Setan di Kepala Ibu

#1

Ada setan di kepala ibu.

Mungkin setan. Aku sendiri tak yakin. Sama tak yakinnya dengan kenapa aku harus memanggilnya ibu. Tapi, aku kemudian menggambarnya dengan sosok bertanduk dan lidah yang menjulur panjang, seperti hendak memakan aku. Memakan kami.

Aku menyebut ‘kami’ karena tak cuma aku yang berada di kelas ini. Sebuah kelas melukis yang baru pertama kali kuikuti atas desakan ayahku yang juga seorang pelukis. “Mulai besok, kamu ikut les lukis,” katanya tiba-tiba sepulang ia menghadiri pembukaan galeri lukisan miliknya sendiri, sebuah galeri tunggal dari pelukis handal. Ia tidak bertanya tentang jawabanku, ya atau tidak. Tidak. Setelah berkata seperti itu, ia langsung masuk ke kamar. Menutup pintu, dan meninggalkan aku di ruang tengah sambil bertanya-tanya, apakah memang buah tak boleh jatuh jauh dari pohonnya?

Tapi saat ini aku lebih tertarik pada setan di kepala ibu ketimbang memikirkan hal itu. Dia terkikik-kikik dan mengacungkan jari tengahnya kepadaku. Kontan saja kubalas dengan perlakuan yang sama. Aku acungkan jari tengahku padanya. Dan ibu mendekat. Dengan ekspresi kesumat.

“Kau tak suka pada ibu?”

Aku diam saja. Pasti ibu tak akan percaya jika kukatakan ada setan di kepalanya. Dan setan itu sekarang sedang menjulurkan lidahnya, menggoyangkan pantatnya ke kiri dan ke kanan --- meledekku. Tapi, aku sabar kali ini. Aku memilih menundukkan kepalaku. Seperti merasa bersalah.

Aku tahu tindakan seperti ini akan menyelamatkanku. Terbukti, sesaat kemudian ibu melenggang pergi dari mejaku dan melihat meja anak-anak lainnya. Dan setan itu, kembali tampak menggoyangkan pantatnya ke kiri dan ke kanan, mengejekku karena tak mampu berbuat apapun.

#2

Sebenarnya aku tak pernah melihat setan. Tak pernah melihat penampakan, sebelum ini. Kata orang, setan itu menakutkan. Tapi nyatanya, tadi, setan itu begitu menjengkelkan. Ingin sekali aku memukul kepalanya. Mematahkan tanduknya. Dan melemparnya keluar dari jendela. Tapi, satu yang kemudian aku tahu, setan itu licik. Dia begitu licik dengan berlindung di atas kepala ibu.

Aku sering ditinggal di rumah sendirian. Rumah yang dipenuhi berbagai lukisan dan kanvas-kanvas berisi coretan cat yang belum jadi. Kadang aku heran, aku tak pernah melihat ayah melukis di rumah ini. Yang aku tahu, begitu aku bangun akan bertambah satu lukisan dengan campuran warna-warna yang menurutku begitu sempurna. Begitu menggoda.

Pernah aku berpikir, pasti setan yang melukis ini semua. Tak ada bunyi-bunyi di malam hari. Tak ada suara-suara yang membangunkan aku dari tidurku. Begitu senyap. Tapi ayah tak mungkin setan. Meski kami jarang bertemu dan bahkan tak pernah berpelukan.

#3
Setan itu masih di kepala ibu. Aku melihat buku gambarku yang berisi coretan sosok setan. Membanding-bandingkannya dengan setan di kepala ibu. Tapi ibu tidak tahu. Sebab aku tidak menunjukkan ekspresi berlebihan.

Semua orang sedang asik melukis. Tapi aku masih menggambar garis-garis.

“Ibu penggemar lukisan ayahmu,”

“Oh ya?”

“Dulu ia tak begitu hebat.”

Aku mulai tertarik mendengarkan ceritanya. Tanganku masih terpaut di kanvas. Sambil membayangkan kucing. Sebab aku suka kucing walau aku tak pernah memegangnya secara langsung. Tak boleh ada kucin di rumah. Ayahku tak suka kucing. Atau lebih tepatnya, ia tak suka memelihara kucing.

“Yah, tapi mungkin dewa lukis sedang memiihnya satu dekade ini. Ayahmu begitu luar biasa sekarang. Lukisannya memang luar biasa.”

