Berkenalan dengan Tujuh Penyair Belanda
Rudy Kousbroek
Berkenalan dengan Tujuh Penyair Belanda
oleh Asep Sambodja
Festival Puisi Internasional Indonesia 2002 merupakan salah satu peristiwa puisi yang penting di mata dunia. Dalam festival ini, penyair-penyair dari berbagai negara diundang untuk membacakan puisi-puisi mereka dalam bahasa mereka sendiri. Pendengar yang tidak mengerti dan memahami puisi yang dibacakan biasanya diberikan terjemahannya oleh panitia. Penyair-penyair yang diundang dalam acara ini telah melewati suatu proses seleksi yang dilakukan oleh para penyair senior dan mendapatkan honorarium yang sangat pantas. Dalam hal ini, yang menjadi kurator dalam Festival Puisi Internasional Indonesia 2002 adalah Rendra, Remco Campert, Martin Mooij, dan Silke Behl.
Festival ini tidak bisa dipisahkan dari tradisi yang sudah diadakan di Belanda sejak 1970, yakni Poetry International di Rotterdam. Orang yang paling berjasa atas keberlangsungan festival puisi dunia ini adalah Martin Mooij. Ia bekerja pada Dewan Kesenian Rotterdam pada 1969 dan mulai mendesain Festival Poetry International di Rotterdam. Martin Mooij adalah sosok yang unik, karena ketika muda sudah berani membangkang penguasa. Dalam arti, ia menolak wajib militer yang diselenggarakan pemerintahnya pada 1940-an. Adapun alasan penolakannya adalah karena ia merasa keberatan untuk membunuh orang lain, apalagi orang yang sedang berjuang demi kemerdekaan bangsanya (Mooij, 2002: 7).
Alasan Martin Mooij itu sangat manusiawi dan sarat dengan nilai-nilai kemanusiaan. Meskipun demikian, ia memetik risiko akibat pembangkangannya tersebut, yakni tidak mendapat akses untuk bekerja di instansi pemerintah Belanda. Karena itu, bisa dipahami jika Martin Mooij memberikan perhatian yang demikian besar pada Poetry International di Rotterdam. Ia sangat memegang teguh pernyataan Manager Kebudayaan Dewan Kesenian Rotterdam, Adrian van der Staay, yang diungkapkan pada pembukaan Poetry International Rotterdam pada 1970. Adrian mengatakan, “Suara kemanusiaan sangatlah lemah. Di tengah kekerasan perang hanya tangis yang bisa didengar. Setelah terlalu banyak dijejali oleh mesin, diabaikan oleh teknik, dibungkam oleh kelaparan, suara kemanusiaan jadi senyap tak terdengar. Poetry International ingin memberi tanggapan pada suara kemanusiaan.” (Mooij, 2002: 9).
Rendra, Ketua Umum Puisi Internasional Indonesia 2002 mengatakan, festival ini dimaksudkan menjadi tempat orang-orang dari bahasa, nasionalitas, dan latar belakang berbeda dapat saling berjumpa dari hati ke hati lewat puisi (Ismail, 2002: 4).
Ada tujuh penyair Belanda yang tampil dalam Puisi Internasional Indonesia 2002 ini, selain beberapa penyair dari Jerman, Afrika Selatan, Jepang, Malaysia, Austria, dan Indonesia sebagai tuan rumah. Ketujuh penyair Belanda itu adalah Remco Campert, Gerrit Komrij, Rudy Kousbroek, Mustafa Stittou, Ramsey Nasr, dan dua penyair perempuan Belanda: Gerry van der Linden dan Hagar Peeters. Yang menarik adalah salah satu di antara mereka, yakni Rudy Kousbroek lahir dan besar di Indonesia, tepatnya di Pematang Siantar, Sumatera Utara.
Dalam membahas puisi-puisi mereka, saya menyertakan biodata singkat masing-masing penyair yang terdapat dalam majalah Horison edisi khusus, April 2002, untuk mengenal lebih dekat penyairnya. Dalam kesempatan ini, masing-masing penyair hanya saya analisis sebuah puisinya, yang menurut saya merepresentasikan kepenyairan mereka. Secara garis besar, saya melihat bahwa penyair-penyair Belanda sangat menikmati dengan permainan bunyi dan permainan makna. Kata-kata yang mereka gunakan relatif ringan dan sederhana, namun terkadang memunculkan makna yang dalam. Puisi-puisi yang saya tampilkan di sini setidaknya memperlihatkan bahwa persoalan yang mereka ungkap atau sampaikan melalui puisi-puisi mereka adalah persoalan sederhana yang bisa dialami oleh siapa pun.
1. Gerrit Komrij
Gerrit Komrij lahir di Winterswijk, 1944. Ia sejak lama termasuk penyair paling populer di Belanda dan disebut sebagai Dichter des Vaderlands (‘penyair negara’). Tidak hanya itu, ia juga adalah esais yang cerdas, kritikus yang tajam, dan penerjemah berbakat. Pada 1968 ia menerbitkan kumpulan sajaknya yang pertama Maagdenburger halve bollen en andere gedichten. Dia menjadi terkenal karena humor-humornya yang garang dan teknik persajakannya yang sempurna. Dia termasuk penyair Belanda yang diundang dalam festival Poetry International yang pertama di Rotterdam (1970).
Gerrit Komrij juga dipandang sebagai penyusun bunga rampai yang paling pandai mengenai puisi Belanda dari abad keduabelas sampai dengan abad keduapuluh. Ia membuka ilmu persajakan untuk publik pembaca yang luas. Kritik-kritik serta pandangan-pandangannya mengenai puisi yang terbit dalam bentuk buku serta surat kabar dan majalah—baik harian maupun mingguan—sering dijadikan acuan dalam meluaskan perhatian pembaca mengenai ilmu persajakan pada dasawarsa-dasawarsa terakhir. Jumlah karangannya pun banyak, meliputi puisi, esai, kritik, dan artikel. Belum lama ini, telah terbit pula Awater, majalah puisi yang didirikannya. Sebuah majalah yang dimaksudkan untuk memberi penerangan mengenai ilmu perpuisian kepada para pembaca yang umum. Dan Gerrit Komrij dikenal luas juga sebagai performer yang hebat bagi pembacaan puisinya sendiri.
Makhluk Komrij
Ada binatang dongengan yang bernama ‘Komrij’,
Nama aneh bagi sesuatu yang begitu menyenangkan.
Kepalanya memang agak lebar,
Tapi dia tak punya keajaiban lain.
Dia agak terlalu sabar, semacam kegagalan.
Tangannya sangat menyerupai sekop batu bara.
Juga kepalanya biasa di atasnya.
Dia tak akan menjelma menjadi sesuatu yang indah.
Dia adalah anjing, tak lain. Selama hidup dia
akan menjadi makhluk yang ‘selalu mengerti’.
Hanya pada larut malam dia melolong,
karena ada sakit rahasia yang mencekiknya.
Puisi Gerrit Komrij ini memperlihatkan keberanian Komrij untuk mengkritik dan menertawakan dirinya sendiri; sesuatu yang sulit dilakukan oleh manusia biasa. Ia bahkan menganalogikan dirinya sebagai seekor anjing—sesuatu yang justru dihindari oleh siapa pun, mengingat kata ‘anjing’ bisa berarti sesuatu yang rendah dan biasa dijadikan sebagai cacian—dengan tanpa beban. Namun, metafora anjing yang digunakan Komrij, yang dilekatkan pada dirinya sendiri sebagai “Makhluk Komrij”, berisi pesan yang penting, yakni adanya rasa sakit yang mencekik yang dilolongkannya pada setiap malam. Kata-kata pada bait terakhir ini memberi makna lebih pada puisi ini. Bahwa penyair menyuarakan sesuatu, atau “melolongkan sesuatu” karena memang ada sesuatu yang menyesakkan hatinya.
