selatan
kami temui jalan; mengeram di rawa-rawa sagu,
masuk hutan bakau di celah sempit sulur akar,
dan tinggal di kebun cengkeh
di pedalaman; kapal-kapal karam dan terbakar
sudah kami lepaskan. Saudara-saudara lapar,
mati, dan bunuh diri pelan-pelan
sudah kami upacarai
sekadar menghibur diri
bahwa di tanah pijakan—seperti mimpi setengah khayalan—
kami diterima selayaknya keluarga sendiri
Kami bertukar tempe, tahu, kacang kedele,
dan sesekali emas batangan lama tersimpan
dengan beras dan sagu
Yang lain ikut ke ladang
memetik cengkeh
dan membuka huma baru
Ada yang mengajar, menjadi guru
di sekolah berdinding papan dan kulit sagu
Mendirikan bangunan, membuka jalan
Satu dua anak kami dan pemuda kampung
terlibat percintaan, oh, Dewi Quan Im
kami merasakan engkau mulai tersenyum
meski dingin, meski cengkeh dan sagu-sagu pun
berbunga di Natuna
Tapi di sini tetap lebih baik
karena tak ada perang dan pengusiran
meski bukan tak ada penderitaan
kenangan akan kampung halaman
dan panjang perjalanan
bagaimana mungkin dapat hilang?
Dan entah pada bulan atau tahun keberapa
Datang perintah bahwa kami harus pindah
ke mari. Kami pun berpisah dengan saudara-saudara kami
di Natuna yang kami cintai. Tak apa. Dengan sisa kasihan ombak
kami bersorak,”Pulau Galang, kami datang, kami datang
dan kami tak akan pulang!”
Di sinilah, di pulau sunyi ini, kami tinggal dalam kampung
berupa kamp. Para tentara dan pengawal
memisahkan kami dari kampung-kampung di seberang
O, amis darah tercium juga sampai ke mari
ketika orang berbicara soal garis dan batas,
asal-usul dan negara
Kami ingin di sini, tapi ternyata mesti pergi
selamanya.
Demikianlah akhirnya, kami diminta kembali pulang
ke kampung halaman kami di tepi semenanjung
Itu bahasa paling layak ketimbang meminta kami pergi
tanpa alasan. Tapi, apakah artinya kampung halaman
jika seseorang merasa tenang
di tengah tanah dan air yang bermil-mil ia jelang?
Beratus kami menolak,
beratus kami bilang kata tidak
bahkan dengan membakar sisa-sisa kapal kenangan
yang lain, betapa sedih, membakar dirinya sendiri
Sebagian memutuskan pergi
jadi burung-burung migrasi
mencari daratan baru di bintik luka suratan telapak tangan
Dan semakin jauh kami, semakin kekal kenangan atas pulau-pulau
tak pernah lampau ini
Maka ke sini jua kami ziarah, menghadap Dewi Kasih Sayang
Di pintu Quan Am Tu
Kami pulang dan tersedu
Terimalah doa kami, Dewi,
Terimalah kesaksian kami, Tuan,
sebagai manusia sesama pemilik hidup
di bumi yang satu.
Selesai bercerita ia ulurkan tangannya,
Aku terkesiap dan menjabat hangat
Tapi sebentar kami sudah saling melepaskan
“Nguyen, di bumi yang satu,
kita bertemu dan berpisah
di Quan Am Tu
kuziarahi jejak sunyi
derita bangsamu
di tengah kandil gemerlap
cahaya dan laku bangsaku…”
/2008-2009
Candi Tikus
terkubur ratusan tahun
di bawah air dan lumpur
ia muncul
seperti gadis habis dimandikan
fajar yang menyelinap
sampai ke tiap lekuk
tak dikenal.
ia tak bangkit dari keruntuhan
karena tak pernah runtuh
bersemayam di bawah tanah
ia sesungguhnya kepundan
di tengah kaldera
ia menampung segala makhluk melata
yang memanjat dan mengerat
tubuhnya; dan ia tabah
seperti pertapa
menunggu datangnya
cahaya pertama.
/Trowulan, 2009
Batang Nibung
bermiang bukan jelatang
berduri bukannya rotan
lurus-ramping serupa pinang
buah tiada diharap orang
mekar pelepah bukan zaitun
daun bukan tatahan lontar
hidup di hutan dan belukar
sendiri meninggi
dalam keheningan—penunjuk arah
bagi perimba
membuka jalan
menebangnya.