“Jadi, sejak kapan ibu mulai kenal ayahku?”

Dan untuk itulah, kali pertama aku mendengarkan cerita tentang ayahku. Cerita dari teman semasa kuliahnya dulu. Ayah memang seorang yang tertutup. Ia tak pernah bercerita apa-apa kepadaku. Pernah suatu kali aku menanyakan dimana ibu, ibu yang melahirkanku. Tapi ia diam saja. Aku tak lagi berani bertanya setelah itu. Tak lagi menginggung-nyinggung ibu. Anggap saja aku tak punya ibu. Aku cuma punya ayah.

#4

Aku membawa kanvas itu pulang tanpa sepengetahuan ayah. Aku letakkan di kamar, di bawah tempat tidur. Takut jika tiba-tiba ayah pulang dan masuk ke kamarku tanpa sepengetahuanku. Ia pasti marah. Selama ini memang aku dilarang melukis di rumah ini oleh ayah. Toh, aku memang tak berminat melukis sebelum ini. Tapi gara-gara setan di kepala ibu itu, aku jadi jadi ingin melukis. Aku ingin meluki sosoknya yang tak bisa kutangkap. Yang begitu menjengkelkan.

Kalau kurasa ayahku sudah tak ada, aku pindahkan kanvas itu di pinggir jendela. Biar terkena cahaya. Dan aku akan mulai melukis. Tidak peduli disebut apa lukisanku, kubisme kah? Impressionis kah? Ah, aku cuma mau melukis setan itu. Setan yang begitu suka menggoyangkan pantatnya ke kiri dan ke kanan. Dan tanganku pun bergerak ke kiri dan ke kanan. Bergoyang-goyang. Warna. Warna. Aku campur warna sesukaku. Aku pun menari seperti digerakkan oleh kuasku. Ah, aku tak butuh kuas. Aku membuangnya. Dan mulai kucelupkan tanganku sendiri ke dalam kaleng-kaleng cat. Menggoreskannya ke kanvas.

Aku mulai heran, ini bukan seperti pertama kali aku melukis. Seperti sudah berulang kali kulakukan. Satu, dua, sepuluh, atau sudah beribu-ribu kali kulakukan ini. Kerasukan setankah aku? Setan yang sejak pertama kali kulihat bertengger di kepala ibu itu?

Tidak, tidak. Aku mulai melihat setan itu di kanvas. Tertawa-tawa. Mencibir. Menjulurkan lidah. Dan menggoyangkan pantatnya ke kiri dan ke kanan.

Aku mulai tertawa-tawa. Balas mencibir. Balas menjulurkan lidah. Dan balas menggoyangkan pantatku ke kiri dan ke kanan.

Hei setan, rasakan! Kini aku mampu balaskan dendamku setiap saat aku mau!

#5

Lukisanku hilang. Padahal aku yakin beberapa hari lalu aku meletakkannya kembali di bawah tempat tidur. Aku mencarinya sekali lagi. Mungkin saja setan sedang menjahiliku. Kabarnya setan sering ‘meminjam’ barang yang kita punya. Mereka akan tertawa-tawa menyaksikan kita kebingungan, kalap, dan menyerah Dan di pandangan selanjutnya, barang yang kita cari itu akan berada di tempatnya semula. Padahal kita yakin, sebelumnya tak ada. Tapi aku tak percaya. Sebab aku tak pernah mengalami hal seperti itu. Tapi sekarang, aku berpikir mungkin saja seperti itu.

Dan kesekian kalinya aku melongok ke kolong tempat tidur, lukisan itu tetap tak ada. Bodohnya aku yang percaya pada kabar burung macam itu.

Lantas siapa? Dan kemana? Tidak mungkin kan kalau lukisanku bisa hilang tiba-tiba? Tidak mungkin pula kalau setan di kepala ibu yang mencurinya?

Aku mencari ayah. Tapi aku ingat, ayah mungkin marah jika tahu aku mulai melukis di kamarku. Toh, saat aku memanggilnya, ia memang sudah tak ada. Rumah ini sudah senyap seperti biasanya. Cuma ada aku. Sendiri.