2. Gerry van der Linden
Gerry van der Linden (Eindhoven, 1952) mempublikasikan sajak-sajaknya untuk pertama kali di majalah Gedicht. Tiga tahun kemudian dia menerbitkan kumpulan sajaknya yang pertama De Aantekening. Selepas itu, dia meninggalkan Belanda untuk beberapa lama dan tinggal serta bekerja di San Francisco, tempat ia antara lain memimpin bengkel puisi, membacakan sajak-sajaknya dan menerjemahkannya. Pada 1990, kumpulan sajaknya yang kedua Val op de rand terbit di Belanda. Dalam kumpulan sajaknya tersebut, ia menunjukkan diri sebagai penyair lirik yang membangkitkan minat di satu sisi dan sekaligus bersikap bandel. Tema-tema pokoknya umumnya berkisar antara pertalian hubungan, maut, anak, keluarga, perjalanan. Dan dalam seluruh tema itu selalu saja terdapat ketegangan tersembunyi. Beberapa kumpulan sajaknya sejak itu bermunculan.
Gerry van der Linden kemudian juga mulai menulis prosa. Pada 2001, terbit kumpulan sajak yang terbarunya, Uitweg. Di dalamnya, sang ayahnya yang meninggal dunia memegang peranan yang sangat penting. Pada 1998 Gerry van der Linden pergi ke Indonesia untuk pertama kalinya. Bersama Remco Campert dan beberapa penyair Indonesia, ia membacakan sajak-sajaknya di Jakarta dan Bandung.
Kebahagiaan
Aku tak tahan lagi
pasangan muda pakai tas untuk bermalam minggu
atau suami istri separo baya pakai ransel
melambaikan rambutnya berwarna abu-abu
seakan mereka saling melambai di sebuah ladang
gandum….
Apakah karena itu mereka kelihatan
begitu berjarak?
Tetapi pasangan-pasangan muda!
Mereka mempertunjukkan kewajaran
yang sangat tak tertahankan
seakan hari membentang untuk mereka
seperti permadani panjang
seakan di sana kebahagiaan berada
di jalan untuk didekap erat.
Dalam puisi “Kebahagiaan”, Gerry van der Linden membandingkan pasangan muda yang dibelenggu dengan formalitas dengan pasangan muda yang bebas lepas dari tetek-bengek formalitas. Gerry juga membandingkan pasangan suami-istri yang telah diikat dengan tali perkawinan dengan pasangan muda yang belum terikat dalam satu ikatan perkawinan. Gerry menilai bahwa formalitas dan ikatan perkawinan menjadikan hubungan antara laki-laki dengan perempuan menjadi berjarak, berbeda dengan hubungan pasangan muda yang benar-benar tidak terikat dengan lembaga perkawinan itu dan tidak terbelenggu dengan formalitas hubungan. Gerry ingin mengatakan bahwa pada pasangan muda yang bebas seperti itulah akan direguk kebahagiaan. Karena, “seakan hari membentang untuk mereka, seperti permadani panjang, seakan di sana kebahagiaan berada, di jalan untuk didekap erat.”
3. Hagar Peeters
Hagar Peeters lahir di Amsterdam, Belanda, 1972. Dia menempuh studi Sejarah Kebudayaan, Universitas Utrecht dan memenangkan the National Thesis Award 2001 untuk tesis terbaik yang ditulis di Belanda. Topik tesisnya adalah “Humanisasi Pengadilan Kriminal Belanda Sejak 1945”. Pada Mei 2002, sejarah biografis yang berdasar pada tesisnya akan diterbitkan. Pada 1999 terbit kumpulan puisinya yang pertama, Genoeg gedicht over de liefde vandaag (‘Cukup sekian Puisi tentang Cinta Hari Ini’). Pada 2000, dia masuk nominasi dalam NPS Culture Award. Hagar Peeters banyak menampilkan sajak-sajaknya di Belanda. Pada Mei 2000, dia tampil membacakan sajak-sajaknya di Kepulauan Antilla (Dutch Antilles).
Janji
Dia tak muncul.
Barangkali sakit atau tertabrak
trem, barangkali orang lain
menyapanya. Barangkali dia lupa jam tangannya
atau jam tangan lupa menunjukkan waktu.
Barangkali mobilnya tak mau menyala
atau rusak di tengah jalan.
Barangkali ada yang meneleponnya
tepat sebelum berangkat,
dengan kabar dia harus ke kremasi
atau bahwa ibunya meninggal.
Barangkali dia bertemu kenalan lama.
Barangkali dia sedang bertengkar di tempatnya kerja
kemudian dipecat dan menyembunyikan kepala
di bawah bantal. Barangkali jembatan membuka,
juga yang berikutnya.
Barangkali lampu lalu-lintas tetap merah.
Barangkali kartu banknya ditelan mesin uang
atau di tengah jalan dia lupa dompetnya.
Barangkali dia kehilangan kaca mata
tak bisa berhenti membaca
ada acara di TV yang ingin dia tonton sampai tamat
pintu rumahnya tidak bisa dikunci
dia kehilangan gepokan kunci,
dan tiba tiba anjingnya mulai muntah.
Barangkali tak ada telepon di sekitarnya,
alamat restorannya tak bisa dia temukan
atau dengan tak sengaja dia menunggu
di tempat berbeda.
Barangkali –kemungkinan terakhir
yang tak terpahami dan tak terduga—
dia tak lagi mencintaiku.
Terjemahan Linde Voûte dan Agus R. Sarjono
Hagar Peeters sangat jeli dengan permainan imajinasi. Ia berandai-andai kenapa kekasihnya tidak datang menepati janji sebagaimana yang telah disepakati bersama. Dalam pengandaian itu, Hagar Peeters mengeksplorasi segala kemungkinan yang ada, yang barangkali bisa saja apa yang dibayangkan aku-lirik mengenai kekasihnya itu memang benar adanya. Di sinilah kecerdikan seorang Hagar Peeters benar-benar dibutuhkan untuk menghasilkan sebuah puisi yang sarat humor dan mengembangkan narasi dalam sebuah puisi. Meskipun demikian, apa yang diandaikan penyair masih merupakan keutuhan, dan mendapatkan klimaksnya pada baris terakhir, bahwa “barangkali dia tak lagi mencintaiku”. Menurut saya, puisi Hagar Peeters ini sangat menarik dan kuat dalam gagasan.
4. Mustafa Stittou
Mustafa Stittou lahir di Tetouan, Marokko, 1974, dan tumbuh di Lelystad. Ia kini tinggal dan bekerja di Amsterdam. Selain belajar filsafat, ia menulis ulasan puisi di majalah mingguan Vrij Nederland. Pada 1994 terbit kumpulan sajak pertamanya Mijn Vormen (‘Bentukku’). Pada 1998 terbit Mijn Gedichten (‘Sajak-sajakku’). Dua kumpulan sajaknya itu mendapat pujian. Stittou menulis sajak-sajak lucu dan semaunya, yang ketika dipanggungkan hadir dengan penuh semangat. Ia bersedia melihat puisi pada apa saja dan ingin tahu tentang yang asing maupun yang sudah dikenal.
Ia berhasil mendapat nama baik sebagai performer di beberapa festival sastra, seperti Poetry International di Rotterdam pada 1994. Stittou juga menulis beberapa sajak pesanan, antara lain untuk Nationale Dodenherdenking 1999 (peringatan pada korban yang gugur dalam Perang Dunia II). Mustafa Stittou mengikuti Festival Winternachten pada Januari 2001.