/Rumahlebah Yogyakarta, 2009
*) Lahir di Lansano, Kenagarian Taratak, Kabupaten Pesisir Selatan, Sumatera Barat, 19 Januari 1975. Mengelola Komunitas Rumahlebah dan Jurnal Cerpen Indonesia di Yogyakarta. Buku puisinya adalah Gugusan Mata Ibu (2005) dan Api Bawah Tanah (dalam proses terbit).
Tua dan sepi tidak menenggang
Serombongan peziarah bersideku.
Seorang tua gemetar
dan berkisah kepadaku.
Berhari-hari lalu
Kusalin ia kembali
jadi lilin jadi api jadi lapar
yang terus kunyalakan
untuk sampai pada sebagian kecil
inti perih puisi ini—lilin kecil
kesaksian
di bumi:
Di pintu Quan Am Tu, seperti Tuan lihat, selalu
gemetar tubuhku. Terbayang semenanjung jauh
kilatan-kilatan pedang dan bunga api malam-malam
Terkenang bintang-bintang merah nyala
—bukan, merah dadu, mempertaruhkan kelam
untung-malang manusiaku
Terbayang, kapal-kapal ikan, kapal-kapal kayu tua
oleng di mata pusaran: arus topan, badai yang kejam
dan goncang nafas tuhan
Ke mana kami hendak menuju? Lautan luas
tak bertara. Daratan tak dikenal
bagai bintik hitam di luka telapak tangan
mengelupas dan hilang,
seperih harapan yang direnggutkan
seperti garam dibasuh air garam
Di manakah pintu harapan sebuah pulau? Dermaga,
pantai yang landai, atau pengap-hampa
ruang periksa? Kami ingin berlabuh
supaya tenang goncangan nafas tuhan
—reda tangis Dewi Quan Im
di dada kami yang redam.
Tapi pelabuhan dan pantai bukan lagi pintu
sejak laut dan gelombang api bersekutu
meminta kami pergi
dari tepi semenanjung…
sejak itu, api dalam diri mesti dibangkitkan
jika perlu sehalus sekaligus setegar nyanyian topan
di lapuk buritan:
Ya, ya, secerlang mata ikan dalam keranjang
seredup mata-mata ikan di air dangkal
mati lebih baik kami dapatkan
di air dalam, di tangkapan perompak
atau jaring nelayan Siam
Jangan di tanah sendiri
darah tak lagi suci
maka kami pun berkorban
demi pelayaran tak pasti ini:
sepasang kakek-nenek yang sakit, mati
berpeluk hilang ranjang. Dengan keharuan yang jinak
kami lempar mereka ke laut
tubuh mereka terapung hilang dayung
lepas dari kekangan tangan dunia
yang mengepung arah lempang ke sorga.
Lima orang anak gadis kami
diseret awak kapal patroli
dua jatuh ke tangan ketua perompak kidal
dan sambil tertawa melengking
ia bilang akan dikawini di pulau karang tersembunyi.
Seorang putra kami luka pada lambung
—kanan atau kiri, aku tak ingat lagi;
tapi apa bedanya, Tuan? Ia sudah melawan
para perompak, lalu menghadapi awak kapal patroli
yang ternyata menyita lebih banyak
dari sisi kami. Sebagian putra-putri kami, o, kefanaan,
menderita kejang-kejang karena lapar
dan infeksi luka pertempuran,
bertelentangan di geladak
menunggu ajal
Kami sendiri, sembilan keluarga
Empat puluh delapan orang—dari enam puluh enam
yang tersisa—sama menunggu pedang langit
memutus ikatan kami dengan dunia
Tapi api dalam diri harus tetap dibangkitkan
nyanyian mencari pintu harapan tak boleh majal
oleh kecut kematian:
“Para komandan, perompak dan tukang jagal
biarkan kami terus ke selatan
biar berlumut atau pecah perahu
mengeras batu kapal kayu tunggangan
biarkan kami terdampar
di pintu harapan sebuah pulau
tak perlu harpun atau terompet lokan ditiupkan!”
