Ruang Renung: Penyair dan Koran

Tergelitik sekaligus menyedihkan tatkala aku membaca sebuah statement dari seseorang, yang kurang lebih mempertanyakan eksistensi kepenyairan dari para penyair yang sering dimuat di koran-koran. Adakah para penyair ini tahu bahwa ada anak-anak yang menjajakan koran yang berisi puisi-puisi yang juga kerap berisi tentang kehidupan kelas bawah itu? Adakah penyair hadir memberi jawaban kepada mereka secara realitas, integer, bulat, dan utuh?

Tidak salah memang apa yang dinyatakan seseorang itu.

Tapi, aku benar-benar ingin bertanya kepadanya,

APAKAH DI HARI ITU, DI HARI IA MEMBUAT PERNYATAAN ITU, IA MEMBELI KORAN YANG DIJAJAKAN OLEH ANAK-ANAK KECIL TERSEBUT, ATAU CUMA DIAM?

...

(Intermezzo)

HIPOTESA. Beberapa orang yang membuat pernyataan negatif tentang penyair koran hampir tidak pernah dimuat di koran. Percaya?

...


TIba-tiba aku jadi ingat teman SMPku yang sampingan jadi pengantar koran. Mereka berdua mampu membiayai sekolah sampai lulus SMP dengan pekerjaannya itu. Ah, sekarang entah kemana mereka. Tapi aku ingat namanya. Aku ingat.

Aku juga jadi ingat salahsatu penerima anugerah pena kencana yang mengembalikan uang hadiah karena ia merasa bahwa puisi tak sepantasnya dinilai dengan uang.

Tetapi tidak semua manusia merasa cukup uang dan tidak butuh uang, bukan?

OK. Salahsatu alasan terbesarku kenapa aku masih terus mencoba kirim ke koran adalah honor alias uang. Seperti kata Mas Aan Mansyur, hal yang membuatnya bahagia kalo dimuat di koran adalah setelah itu ia dapat mentraktir teman-temannya.

(Tentu kalau aku, masih ada salah duanya. Aku ingin tulisanku dibaca lebih banyak orang lain. Dan koranlah yang masih menjadi jawaban atas keinginanku itu)

Kinerja kepenyairan (meski gara-gara ia mengirim ke koran dan lantas disebut penyair koran) adalah memberi aufklaerung (pencerahan) terutama bagi dirinya sendiri. Puisi lahir dari sebuah panggilan penciptaan akibat adanya pertanyaan-pertanyaan sastra di dalam dirinya. Ada sebuah gejolak hebat yang memaksa penyair untuk turun jari ke kertas atau media tempat ia menumpahkan itu semua. Puisi tak semata hadir dengan keinginan untuk berindah-berindah, bergaya-gaya, atau hedonis. Tetapi ada sebuah beban di pundak penyair, untuk memberikan jawaban atas pertanyaannya sendiri. atau minimal mengajak pembaca ikut memikirkan jawabannya.

...

Mau lanjut?

Ah, aku capek. Kata nenek, tak boleh merenung lama-lama, nanti bisa kerasukan.

Comments