2.
Si kepiting buruk rupa:
mencipta diri sendiri karena jumawa.
Suku bangsa mandi dengan susu:
demikianlah kera terjadi.
Buah delima terdiri
dari air mata beku
dari nabi.
Kalimat syahadat,
ada foto-foto dari itu, tertulis
di dedaunan.
Dari Armstrong
(tiada orang diizinkan tahu di Amerika)
telah mendengar azan
di rembulan.
diterjemahkan oleh Linde Voûte
Penyair asal Maroko, Mustafa Stittou ini memang dikenal sebagai penyair yang suka main-main. Dari segi tipografi, Mustafa Stittou tampak tidak main-main, namun dari segi diksi, ia sungguh-sungguh bermain-main, sehingga jalinan kata yang terbangun menjadi absurd karena kalimat yang tercipta tidak lagi mudah dipahami. Pembaca harus benar-benar jeli dengan kata-kata yang digunakan Mustafa Stittou ini, karena hubungan antara satu kata dengan kata lainnya bukanlah hubungan semantis, melainkan hanya sebatas hubungan sintaksis. Dalam arti, secara tata bahasa, struktur kalimat dalam puisi Mustafa Stittou bisa dibenarkan, namun tidak menghasilkan makna yang utuh. Kalaupun harus dicari maknanya, karena penyair memiliki kebebasan licentia poetica, maka makna yang tercipta adalah makna baru. Meskipun demikian, dalam puisi tersebut, terutama pada bagian akhirnya, terbaca juga bahwa Mustafa Stittou hendak mengkritik Amerika Serikat yang dikenal dunia telah mendaratkan Neil Armstrong di bulan. Sebab, ada yang masih meragukan apakah benar Neil Armstrong mendarat di bulan? Atau, benarkah Neil Armstrong mendengar suara azan di bulan? Dan, kalaupun benar, kenapa Amerika menutup-nutupi persoalan ini? Inilah yang mendasari kritik Stittou pada Amerika.
5. Ramsey Nasr
Ramsey Nasr (1974) adalah penyair, pemain sandiwara, penulis, dan sutradara. Keberhasilannya sebagai teaterawan dimulai pertama kali dengan monolognya De doorspeler. Pada 2000, terbit kumpulan sajaknya yang pertama, 27 gedichten & Geen Lied. Sebagai pemain teater dia bergabung selama lima tahun dengan salah satu rombongan sandiwara paling penting di Belanda, dan Vlaanderen. Dia pernah memainkan De doorspeler di Palestina dan Yordania dalam versi bahasa Inggris-Arab. Ia pun telah bermain dalam sejumlah film, dan kini tengah menjadi pemain utama dalam serial TV tiga jilid, De enclave.
Ramsey Nasr tampil dalam festival-festival puisi penting di wilayah berbahasa Belanda. Pada 2001 terbit novelnya yang pertama. Dia juga menulis dan menyutradarai Leven en Hel-de operette. Sehari sebelum berangkat ke Indonesia, dia menyutradarai Il Re Pastore, sebuah opera dari Mozart, di Gent, Belgia.
Malam
Aku tak membencimu. Aku mencintaimu dan membunuhmu,
Seperti orang sering lakukan untuk bertahan hidup,
Kamu tahu bahwa aku tak ada pilihan lain lagi: atau kamu,
Atau aku mau tidak mau. Kamu berdosa.
Kematian itu agak aneh bukan?
Kecepatannya mengherankan. Ya, dipikir kembali
seharusnya aku melakukannya tak tergesa-gesa,
Ludieker. Dalam terikat kau pun
berhari-hari menghiburku, kalau aku
memotong jaringan atau organ pada tubuhmu: sebuah ritual,
dengan itu hidup dengan sendirinya akan meninggalkanmu
dan bukan karena sakit, tetapi karena rasa hampa
yang demikian dalam. Teriak-teriakan ingin kudengar,
mengaduh, air-mata, tanda-tanda pertama
penyesalan. Betapa aku sungguh ketawa,
meludah di mukamu dan ketawa lagi,
tertawa besar yang berkali-kali bergema.
Itulah, manis, dari semua yang aku paling mau,
namun demikian aku tak beruntung.
Bahkan dari kematianmu aku tak dapat satu hasil pun.
Kamu sempurna dan utuh, aku berserah diri.
Sebentar saja aku merasa lega waktu bayangan
mu mengabur, tak sadar bahwa
kamu juga memerintahi malam. Dalam kegelapan
aku tinggal dan mengapa aku tak mengerti.
Dalam puisi “Malam” karya Ramsey Nasr terbaca bahwa penyair ingin menggambarkan sesuatu yang sadis namun disampaikan dengan biasa, seolah-olah kesadaisan itu sudah merupakan sesuatu yang biasa dan sangat wajar. Diksi yang digunakan pun memperkuat citraan yang hendak dibangun Ramsey. Dalam hal ini, diksi yang saya jadikan patokan adalah diksi dalam bahasa Indonesia—karena keterbatasan pembacaan saya pada karya aslinya. Dari kata-kata yang digunakan, seperti “malam”, “kegelapan”, “bayangan”, “kematian”, “membunuh”, “membenci” yang semuanya memiliki makna negatif. Puisi Ramsey Nasr ini mengingatkan saya pada cerpen-cerpen Seno Gumira Ajidarma yang menggambarkan kesadisan dengan sangat biasa, namun makna yang tertangkap dari teks itu adalah sesuatu yang sarkastis. Demikian pula dengan karya Ramsey Nasr ini, yang saya kira juga sangat sarkastis dalam menggambarkan hubungan sesama manusia yang dilandasi dengan “kegelapan”.
6. Remco Campert
Remco Campert lahir di Den Haag, 1929. Namanya mulai bersinar setelah ia menerbitkan kumpulan sajaknya yang pertama Vogels vliegen toch (1951). Sajak-sajaknya menunjukkan keengganan terhadap hal-hal penting dan dalam. Intisari dari kesungguhan, kemarahan, dan sebagainya, dibungkusnya dengan bahasa yang ringan. Ia mendedikasikan bakatnya bagi keragaman masyarakat kecil dengan kegigihan dan integritas yang tinggi.
Remco Campert pernah menjadi redaktur majalah Podium (1954-1955 dan 1970-1979) dan Tirade (1957). Dari 1973-1976 dia punya majalah sendiri, Gedicht (‘Sajak’) yang kini dianggap klasik dan dicari para kolektor.
Remco Campert bukan hanya seorang penyair, melainkan juga banyak menulis prosa dan esai. Kolom kecilnya muncul setiap dua hari sekali di koran terbesar Belanda dalam kolom CaMu (Campert & Mulder) selama bertahun-tahun dan telah menjadi bacaan kegemaran para pembaca koran itu. Dalam festival Poetry International di Rotterdam, Remco memegang peranan penting sejak 1972, baik sebagai peserta, sebagai penyaji, sebagai penerjemah, maupun sebagai tuan rumah. Dan pada 1997, dia menjadi Ketua Poetry International Advisor Board. Ia juga salah seorang pendiri Yayasan Poets of All Nation (PAN).