#6

“Bagaimana lukisanmu?” ibu bertanya kepadaku dengan rasa ingin tahu. Ibu pasti meremehkanku sebab di kelas ini aku cuma biasa mencorat-coret kertas dan kanvas, membuat garis-garis yang tak ada satu pun mereka pahami. Aku seringkali merasa segerombolan anak-anak menertawakanku diam-diam saat aku merasa sudah selesai membuat sebuah gambar. Aku merasa telah menggambar banyak kucing. Tapi mereka bilang itu cuma garis. Saat kutatap ibu, dirinya malah diam saja. Seperti membela segerombolan anak-anak, yang menurutku, bodoh yang hobinya menggambar fragmen senja, daun gugur, dan hal-hal yang remeh. Aku pikir kucing lebih indah. Dan setan di kepala ibu ini, yang bergerak-gerak, akan jauh lebih indah.

Aku menggelengkan kepala. “Hilang, Bu.”

“Hilang?”

Ah, aku makin gemas pada setan di kepalanya. Sama halnya kegemasanku pada ketidakpercayaan ibu bahwa lukisanku benar-benar hilang. Aku tahu, ibu pun pasti meremehkanku. Ibu pasti memandang hanya karena aku anak pelukis handal dan terkenal. Tidak lebih. Di matanya, mungkin aku cuma seorang anak yang patut dikasihani karena terpaksa mengikuti kelas melukis yang tidak aku sukai. Tapi itu tidak benar. Aku benar-benar ingin melukis sejak kulihat setan di kepala ibu. Setan yang membuatku merasa gemas setiap dia menjulurkan lidahnya, mencibir, dan menggoyangkan pantatnya ke kiri dan ke kanan.”
“Ya sudah, kamu coba lukis ulang saja. Nanti ambil saja peralatannya di ruang sebelah.”

Aku menganggukkan kepala.

“O, iya, beberapa hari yang lalu ibu bilang pada ayahmu tentang kanvas yang kaubawa pulang. Ayahmu sepertinya senang akhirnya kamu tertarik pada kanvas.”

Aku terperangah. Ayah tahu aku membawa kanvas ke rumah? Bisa habis aku dimarahinya. Kakiku mulai gemetar. Tanganku mulai gemetar. Dan sekujur tubuhku juga ikut-ikutan gemetar. Ayah memang belum pernah marah. Tapi aku mulai membayangkan kemarahan ayah. Ia akan menamparku di pipi kiri dan kanan. Ia akan mengikatku dan menggantung tubuhku di bawah langit-langit. Memasukkan semut dan serangga ke tubuhku. Biar menggeranyangi kesakitanku.

“Hei, kamu tidak apa-apa?”

Aku menoleh ke ibu. Ke kepalanya. Dan aku lebih kaget, setan di kepala ibu sudah tak ada. Setan itu benar-benar tak ada. Aku berdiri dan berjalan ke belakang ibu. Mungkin saja setan itu sedang bersembunyi di punggung ibu. Tapi ternyata setan itu memang tak ada. Kulihat sekeliling. Aku tak peduli pada pandangan ibu yang kebingungan menyaksikan gerakku yang berpindah-pindah dari kolong meja, ke belakang lemari, melongok ke atasnya, lalu berpindah ke jendela. Tapi memang setan itu sudah benar-benar tak ada. Baik di kepala ibu, maupun di ruangan ini.

“Kamu kenapa, Nak?”

“Ke mana?”

“Apanya yang ke mana?”

“Setan itu.”

“Setan apa?”

“Setan yang selama ini kulihat di kepala ibu?”

“Apa maksudmu?!”

“Aku menggambar setan itu. Setan yang kulihat saat pertama kali bertemu dengan ibu. Setan yang punya tanduk. Bermuka buruk. Dan acapkali meledekku, Bu. Dia suka sekali menjulurkan lidahnya, mencibir, dan menggoyangkan pantatnya ke kiri dan ke kanan.”

“Kamu gila, Nak!”

“Aku tidak gila.”

“Pasti cuma halusinasimu.”

“Tidak. Halusinasi tak mungkin muncul setiap hari.”

“Sebaiknya, kamu pulang sekarang. Kamu butuh istirahat. Ibu akan menelpon ayahmu.”

“Tidak, tidak. Jangan telepon ayahku, Bu?”

“Oh iya, kamu ternyata anak yang baik. Hari ini pasti ia sedang berada di dalam konferensi penting. Ibu tak boleh mengganggunya.”

“Konferensi apa?”

“Lho? Kamu nggak tahu?”