Akhirnya memang kami terdampar
Di pulau sebintik hitam di tengah luka telapak tangan
tapi itu yang terbaik kami dapatkan
Dari Teluk Tonkin dan Teluk Siam
akhirnya di Natuna Laut Cina Selatan
kami temui jalan; mengeram di rawa-rawa sagu,
masuk hutan bakau di celah sempit sulur akar,
dan tinggal di kebun cengkeh
di pedalaman; kapal-kapal karam dan terbakar
sudah kami lepaskan. Saudara-saudara lapar,
mati, dan bunuh diri pelan-pelan
sudah kami upacarai
sekadar menghibur diri
bahwa di tanah pijakan—seperti mimpi setengah khayalan—
kami diterima selayaknya keluarga sendiri
Kami bertukar tempe, tahu, kacang kedele,
dan sesekali emas batangan lama tersimpan
dengan beras dan sagu
Yang lain ikut ke ladang
memetik cengkeh
dan membuka huma baru
Ada yang mengajar, menjadi guru
di sekolah berdinding papan dan kulit sagu
Mendirikan bangunan, membuka jalan
Satu dua anak kami dan pemuda kampung
terlibat percintaan, oh, Dewi Quan Im
kami merasakan engkau mulai tersenyum
meski dingin, meski cengkeh dan sagu-sagu pun
berbunga di Natuna
Tapi di sini tetap lebih baik
karena tak ada perang dan pengusiran
meski bukan tak ada penderitaan
kenangan akan kampung halaman
dan panjang perjalanan
bagaimana mungkin dapat hilang?
Dan entah pada bulan atau tahun keberapa
Datang perintah bahwa kami harus pindah
ke mari. Kami pun berpisah dengan saudara-saudara kami
di Natuna yang kami cintai. Tak apa. Dengan sisa kasihan ombak
kami bersorak,”Pulau Galang, kami datang, kami datang
dan kami tak akan pulang!”
Di sinilah, di pulau sunyi ini, kami tinggal dalam kampung
berupa kamp. Para tentara dan pengawal
memisahkan kami dari kampung-kampung di seberang
O, amis darah tercium juga sampai ke mari
ketika orang berbicara soal garis dan batas,
asal-usul dan negara
Kami ingin di sini, tapi ternyata mesti pergi
selamanya.
Demikianlah akhirnya, kami diminta kembali pulang
ke kampung halaman kami di tepi semenanjung
Itu bahasa paling layak ketimbang meminta kami pergi
tanpa alasan. Tapi, apakah artinya kampung halaman
jika seseorang merasa tenang
di tengah tanah dan air yang bermil-mil ia jelang?
Beratus kami menolak,
beratus kami bilang kata tidak
bahkan dengan membakar sisa-sisa kapal kenangan
yang lain, betapa sedih, membakar dirinya sendiri
Sebagian memutuskan pergi
jadi burung-burung migrasi
mencari daratan baru di bintik luka suratan telapak tangan
Dan semakin jauh kami, semakin kekal kenangan atas pulau-pulau
tak pernah lampau ini
Maka ke sini jua kami ziarah, menghadap Dewi Kasih Sayang
Di pintu Quan Am Tu
Kami pulang dan tersedu
Terimalah doa kami, Dewi,
Terimalah kesaksian kami, Tuan,
sebagai manusia sesama pemilik hidup
di bumi yang satu.
Selesai bercerita ia ulurkan tangannya,
Aku terkesiap dan menjabat hangat
Tapi sebentar kami sudah saling melepaskan
“Nguyen, di bumi yang satu,
kita bertemu dan berpisah
di Quan Am Tu
kuziarahi jejak sunyi
derita bangsamu
di tengah kandil gemerlap
cahaya dan laku bangsaku…”
/2008-2009
Candi Tikus
terkubur ratusan tahun
di bawah air dan lumpur
ia muncul
seperti gadis habis dimandikan
fajar yang menyelinap
sampai ke tiap lekuk
tak dikenal.
ia tak bangkit dari keruntuhan
karena tak pernah runtuh
bersemayam di bawah tanah
ia sesungguhnya kepundan
di tengah kaldera
ia menampung segala makhluk melata
yang memanjat dan mengerat
tubuhnya; dan ia tabah
seperti pertapa
menunggu datangnya
cahaya pertama.
/Trowulan, 2009
Batang Nibung
bermiang bukan jelatang
berduri bukannya rotan
lurus-ramping serupa pinang
buah tiada diharap orang
mekar pelepah bukan zaitun
daun bukan tatahan lontar
hidup di hutan dan belukar
sendiri meninggi
dalam keheningan—penunjuk arah
bagi perimba
membuka jalan
menebangnya.
/Rumahlebah Yogyakarta, 2009
*) Lahir di Lansano, Kenagarian Taratak, Kabupaten Pesisir Selatan, Sumatera Barat, 19 Januari 1975. Mengelola Komunitas Rumahlebah dan Jurnal Cerpen Indonesia di Yogyakarta. Buku puisinya adalah Gugusan Mata Ibu (2005) dan Api Bawah Tanah (dalam proses terbit).
Comments