Remco Campert adalah sastrawan yang sangat produktif. Buku demi buku kumpulan sajaknya telah terbit, demikian pula esai dan novelnya. Kumpulan sajaknya Remco Campert—Dichter (‘Remco Campert—Sang Penyair’) dapat dijadikan rujukan bagi pembaca yang ingin bertemu dengan sajak-sajaknya secara relatif lengkap. Dedikasi, produktivitas, dan kualitas karya-karyanya bukan hanya menempatkan Remco Campert sebagai penyair paling terkenal di negerinya, tetapi juga mengukuhkan kenyataan bahwa hingga saat ini dia tetap merupakan salah satu penyair paling indah dalam khasanah sastra berbahasa Belanda. Sepilihan sajak-sajaknya telah diterjemahkan oleh Linde Voute ke dalam bahasa Indonesia dan terbit dalam edisi dwibahasa dengan judul Ratapan/Lamento.
Di Jawa
Sementara kau memetik daun teh
demi sedikit nasi dan ikan
dan sebuah honda untuk kakakmu
di kaki gunung
yang berkalung kabut
sebentar saja aku lihat wajahmu
ketika kau mengangkatnya
capek dan penuh keinginan
kelak kemudian di stasiun
dimana aku berlindung untuk hujan
sosok tubuh pada gambar
berwarna lusuh
kau sedang berciuman dengan lelakimu
di bangku untuk rakyat
bebas namun tertangkap
Penyair senior Remco Campert tampak telah sangat piawai menggunakan kata-kata. Dari puisi-puisinya terbaca bahwa penyair tidak lagi bersusah payah mengeksplorasi kata-kata. Sebaliknya, Remco Campert sangat menikmati dengan permainan kata yang dilakukannya. Dalam pembahasan ini, saya sengaja membaca puisinya yang berjudul “Di Jawa” untuk mengetahui bagaimana penyair Belanda memotret wajah Indonesia, dalam hal ini Jawa. Terlepas dari kualitas terjemahannya yang terasa kurang puitis, namun yang tertangkap dari keseluruhan puisi Remco Campert adalah bagaimana penyair memotret sepenggal kehidupan seorang pemetik teh yang tekun bekerja hingga kelelahan. Namun, di waktu lain, penyair menemukan sang pemetik teh telah berpacaran dengan lelakinya, hingga yang tertangkap adalah “zet je te kussen met je jongen”. Sekali lagi, penyair Belanda tampak sering menampilkan puisi-puisi yang sarat humor kemanusiaan.
7. Rudy Kousbroek
Rudy Kousbroek lahir di Pematang Siantar, 1929. Bersama Remco Campert, ia mendirikan majalah Braak pada 1950, yang berperan besar dalam gerakan puisi baru dan berdampak luas pada para penyair Belanda selepas Perang Dunia II. Dia belajar ilmu pasti dan fisika di Amsterdam dan kemudian belajar bahasa Cina dan Jepang di Paris, Prancis, tempat tinggalnya selama puluhan tahun. Pada 1953, ia memulai debutnya sebagai penyair dengan menerbitkan kumpulan sajaknya yang pertama, Begrafenis van een keerkring. Dia terutama sangat terkenal sebagai seorang esais dan penulis polemis, terutama dengan memberi reaksi terhadap iklim kebudayaan di Belanda. Ketika ia dianugerahi P.C. Hooftprijs yang merupakan hadiah negara pada 1975, dia mengucapkan terima kasih dengan mengatakan, “Di Belanda kebudayaan tidak begitu perlu.”
Selain menulis esai, Rudy Kousbroek tak berhenti menulis puisi dan mempublikasikan sebuah roman, tetap menyimpan di hatinya bagi Indonesia. Dia selalu ingat masa kecil dan masa remajanya di Nederlands Indie kolonial pada masa sebelum perang dan masa pendudukan Jepang. Itulah yang menyebabkan dia berkali-kali datang kembali ke Indonesia, negeri kelahirannya. Tentang itu, ia menerbitkan antara lain Het Oostindisch kampsyndroom en Terug naar Negeri Pan Herkomst. Bahwa hingga saat ini ia tetap terpikat pada masa lampau, terbukti dari diterbitkannya kumpulan sajak Heimwee pada 2001, yang merupakan kumpulan puisi Amir Hamzah yang dikumpulkan dan diterjemahkan Rudy Kousbroek dan A. Teeuw. Dengan ini mereka memperkenalkan penyair besar Indonesia ke wilayah publik berbahasa Belanda.
Freddy
Freddy adalah seekor kelinci,
Tetapi dia tak tahu.
Freddy berwarna putih dan hitam,
Tetapi dia tak tahu.
Freddy punya telinga terkulai,
Tetapi dia tak tahu.
Hidungnya Freddy berbintik
bintik-bintik kecil yang melembutkan
- rupa titik-titik coklat -
Tetapi dia tak tahu.
Freddy kadang-kadang tinggal duduk waktu hujan,
Tetapi dia tak tahu.
Freddy senantiasa menggerakkan hidungnya
Tetapi dia tak tahu.
Freddy sama sekali tak berdosa
Tetapi dia tak tahu.
Kau ingin melindunginya
terhadap segala malapetaka di dunia
Tetapi dia tak tahu.
Freddy memang juga sedikit bodoh,
Tetapi dia tak tahu.
Saya sangat mencintai Freddy,
Tetapi dia tak tahu.
Yang menonjol dari puisi “Freddy” karya Herman Rudolf “Rudy” Koesbroek ini adalah repetisi pada setiap baitnya. Dan, kata-kata yang sering digunakannya adalah “Tetapi dia tak tahu”. Kata-kata itu digunakan dari bait pertama hingga bait terakhir. Tentu saja Freddy tidak tahu apa-apa, karena Freddy yang dimaksud Rudy Koesbroek adalah seekor kelinci. Semua deskripsi mengenai sosok dan perilakunya tampak sia-sia, karena objek yang digambarkan adalah seekor binatang. Sebagaimana Remco Campert, dalam puisi ini pun Rudy Koesbroek memperlihatkan humor dalam puisinya.
Simpulan
Dari pembacaan terhadap puisi-puisi penyair Belanda, saya mendapatkan kesan yang hampir ada dalam semua puisi, yakni unsur humor, bermain-main dengan mengangkat persoalan yang sederhana. Selain itu, ada kecenderungan estetika yang digunakan para penyair Belanda adalah art for art, seni untuk seni, yang menempatkan penyair lebih mementingkan mengenai bagaimana cara menyampaikan pesan kepada pembacanya, bukan mementingkan pesan itu sendiri. Dari ketujuh puisi yang saya analisis di atas tampak bahwa mereka sangat terbiasa mengangkat persoalan-persoalan keseharian yang bisa menimpa siapa saja pada kapan pun, seperti soal janji dan harapan mengenai kebahagiaan.
Satu hal yang paling menonjol adalah sikap humor yang seringkali mewarnai puisi-puisi para penyair Belanda. Mereka tidak hanya menertawakan keadaan saja, melainkan berani menertawakan diri sendiri sebagaimana yang dilakukan oleh Gerrit Komrij.***
Bibliografi
Aveling, Harry. 2003. Rahasia Membutuhkan Kata. Magelang: Indonesiatera.
Damono, Sapardi Djoko. 1990. Bilang Begini Maksudnya Begitu. Depok: FSUI.
Ismail, Taufiq. 2002. “Keyakinan bahwa Puisi Memberi Arti bagi Kehidupan,” dalam
Horison, edisi khusus, April.
Kurnia, Anton. 2006. Ensiklopedi Sastra Dunia. Yogyakarta: Iboekoe.
Mooij, Martin. 2002. “Semacam Pidato Pembukaan,” dalam Horison edisi khusus, April.
Rendra. 2002. “Puisi di Tengah Semua Ini,” dalam Horison edisi khusus, April.
Sambodja, Asep. 2007. Cara Mudah Menulis Fiksi. Jakarta: Bukupop.
