Selamat Natal, Mr. Pringadi

Sudah berapa jam ya sinterklas itu belum juga datang. Aku sudah menanti di perapian, di jendela, di depan pintu, atau pintu kecil di gudang belakang. Aku mau tarik janggutnya, palsu nggak ya? Pukul delapan malam masih, orangtuaku berjanji untuk menukarkan bibirnya di pegadaian. Aku ditinggal sendirian. Aku perhatikan sekeliling ruangan. Pohon cemara yang penuh hiasan. Meja makan yang cuma jadi pajangan. Aku lupa kapan terakhir kali kami membiarkan sendok dan garpu saling bertemu. Hari itu piring dan mangkuk dilempar. Mereka lagi-lagi bertengkar. Aku kangen suasana-suasana kebersamaan. Pergi ke bukit kecil, menggelar tikar, dan menghidangkan ikan bakar. Atau ke pantai, melihat ombak dan riak air laut yang asin. Aku baru mengerti hidup ini pun begitu asin. Aku menyalakan televisi kali-kali ada pengeboman lagi. Aku ingin paham sejatinya kehidupan ini ada rasa selain asam dan garam. Tetapi, sinterklas itu belum datang juga. Aku ingin minta padanya sebuah mantra. Biar lampu terus menyala. Biar perapian selalu memberi kehangatan. Biar meja makan itu mulai dihidangkan banyak menu. Biar aku tak merasa asing dengan diriku.

Comments

Anonymous said…
Biar aku tak merasa asing denganmu.