Aku menggeleng. Kepanikanku akan kehilangan setan di kepalanya teralihkan dengan rasa penasaranku terhadap ayah. Aku memang tak pernah tahu apa-apa tentang ayah selain sosoknya di rumah dan keberadaannya sebagai pelukis handal dan terkenal. Aku tak pernah diajaknya mengikuti pameran lukisannya. Mencari tahu pun aku tak diperbolehkan. Aku menurut karena aku takut ayah akan marah. Karena aku takut ayah akan meninggalkanku jika ia marah. Dan aku tak punya siapapun selain ayah.

“Lukisan terbarunya memecahkan rekor penjualan termahal se-Asia.”

“Lukisan?”

“Memangnya kamu tidak pernah melihat lukisannya? Lukisan yang ajaib!”

“Tidak. Ayahku bahkan melarangku melukis di rumah. Aku cuma melihat beberapa lukisannya yang digantung di rumah, dan beberapa coretan kanvas yang tak selesai.”

Ibu tampak kaget. “Nanti sore lukisan itu dipamerkan, kamu mau ikut?”

“Tapi nanti ayah marah?”

“Tidak, ada ibu yang akan melindungimu. Ibu merasa sudah saatnya kamu melihat lukisan ayahmu. Kamu harus melihat betapa mengagumkannya dia.”

Aku pun mengangguk. Setuju.

#7

Surga. Aku pikir aku sedang berada di surga. Galeri ternyata adalah tempat yang sangat indah. Aku pun jadi bertanya-tanya kenapa ayahku tak pernah mengajakku kemari.

Suasana begitu ramai. Aku yakin mereka semua adalah penggemar lukisan ayahku. Sesekali kucuri dengar pembicaraan mereka yang memuji lukisan-lukisan ayah.

“Mereka cuma orang awam,” ibu memulai pembicaraan, “kamu lihat lukisan ini?” ia tampak memandang sebuah lukisan berwarna mayor coklat keemasan. Pemandangan senja. Di kiri jalannya terlihat sebuah gereja, dan seorang anak laki-laki tergeletak memegang sapu lidi. “Lukisan ini tidak istimewa,” lanjutnya lagi.

Aku memandangi lukisan itu sekali lagi. Mencoba memahami apa yang ibu katakan.

“Keistimewaan ayahmu akan kamu lihat di ruangan setelah ini,” ucapnya sambil tersenyum. Aku makin penasaran. Jika lukisan sebagus ini dibilang ‘biasa’ saja. Bagaiamana dengan yang luar biasa?

Dan memang aku menganga setelahnya. Aku melihat berjajar lukisan yang seperti bergerak. Aku
melihat awan-awan menggumpal yang membentuk rupanya. Aku melihat debu-debu yang melingkar menjadi asap. Aku melihat genangan air yang tumpah ke atas. Tidak. Tidak. Ini bukan kali pertama aku melihat lukisan-lukisan ini. Langkahku makin cepat. Melihat satu per satu lukisan yang dipajang dan semakin akrablah aku dengan suasana yang tergambar dalam lukisan.

“Hei, Nak…” aku tak lagi hirau pada ibu. Aku mulai menoleh ke kanan dan ke kiri dengan tergesa. Melihat sejuta daun gugur dan merambas menjadi air. Dan tanganku. Dan tanganku yang kulihat mengusap kanvas. Mencelupkannya di kaleng-kaleng cat. Aku melihat aku menari di malam hari, sambil menggerakkan-gerakkan tangan, kaki, badan, semuanya. Aku melihat aku, diriku lah, yang melukis semua lukisan ini.

Tidak. Tidak. Aku mulai mencari ayah. Aku ingin bertanya kenapa aku bisa merasa seperti ini. Kenapa aku bisa merasa akulah yang melukis semua ini. Aku susuri jalan galeri sambil setengah berlari. Dan di ujungnya, aku lihat ayahku. Aku lihat ayahku di balik kerumunan orang. Dan sebuah lukisan lain yang tampak begitu akrab bagiku. Lukisan setan di kepala ibu!

“Minggiiir!!!” Aku berteriak saja.

Ayah mulai melangkah mendekat.

Aku mulai kesumat.

Aku menatapnya. Menatap kepalanya.

Dan kulihat sosok itu. Dia mencibir. Menjulurkan lidahnya. Dan menggoyangkan pantatnya ke kiri dan ke kanan.

Ada setan di kepala ayah!*


(Bintaro, 2009)

Comments

Anonymous said…
Cerita yang bagus