Berkenalan dengan Tujuh Penyair Belanda
oleh Asep Sambodja
Festival Puisi Internasional Indonesia 2002 merupakan salah satu peristiwa puisi yang penting di mata dunia. Dalam festival ini, penyair-penyair dari berbagai negara diundang untuk membacakan puisi-puisi mereka dalam bahasa mereka sendiri. Pendengar yang tidak mengerti dan memahami puisi yang dibacakan biasanya diberikan terjemahannya oleh panitia. Penyair-penyair yang diundang dalam acara ini telah melewati suatu proses seleksi yang dilakukan oleh para penyair senior dan mendapatkan honorarium yang sangat pantas. Dalam hal ini, yang menjadi kurator dalam Festival Puisi Internasional Indonesia 2002 adalah Rendra, Remco Campert, Martin Mooij, dan Silke Behl.
Festival ini tidak bisa dipisahkan dari tradisi yang sudah diadakan di Belanda sejak 1970, yakni Poetry International di Rotterdam. Orang yang paling berjasa atas keberlangsungan festival puisi dunia ini adalah Martin Mooij. Ia bekerja pada Dewan Kesenian Rotterdam pada 1969 dan mulai mendesain Festival Poetry International di Rotterdam. Martin Mooij adalah sosok yang unik, karena ketika muda sudah berani membangkang penguasa. Dalam arti, ia menolak wajib militer yang diselenggarakan pemerintahnya pada 1940-an. Adapun alasan penolakannya adalah karena ia merasa keberatan untuk membunuh orang lain, apalagi orang yang sedang berjuang demi kemerdekaan bangsanya (Mooij, 2002: 7).
Alasan Martin Mooij itu sangat manusiawi dan sarat dengan nilai-nilai kemanusiaan. Meskipun demikian, ia memetik risiko akibat pembangkangannya tersebut, yakni tidak mendapat akses untuk bekerja di instansi pemerintah Belanda. Karena itu, bisa dipahami jika Martin Mooij memberikan perhatian yang demikian besar pada Poetry International di Rotterdam. Ia sangat memegang teguh pernyataan Manager Kebudayaan Dewan Kesenian Rotterdam, Adrian van der Staay, yang diungkapkan pada pembukaan Poetry International Rotterdam pada 1970. Adrian mengatakan, “Suara kemanusiaan sangatlah lemah. Di tengah kekerasan perang hanya tangis yang bisa didengar. Setelah terlalu banyak dijejali oleh mesin, diabaikan oleh teknik, dibungkam oleh kelaparan, suara kemanusiaan jadi senyap tak terdengar. Poetry International ingin memberi tanggapan pada suara kemanusiaan.” (Mooij, 2002: 9).
Rendra, Ketua Umum Puisi Internasional Indonesia 2002 mengatakan, festival ini dimaksudkan menjadi tempat orang-orang dari bahasa, nasionalitas, dan latar belakang berbeda dapat saling berjumpa dari hati ke hati lewat puisi (Ismail, 2002: 4).
Ada tujuh penyair Belanda yang tampil dalam Puisi Internasional Indonesia 2002 ini, selain beberapa penyair dari Jerman, Afrika Selatan, Jepang, Malaysia, Austria, dan Indonesia sebagai tuan rumah. Ketujuh penyair Belanda itu adalah Remco Campert, Gerrit Komrij, Rudy Kousbroek, Mustafa Stittou, Ramsey Nasr, dan dua penyair perempuan Belanda: Gerry van der Linden dan Hagar Peeters. Yang menarik adalah salah satu di antara mereka, yakni Rudy Kousbroek lahir dan besar di Indonesia, tepatnya di Pematang Siantar, Sumatera Utara.
Dalam membahas puisi-puisi mereka, saya menyertakan biodata singkat masing-masing penyair yang terdapat dalam majalah Horison edisi khusus, April 2002, untuk mengenal lebih dekat penyairnya. Dalam kesempatan ini, masing-masing penyair hanya saya analisis sebuah puisinya, yang menurut saya merepresentasikan kepenyairan mereka. Secara garis besar, saya melihat bahwa penyair-penyair Belanda sangat menikmati dengan permainan bunyi dan permainan makna. Kata-kata yang mereka gunakan relatif ringan dan sederhana, namun terkadang memunculkan makna yang dalam. Puisi-puisi yang saya tampilkan di sini setidaknya memperlihatkan bahwa persoalan yang mereka ungkap atau sampaikan melalui puisi-puisi mereka adalah persoalan sederhana yang bisa dialami oleh siapa pun.
1. Gerrit Komrij
Gerrit Komrij lahir di Winterswijk, 1944. Ia sejak lama termasuk penyair paling populer di Belanda dan disebut sebagai Dichter des Vaderlands (‘penyair negara’). Tidak hanya itu, ia juga adalah esais yang cerdas, kritikus yang tajam, dan penerjemah berbakat. Pada 1968 ia menerbitkan kumpulan sajaknya yang pertama Maagdenburger halve bollen en andere gedichten. Dia menjadi terkenal karena humor-humornya yang garang dan teknik persajakannya yang sempurna. Dia termasuk penyair Belanda yang diundang dalam festival Poetry International yang pertama di Rotterdam (1970).
Gerrit Komrij juga dipandang sebagai penyusun bunga rampai yang paling pandai mengenai puisi Belanda dari abad keduabelas sampai dengan abad keduapuluh. Ia membuka ilmu persajakan untuk publik pembaca yang luas. Kritik-kritik serta pandangan-pandangannya mengenai puisi yang terbit dalam bentuk buku serta surat kabar dan majalah—baik harian maupun mingguan—sering dijadikan acuan dalam meluaskan perhatian pembaca mengenai ilmu persajakan pada dasawarsa-dasawarsa terakhir. Jumlah karangannya pun banyak, meliputi puisi, esai, kritik, dan artikel. Belum lama ini, telah terbit pula Awater, majalah puisi yang didirikannya. Sebuah majalah yang dimaksudkan untuk memberi penerangan mengenai ilmu perpuisian kepada para pembaca yang umum. Dan Gerrit Komrij dikenal luas juga sebagai performer yang hebat bagi pembacaan puisinya sendiri.
Makhluk Komrij
Ada binatang dongengan yang bernama ‘Komrij’,
Nama aneh bagi sesuatu yang begitu menyenangkan.
Kepalanya memang agak lebar,
Tapi dia tak punya keajaiban lain.
Dia agak terlalu sabar, semacam kegagalan.
Tangannya sangat menyerupai sekop batu bara.
Juga kepalanya biasa di atasnya.
Dia tak akan menjelma menjadi sesuatu yang indah.
Dia adalah anjing, tak lain. Selama hidup dia
akan menjadi makhluk yang ‘selalu mengerti’.
Hanya pada larut malam dia melolong,
karena ada sakit rahasia yang mencekiknya.
Puisi Gerrit Komrij ini memperlihatkan keberanian Komrij untuk mengkritik dan menertawakan dirinya sendiri; sesuatu yang sulit dilakukan oleh manusia biasa. Ia bahkan menganalogikan dirinya sebagai seekor anjing—sesuatu yang justru dihindari oleh siapa pun, mengingat kata ‘anjing’ bisa berarti sesuatu yang rendah dan biasa dijadikan sebagai cacian—dengan tanpa beban. Namun, metafora anjing yang digunakan Komrij, yang dilekatkan pada dirinya sendiri sebagai “Makhluk Komrij”, berisi pesan yang penting, yakni adanya rasa sakit yang mencekik yang dilolongkannya pada setiap malam. Kata-kata pada bait terakhir ini memberi makna lebih pada puisi ini. Bahwa penyair menyuarakan sesuatu, atau “melolongkan sesuatu” karena memang ada sesuatu yang menyesakkan hatinya.
2. Gerry van der Linden
Gerry van der Linden (Eindhoven, 1952) mempublikasikan sajak-sajaknya untuk pertama kali di majalah Gedicht. Tiga tahun kemudian dia menerbitkan kumpulan sajaknya yang pertama De Aantekening. Selepas itu, dia meninggalkan Belanda untuk beberapa lama dan tinggal serta bekerja di San Francisco, tempat ia antara lain memimpin bengkel puisi, membacakan sajak-sajaknya dan menerjemahkannya. Pada 1990, kumpulan sajaknya yang kedua Val op de rand terbit di Belanda. Dalam kumpulan sajaknya tersebut, ia menunjukkan diri sebagai penyair lirik yang membangkitkan minat di satu sisi dan sekaligus bersikap bandel. Tema-tema pokoknya umumnya berkisar antara pertalian hubungan, maut, anak, keluarga, perjalanan. Dan dalam seluruh tema itu selalu saja terdapat ketegangan tersembunyi. Beberapa kumpulan sajaknya sejak itu bermunculan.
Gerry van der Linden kemudian juga mulai menulis prosa. Pada 2001, terbit kumpulan sajak yang terbarunya, Uitweg. Di dalamnya, sang ayahnya yang meninggal dunia memegang peranan yang sangat penting. Pada 1998 Gerry van der Linden pergi ke Indonesia untuk pertama kalinya. Bersama Remco Campert dan beberapa penyair Indonesia, ia membacakan sajak-sajaknya di Jakarta dan Bandung.
Kebahagiaan
Aku tak tahan lagi
pasangan muda pakai tas untuk bermalam minggu
atau suami istri separo baya pakai ransel
melambaikan rambutnya berwarna abu-abu
seakan mereka saling melambai di sebuah ladang
gandum….
Apakah karena itu mereka kelihatan
begitu berjarak?
Tetapi pasangan-pasangan muda!
Mereka mempertunjukkan kewajaran
yang sangat tak tertahankan
seakan hari membentang untuk mereka
seperti permadani panjang
seakan di sana kebahagiaan berada
di jalan untuk didekap erat.
Dalam puisi “Kebahagiaan”, Gerry van der Linden membandingkan pasangan muda yang dibelenggu dengan formalitas dengan pasangan muda yang bebas lepas dari tetek-bengek formalitas. Gerry juga membandingkan pasangan suami-istri yang telah diikat dengan tali perkawinan dengan pasangan muda yang belum terikat dalam satu ikatan perkawinan. Gerry menilai bahwa formalitas dan ikatan perkawinan menjadikan hubungan antara laki-laki dengan perempuan menjadi berjarak, berbeda dengan hubungan pasangan muda yang benar-benar tidak terikat dengan lembaga perkawinan itu dan tidak terbelenggu dengan formalitas hubungan. Gerry ingin mengatakan bahwa pada pasangan muda yang bebas seperti itulah akan direguk kebahagiaan. Karena, “seakan hari membentang untuk mereka, seperti permadani panjang, seakan di sana kebahagiaan berada, di jalan untuk didekap erat.”
3. Hagar Peeters
Hagar Peeters lahir di Amsterdam, Belanda, 1972. Dia menempuh studi Sejarah Kebudayaan, Universitas Utrecht dan memenangkan the National Thesis Award 2001 untuk tesis terbaik yang ditulis di Belanda. Topik tesisnya adalah “Humanisasi Pengadilan Kriminal Belanda Sejak 1945”. Pada Mei 2002, sejarah biografis yang berdasar pada tesisnya akan diterbitkan. Pada 1999 terbit kumpulan puisinya yang pertama, Genoeg gedicht over de liefde vandaag (‘Cukup sekian Puisi tentang Cinta Hari Ini’). Pada 2000, dia masuk nominasi dalam NPS Culture Award. Hagar Peeters banyak menampilkan sajak-sajaknya di Belanda. Pada Mei 2000, dia tampil membacakan sajak-sajaknya di Kepulauan Antilla (Dutch Antilles).
Janji
Dia tak muncul.
Barangkali sakit atau tertabrak
trem, barangkali orang lain
menyapanya. Barangkali dia lupa jam tangannya
atau jam tangan lupa menunjukkan waktu.
Barangkali mobilnya tak mau menyala
atau rusak di tengah jalan.
Barangkali ada yang meneleponnya
tepat sebelum berangkat,
dengan kabar dia harus ke kremasi
atau bahwa ibunya meninggal.
Barangkali dia bertemu kenalan lama.
Barangkali dia sedang bertengkar di tempatnya kerja
kemudian dipecat dan menyembunyikan kepala
di bawah bantal. Barangkali jembatan membuka,
juga yang berikutnya.
Barangkali lampu lalu-lintas tetap merah.
Barangkali kartu banknya ditelan mesin uang
atau di tengah jalan dia lupa dompetnya.
Barangkali dia kehilangan kaca mata
tak bisa berhenti membaca
ada acara di TV yang ingin dia tonton sampai tamat
pintu rumahnya tidak bisa dikunci
dia kehilangan gepokan kunci,
dan tiba tiba anjingnya mulai muntah.
Barangkali tak ada telepon di sekitarnya,
alamat restorannya tak bisa dia temukan
atau dengan tak sengaja dia menunggu
di tempat berbeda.
Barangkali –kemungkinan terakhir
yang tak terpahami dan tak terduga—
dia tak lagi mencintaiku.
Terjemahan Linde Voûte dan Agus R. Sarjono
Hagar Peeters sangat jeli dengan permainan imajinasi. Ia berandai-andai kenapa kekasihnya tidak datang menepati janji sebagaimana yang telah disepakati bersama. Dalam pengandaian itu, Hagar Peeters mengeksplorasi segala kemungkinan yang ada, yang barangkali bisa saja apa yang dibayangkan aku-lirik mengenai kekasihnya itu memang benar adanya. Di sinilah kecerdikan seorang Hagar Peeters benar-benar dibutuhkan untuk menghasilkan sebuah puisi yang sarat humor dan mengembangkan narasi dalam sebuah puisi. Meskipun demikian, apa yang diandaikan penyair masih merupakan keutuhan, dan mendapatkan klimaksnya pada baris terakhir, bahwa “barangkali dia tak lagi mencintaiku”. Menurut saya, puisi Hagar Peeters ini sangat menarik dan kuat dalam gagasan.
4. Mustafa Stittou
Mustafa Stittou lahir di Tetouan, Marokko, 1974, dan tumbuh di Lelystad. Ia kini tinggal dan bekerja di Amsterdam. Selain belajar filsafat, ia menulis ulasan puisi di majalah mingguan Vrij Nederland. Pada 1994 terbit kumpulan sajak pertamanya Mijn Vormen (‘Bentukku’). Pada 1998 terbit Mijn Gedichten (‘Sajak-sajakku’). Dua kumpulan sajaknya itu mendapat pujian. Stittou menulis sajak-sajak lucu dan semaunya, yang ketika dipanggungkan hadir dengan penuh semangat. Ia bersedia melihat puisi pada apa saja dan ingin tahu tentang yang asing maupun yang sudah dikenal.
Ia berhasil mendapat nama baik sebagai performer di beberapa festival sastra, seperti Poetry International di Rotterdam pada 1994. Stittou juga menulis beberapa sajak pesanan, antara lain untuk Nationale Dodenherdenking 1999 (peringatan pada korban yang gugur dalam Perang Dunia II). Mustafa Stittou mengikuti Festival Winternachten pada Januari 2001.
2.
Si kepiting buruk rupa:
mencipta diri sendiri karena jumawa.
Suku bangsa mandi dengan susu:
demikianlah kera terjadi.
Buah delima terdiri
dari air mata beku
dari nabi.
Kalimat syahadat,
ada foto-foto dari itu, tertulis
di dedaunan.
Dari Armstrong
(tiada orang diizinkan tahu di Amerika)
telah mendengar azan
di rembulan.
diterjemahkan oleh Linde Voûte
Penyair asal Maroko, Mustafa Stittou ini memang dikenal sebagai penyair yang suka main-main. Dari segi tipografi, Mustafa Stittou tampak tidak main-main, namun dari segi diksi, ia sungguh-sungguh bermain-main, sehingga jalinan kata yang terbangun menjadi absurd karena kalimat yang tercipta tidak lagi mudah dipahami. Pembaca harus benar-benar jeli dengan kata-kata yang digunakan Mustafa Stittou ini, karena hubungan antara satu kata dengan kata lainnya bukanlah hubungan semantis, melainkan hanya sebatas hubungan sintaksis. Dalam arti, secara tata bahasa, struktur kalimat dalam puisi Mustafa Stittou bisa dibenarkan, namun tidak menghasilkan makna yang utuh. Kalaupun harus dicari maknanya, karena penyair memiliki kebebasan licentia poetica, maka makna yang tercipta adalah makna baru. Meskipun demikian, dalam puisi tersebut, terutama pada bagian akhirnya, terbaca juga bahwa Mustafa Stittou hendak mengkritik Amerika Serikat yang dikenal dunia telah mendaratkan Neil Armstrong di bulan. Sebab, ada yang masih meragukan apakah benar Neil Armstrong mendarat di bulan? Atau, benarkah Neil Armstrong mendengar suara azan di bulan? Dan, kalaupun benar, kenapa Amerika menutup-nutupi persoalan ini? Inilah yang mendasari kritik Stittou pada Amerika.
5. Ramsey Nasr
Ramsey Nasr (1974) adalah penyair, pemain sandiwara, penulis, dan sutradara. Keberhasilannya sebagai teaterawan dimulai pertama kali dengan monolognya De doorspeler. Pada 2000, terbit kumpulan sajaknya yang pertama, 27 gedichten & Geen Lied. Sebagai pemain teater dia bergabung selama lima tahun dengan salah satu rombongan sandiwara paling penting di Belanda, dan Vlaanderen. Dia pernah memainkan De doorspeler di Palestina dan Yordania dalam versi bahasa Inggris-Arab. Ia pun telah bermain dalam sejumlah film, dan kini tengah menjadi pemain utama dalam serial TV tiga jilid, De enclave.
Ramsey Nasr tampil dalam festival-festival puisi penting di wilayah berbahasa Belanda. Pada 2001 terbit novelnya yang pertama. Dia juga menulis dan menyutradarai Leven en Hel-de operette. Sehari sebelum berangkat ke Indonesia, dia menyutradarai Il Re Pastore, sebuah opera dari Mozart, di Gent, Belgia.
Malam
Aku tak membencimu. Aku mencintaimu dan membunuhmu,
Seperti orang sering lakukan untuk bertahan hidup,
Kamu tahu bahwa aku tak ada pilihan lain lagi: atau kamu,
Atau aku mau tidak mau. Kamu berdosa.
Kematian itu agak aneh bukan?
Kecepatannya mengherankan. Ya, dipikir kembali
seharusnya aku melakukannya tak tergesa-gesa,
Ludieker. Dalam terikat kau pun
berhari-hari menghiburku, kalau aku
memotong jaringan atau organ pada tubuhmu: sebuah ritual,
dengan itu hidup dengan sendirinya akan meninggalkanmu
dan bukan karena sakit, tetapi karena rasa hampa
yang demikian dalam. Teriak-teriakan ingin kudengar,
mengaduh, air-mata, tanda-tanda pertama
penyesalan. Betapa aku sungguh ketawa,
meludah di mukamu dan ketawa lagi,
tertawa besar yang berkali-kali bergema.
Itulah, manis, dari semua yang aku paling mau,
namun demikian aku tak beruntung.
Bahkan dari kematianmu aku tak dapat satu hasil pun.
Kamu sempurna dan utuh, aku berserah diri.
Sebentar saja aku merasa lega waktu bayangan
mu mengabur, tak sadar bahwa
kamu juga memerintahi malam. Dalam kegelapan
aku tinggal dan mengapa aku tak mengerti.
Dalam puisi “Malam” karya Ramsey Nasr terbaca bahwa penyair ingin menggambarkan sesuatu yang sadis namun disampaikan dengan biasa, seolah-olah kesadaisan itu sudah merupakan sesuatu yang biasa dan sangat wajar. Diksi yang digunakan pun memperkuat citraan yang hendak dibangun Ramsey. Dalam hal ini, diksi yang saya jadikan patokan adalah diksi dalam bahasa Indonesia—karena keterbatasan pembacaan saya pada karya aslinya. Dari kata-kata yang digunakan, seperti “malam”, “kegelapan”, “bayangan”, “kematian”, “membunuh”, “membenci” yang semuanya memiliki makna negatif. Puisi Ramsey Nasr ini mengingatkan saya pada cerpen-cerpen Seno Gumira Ajidarma yang menggambarkan kesadisan dengan sangat biasa, namun makna yang tertangkap dari teks itu adalah sesuatu yang sarkastis. Demikian pula dengan karya Ramsey Nasr ini, yang saya kira juga sangat sarkastis dalam menggambarkan hubungan sesama manusia yang dilandasi dengan “kegelapan”.
6. Remco Campert
Remco Campert lahir di Den Haag, 1929. Namanya mulai bersinar setelah ia menerbitkan kumpulan sajaknya yang pertama Vogels vliegen toch (1951). Sajak-sajaknya menunjukkan keengganan terhadap hal-hal penting dan dalam. Intisari dari kesungguhan, kemarahan, dan sebagainya, dibungkusnya dengan bahasa yang ringan. Ia mendedikasikan bakatnya bagi keragaman masyarakat kecil dengan kegigihan dan integritas yang tinggi.
Remco Campert pernah menjadi redaktur majalah Podium (1954-1955 dan 1970-1979) dan Tirade (1957). Dari 1973-1976 dia punya majalah sendiri, Gedicht (‘Sajak’) yang kini dianggap klasik dan dicari para kolektor.
Remco Campert bukan hanya seorang penyair, melainkan juga banyak menulis prosa dan esai. Kolom kecilnya muncul setiap dua hari sekali di koran terbesar Belanda dalam kolom CaMu (Campert & Mulder) selama bertahun-tahun dan telah menjadi bacaan kegemaran para pembaca koran itu. Dalam festival Poetry International di Rotterdam, Remco memegang peranan penting sejak 1972, baik sebagai peserta, sebagai penyaji, sebagai penerjemah, maupun sebagai tuan rumah. Dan pada 1997, dia menjadi Ketua Poetry International Advisor Board. Ia juga salah seorang pendiri Yayasan Poets of All Nation (PAN).
Remco Campert adalah sastrawan yang sangat produktif. Buku demi buku kumpulan sajaknya telah terbit, demikian pula esai dan novelnya. Kumpulan sajaknya Remco Campert—Dichter (‘Remco Campert—Sang Penyair’) dapat dijadikan rujukan bagi pembaca yang ingin bertemu dengan sajak-sajaknya secara relatif lengkap. Dedikasi, produktivitas, dan kualitas karya-karyanya bukan hanya menempatkan Remco Campert sebagai penyair paling terkenal di negerinya, tetapi juga mengukuhkan kenyataan bahwa hingga saat ini dia tetap merupakan salah satu penyair paling indah dalam khasanah sastra berbahasa Belanda. Sepilihan sajak-sajaknya telah diterjemahkan oleh Linde Voute ke dalam bahasa Indonesia dan terbit dalam edisi dwibahasa dengan judul Ratapan/Lamento.
Di Jawa
Sementara kau memetik daun teh
demi sedikit nasi dan ikan
dan sebuah honda untuk kakakmu
di kaki gunung
yang berkalung kabut
sebentar saja aku lihat wajahmu
ketika kau mengangkatnya
capek dan penuh keinginan
kelak kemudian di stasiun
dimana aku berlindung untuk hujan
sosok tubuh pada gambar
berwarna lusuh
kau sedang berciuman dengan lelakimu
di bangku untuk rakyat
bebas namun tertangkap
Penyair senior Remco Campert tampak telah sangat piawai menggunakan kata-kata. Dari puisi-puisinya terbaca bahwa penyair tidak lagi bersusah payah mengeksplorasi kata-kata. Sebaliknya, Remco Campert sangat menikmati dengan permainan kata yang dilakukannya. Dalam pembahasan ini, saya sengaja membaca puisinya yang berjudul “Di Jawa” untuk mengetahui bagaimana penyair Belanda memotret wajah Indonesia, dalam hal ini Jawa. Terlepas dari kualitas terjemahannya yang terasa kurang puitis, namun yang tertangkap dari keseluruhan puisi Remco Campert adalah bagaimana penyair memotret sepenggal kehidupan seorang pemetik teh yang tekun bekerja hingga kelelahan. Namun, di waktu lain, penyair menemukan sang pemetik teh telah berpacaran dengan lelakinya, hingga yang tertangkap adalah “zet je te kussen met je jongen”. Sekali lagi, penyair Belanda tampak sering menampilkan puisi-puisi yang sarat humor kemanusiaan.
7. Rudy Kousbroek
Rudy Kousbroek lahir di Pematang Siantar, 1929. Bersama Remco Campert, ia mendirikan majalah Braak pada 1950, yang berperan besar dalam gerakan puisi baru dan berdampak luas pada para penyair Belanda selepas Perang Dunia II. Dia belajar ilmu pasti dan fisika di Amsterdam dan kemudian belajar bahasa Cina dan Jepang di Paris, Prancis, tempat tinggalnya selama puluhan tahun. Pada 1953, ia memulai debutnya sebagai penyair dengan menerbitkan kumpulan sajaknya yang pertama, Begrafenis van een keerkring. Dia terutama sangat terkenal sebagai seorang esais dan penulis polemis, terutama dengan memberi reaksi terhadap iklim kebudayaan di Belanda. Ketika ia dianugerahi P.C. Hooftprijs yang merupakan hadiah negara pada 1975, dia mengucapkan terima kasih dengan mengatakan, “Di Belanda kebudayaan tidak begitu perlu.”
Selain menulis esai, Rudy Kousbroek tak berhenti menulis puisi dan mempublikasikan sebuah roman, tetap menyimpan di hatinya bagi Indonesia. Dia selalu ingat masa kecil dan masa remajanya di Nederlands Indie kolonial pada masa sebelum perang dan masa pendudukan Jepang. Itulah yang menyebabkan dia berkali-kali datang kembali ke Indonesia, negeri kelahirannya. Tentang itu, ia menerbitkan antara lain Het Oostindisch kampsyndroom en Terug naar Negeri Pan Herkomst. Bahwa hingga saat ini ia tetap terpikat pada masa lampau, terbukti dari diterbitkannya kumpulan sajak Heimwee pada 2001, yang merupakan kumpulan puisi Amir Hamzah yang dikumpulkan dan diterjemahkan Rudy Kousbroek dan A. Teeuw. Dengan ini mereka memperkenalkan penyair besar Indonesia ke wilayah publik berbahasa Belanda.
Freddy
Freddy adalah seekor kelinci,
Tetapi dia tak tahu.
Freddy berwarna putih dan hitam,
Tetapi dia tak tahu.
Freddy punya telinga terkulai,
Tetapi dia tak tahu.
Hidungnya Freddy berbintik
bintik-bintik kecil yang melembutkan
- rupa titik-titik coklat -
Tetapi dia tak tahu.
Freddy kadang-kadang tinggal duduk waktu hujan,
Tetapi dia tak tahu.
Freddy senantiasa menggerakkan hidungnya
Tetapi dia tak tahu.
Freddy sama sekali tak berdosa
Tetapi dia tak tahu.
Kau ingin melindunginya
terhadap segala malapetaka di dunia
Tetapi dia tak tahu.
Freddy memang juga sedikit bodoh,
Tetapi dia tak tahu.
Saya sangat mencintai Freddy,
Tetapi dia tak tahu.
Yang menonjol dari puisi “Freddy” karya Herman Rudolf “Rudy” Koesbroek ini adalah repetisi pada setiap baitnya. Dan, kata-kata yang sering digunakannya adalah “Tetapi dia tak tahu”. Kata-kata itu digunakan dari bait pertama hingga bait terakhir. Tentu saja Freddy tidak tahu apa-apa, karena Freddy yang dimaksud Rudy Koesbroek adalah seekor kelinci. Semua deskripsi mengenai sosok dan perilakunya tampak sia-sia, karena objek yang digambarkan adalah seekor binatang. Sebagaimana Remco Campert, dalam puisi ini pun Rudy Koesbroek memperlihatkan humor dalam puisinya.
Simpulan
Dari pembacaan terhadap puisi-puisi penyair Belanda, saya mendapatkan kesan yang hampir ada dalam semua puisi, yakni unsur humor, bermain-main dengan mengangkat persoalan yang sederhana. Selain itu, ada kecenderungan estetika yang digunakan para penyair Belanda adalah art for art, seni untuk seni, yang menempatkan penyair lebih mementingkan mengenai bagaimana cara menyampaikan pesan kepada pembacanya, bukan mementingkan pesan itu sendiri. Dari ketujuh puisi yang saya analisis di atas tampak bahwa mereka sangat terbiasa mengangkat persoalan-persoalan keseharian yang bisa menimpa siapa saja pada kapan pun, seperti soal janji dan harapan mengenai kebahagiaan.
Satu hal yang paling menonjol adalah sikap humor yang seringkali mewarnai puisi-puisi para penyair Belanda. Mereka tidak hanya menertawakan keadaan saja, melainkan berani menertawakan diri sendiri sebagaimana yang dilakukan oleh Gerrit Komrij.***
Bibliografi
Aveling, Harry. 2003. Rahasia Membutuhkan Kata. Magelang: Indonesiatera.
Damono, Sapardi Djoko. 1990. Bilang Begini Maksudnya Begitu. Depok: FSUI.
Ismail, Taufiq. 2002. “Keyakinan bahwa Puisi Memberi Arti bagi Kehidupan,” dalam
Horison, edisi khusus, April.
Kurnia, Anton. 2006. Ensiklopedi Sastra Dunia. Yogyakarta: Iboekoe.
Mooij, Martin. 2002. “Semacam Pidato Pembukaan,” dalam Horison edisi khusus, April.
Rendra. 2002. “Puisi di Tengah Semua Ini,” dalam Horison edisi khusus, April.
Sambodja, Asep. 2007. Cara Mudah Menulis Fiksi. Jakarta: Bukupop.
Comments
aku kira itu penyimbolan dan punya maksud lain...
^^: